Masjid Cheng Ho, Akulturasi Budaya Tiongkok, Jawa dan Islam di Jawa Timur

Masjid Cheng Ho

Cheng Ho melakukan ekspedisinya antara tahun 1405 sampai tahun 1433. Ia merupakan orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok.

Cheng Ho menjadi seorang pelaut dan penjelajah ulung yang berhasil menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia dan Afrika. Di Indonesia, namanya diabadikan dalam sejumlah tempat ibadah.

Di Semarang, Jawa Tengah, namanya diabadikan sebagai nama kelenteng termasyur, Sam Poo Kong. Itu tidak lain adalah nama lain dari Laksamana Cheng Ho.

Diceritakan bahwa awak kapal yang turut dalam pelayaran Cheng Ho banyak yang beraliran Budha dan Tao. Nama Cheng Ho juga tersohor di kalangan kaum muslim.

Belasan masjid di berbagai penjuru di Indonesia, khususnya daerah-daerah yang pernah disinggahi Laksamana Cheng Ho mengabadikan namanya sebagai nama masjid. Di Jawa Timur sendiri, ada tiga masjid yang menggunakan nama Cheng Ho.

Masjid Muhammad Cheng Hoo di Pasuruan

Terletak di Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, masjid ini merupakan salah satu masjid yang mengabadikan nama Laksamana Cheng Ho.

Dibangun di atas lahan seluas 1 hektar membuat bangunan masjid berlantai dua ini tampak megah. Masjid Muhammad Cheng Hoo mengadopsi tiga unsur budaya sekaligus. Desain arsitekturnya merupakan paduan dari budaya Tiongkok, Jawa, dan Islam.

Warna khas bangunan Tiongkok seperti kuning, hijau, dan merah mendominasi masjid ini. Sementara bentuk dan ornamen atap bangunan masjid merupakan paduan antara budaya Tiongkok dan Jawa.

Sentuhan islami dalam bangunan masjid ditunjukkan dengan kaligrafi yang terukir di dinding masjid.

Berbeda dengan Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya yang didirikan atas prakarsa para tokoh dan sesepuh Tionghoa. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Pasuruan dibangun atas inisiatif pemerintah daerah.

Tanah tempat berdirinya Masjid Muhammad Cheng Hoo dahulunya merupakan tanah kosong milik Perhutani.

Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya

Masjid ini merupakan masjid pertama di Indonesia yang mengabadikan nama Laksamana Cheng Ho. Masjid ini menjadi simbol perdamaian antarumat beragama. T

erletak di kawasan Genteng Surabaya masjid ini dibangun atas prakarsa pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), para sesepuh, serta tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya.

Diresmikan pada tanggal 13 Oktober 2002, bangunan masjid ini didominasi warna khas Tiongkok seperti kuning, hijau, dan merah. Pintu masuk masjid menyerupai pagoda. Di puncak pagoda terdapat relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah yang ditulis dengan huruf Arab.

Berdiri di atas lahan seluas 21 x 11 meter persegi, bangunan utama masjid ini sebesar 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya memiliki delapan sisi di bagian atas bangunan utama.

Angka-angka itu memiliki arti tersendiri. Angka 11 menunjukkan ukuran Kabah ketika baru dibangun. Angka 9 melambangkan Wali Songo, dan angka 8 melambangkan Pat Kwa atau keberuntungan dalam Bahasa Tionghoa.

Masjid Muhammad Cheng Hoo di Banyuwangi

Di antara dua masjid tersebut di atas, Masjid Muhammad Cheng Hoo di Banyuwangi tergolong masjid yang berusia paling muda.

Masjid ini diresmikan pada November 2016 oleh Menkopolhukam saat itu, Wiranto. Masjid ini tercatat sebagai Masjid Muhammad Cheng Hook ke sepuluh yang tersebar di seluruh Indonesia.

Seperti halnya Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya, pendirian masjid ini atas inisiasi dari masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan masyarakat setempat.

Masjid ini memiliki atap lima tingkat dengan ujung yang semakin mengerucut, persis seperti pagoda. Desain pagar dan gapura pintu masuk masjid juga menyerupai klenteng yang didominasi warna merah, kuning, dan hijau.

Bangunan Masjid Muhammad Cheng Hoo di Banyuwangi ini seluas 28 x 26 meter. Selain masjid, juga telah dibangun dan diresmikan pondok pesantren di atas lahan seluas 2 hektar.

Pondok Pesantren Adz-Dzikra Muhammad Cheng Hoo merupakan pondok pesantren Cheng Hoo pertama di Indonesia. {Merdeka}