News  

Hampir Semua Produksi Untuk Cost Recovery, Yusri Usman: Minyakku Sayang, Minyakku Malang

Dengan telah ditetapkannya nilai Indonesia Crude Price (ICP) USD 20,66 per barel oleh Keputusan Menteri ESDM Nomor 95 K/12/MEN/2020 pada 8 Mei 2020, maka angka itu lah yang menjadi patokan dasar perhitungan kontrak migas di Indonesia.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman kepada redaksi RadarAktual, Rabu (13/5/2020).

“ICP digunakan untuk menghitung pendapatan dan perhitungan pengembalian investasi, biaya operasi dan ‘over head’ kontraktor atau ‘cost recovery’. Pada umumnya di kontrak PSC para pihak seperti SKK Migas dan KKKS berbagi minyak atau ‘inkind’,” papar Yusri.

Menurut Yusri, beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) seperti Chevron, British Petroleum, Exxon Mobil, Petrocina, Medco dan Pertamina dan lainnya berbagi hasil dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili SKK Migas.

“Namun penetapan angka ICP kita juga masih dianggap kontroversial oleh banyak pihak, karena ditetapkan selain mengacu ke harga dated brent, tetapi tidak memperhitungkan bahwa Pertamina memiliki kilang yang merupakan pembeli terbesar dan terdekat crude oil yang diproduksikan di Indonesia,” kata Yusri.

Dilanjutkan Yusri, merupakan suatu kejanggalan, ICP atau Official Selling Price (OSP) Indonesia ditetapkan dengan mengacu pasar Eropa dengan crude referensi yang diproduksikan di Norwegia. Karena, penetapan OSP bukan hanya sekedar dari ‘crude assay’, tetapi market dan pembeli harus diperhitungkan juga.

“Sehingga sampai saat ini nilai ICP yang menganut Brent ditetapkan itu lebih dianggap menguntungkan KKKS. ICP condong ‘under value’, sehingga Indonesia harus membagi jumlah minyak yang lebih besar untuk ‘cost recovery’. Bahkan dalam kondisi harga minyak saat ini, hampir semua minyak yang diproduksikan hanya digunakan untuk membayar ‘cost recovery’. Indonesia atau SKK Migas hanya mendapatkan kurang dari 10% minyak yang diproduksi. Bahkan negara tak menerima pajak dari kontraktor,” ulas Yusri.

Seharusnya, kata Yusri, Indonesia tidak boleh hanya menerima bagi hasil di First Tranche Petroleum (FTP), atau bagi hasil yang kecil atau revenue yang tidak digunakan untuk perhitungan bayar ‘cost recovery’.

“Karena itu, perlu kiranya Kementerian ESDM membuka ke publik tata cara penetapan ICP tersebut, agar tidak menimbulkan kecurigaan ada pihak-pihak yang mengatur untuk menguntungkan segelintir pihak dan berpotensi merugikan negara,” kata Yusri.

Diketahui, rata-rata biaya pokok produksi sumur-sumur minyak kita di onshore dan offshore berkisar USD 30 hingga USD 35 per barrel.

“Maka dengan dipatok harga ICP USD 20,66 per barel, itu artinya setiap barel minyak yang diproduksi di Indonesia saat harga minyak lagi ambyar, maka negara tekor sekitar USD 10 hingga USD 15 per barel, maka kalau produksi nasional kita saat ini 700.000 BOPD, maka setiap hari negara dan KKKS bisa tekor sekitar USD 70 juta setiap harinya. Sehingga minyak mentah dari sumur kita tak cukup untuk menutup cost recovery,” ulas Yusri.

Dikatakan Yusri, tidak tepat juga alasan Dirut Pertamina di berbagai media yang menyatakan salah satu faktor belum bisanya Pertamina menurunkan harga bahan bakar minyak karena dipaksa membeli minyak KKKS yang lebih mahal dari minyak impor.

“Memang ada kewajiban KKKS menawarkan minyak mentahnya ke Pertamina terlebih dahulu sebelum diekspor, itu diatur oleh Permen ESDM Nomor 42 tahun 2018, tentu berbasiskan hubungan bisnis to bisnis, artinya kalau harga yang dipatok KKKS itu ICP +++ yaity USD 7 hingga USD 12, dan harganya jauh lebih mahal dari harga minyak di pasar dunia dan Singapura, tentu tidak wajib bagi Pertamina membeli minyak mentah KKKS, kecuali milik bagian negara,” kata Yusri.

“Karena itu janganlah kita sering melakukan sebuah kebohongan untuk menutup kebohongan lainnya, tentu pada saatnya publik bisa mudah mengetahuinya,” ungkap Yusri.

Menurut Yusri, sudah saatnya Direksi Pertamina jujur bicara ke publik apa alasan yang paling mendasar belum menurunkan harga BBM Umum sesuai Kepmen 62 Tahun 2020 yang sudah berjalan hampir dua bulan. Sementara semua negara-negara Asean sudah menurunkannya beberapa kali dua bulan belakangan.

“Jangan-jangan Direksi Pertamina lagi menutup ada penyakit akut di dalam proses bisnis sebelumnya, seperti akusisi blok migas di luar negeri, kontrak-kontrak panjang LNG dan belum transparannya proses tender di ISC, karena perputaran uang Pertamina hampir 70% di Integrated Supply Chain (ISC) dari RKAP tahunan,” beber Yusri.

Selain itu, kata Yusri, suatu hal yang tak lucu dan aneh luci lagi, di Indonesia kalau minyak mentah itu diekspor dibebaskan dari pajak, akan tetapi bisa dijual ke dalam negeri malah dikenakan pajak.

“Itulah penyebab utama banyak minyak milik KKKS di ekspor selama ini, bahkan minyak Minas dan Duri yang seharusnya sangat dibutuhkan kilang Pertamina, tetapi oleh oknum SKK Migas malah diekspor dan diatur diperoleh oleh Kernell Oil pada tahun 2009 hingga 2012. Padahal di negara lain malah melakukan hal yang terbalik dengan apa yang dilakukan negara kita, contohnya PI atau Participasing Interest Pertamina di Malaysia, kalau minyak mentah bagian Pertamina mau dibawa ke Indonesia akan dikenai pajak 5% hingga 10%,” ulas Yusri.

“Ironinya negeriku, kesalahan dalam pengelolaan migas yang membuat derita bagi negaraku dan rakyatnya. Ibarat harga panen padi dijual dinpasar jauh di bawah harga pokok untuk petani ketika membeli bibit, menanam, memupuk, merawat dan memotong padi,” tambah Yusri.

Karena itu, kata Yusri, SKK Migas janganlah merasa hebat dalam mengendalikan KKKS kalau harga minyak di bawah harga biaya pokok produksi sumur. “Bisa-bisa kantor SKK Migas lebih pantas di ruko ketimbang bayar sewa gedung mahal seperti sekarang,” ungkap Yusri.