News  

Jangan Pakai Istilah New Normal, Epidemiolog UI: Indonesia Itu Tidak Normal!

Para ahli epidemiologi mengkritik keras upaya new normal atau kenormalan baru yang digembar-gemborkan pemerintah Indonesia untuk melakukan relaksasi aktivitas publik di luar rumah saat pandemi COVID-19.
Berdasarkan data, pertumbuhan kasus virus corona di Indonesia terus melesat dalam beberapa hari terakhir, seiring bertambahnya jumlah tes PCR massal yang ditargetkan bisa tembus 20 ribu per hari.
Laju penularan virus corona di sejumlah provinsi juga belum pada tahap aman. Angka reproduksi efektif pada waktu tertentu, atau Rt, masih berada di atas 1 pada sebagian besar provinsi di Indonesia.
Sementara itu, pemerintah sendiri melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), membuat indikator mutlkan Rt di bawah 1 selama 14 hari berturut-turut jika suatu daerah mau melakukan penyesuaian PSBB.
Peneliti epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, memperingatkan agar pemerintah tidak memakai istilah new normal.
“Indonesia itu tak normal, penuh risiko, tidak ada yang hijau. Kita semua berjuang menuju Indonesia aman, bukan normal,” ujar Pandu.
Pada 9 dan 10 Juni lalu, kasus positif COVID-19 di Indoonesia meningkat dengan jumlah masing-masing 1.043 dan 1.240 kasus per hari. Pada 11 dan 12 Juni juga naik masing-masing 979 dan 1.111 kasus positif baru.
Para ahli epidemiologi percaya bahwa kurva pertumbuhan kasus COVID-19 di Indonesia belum mencapai puncak. Dengan demikian, Indonesia masih jauh dari akhir pandemi.
Peningkatan kasus COVID-19 yang terjadi saat ini adalah akibat dari sejumlah sebab. Menurut Tifauzia Tyassuma, Direktur Eksekutif Clinical Epidemiology and Evidence Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Pertama, imbas dari melonggarnya pergerakan orang yang pulang kampung atau mudik. Kedua, konsekuensi logis dari peningkatan jumlah tes PCR yang dilakukan pemerintah. Ketiga, adalah dampak kampanye new normal.
Gaung promosi new normal dilakukan sendiri oleh pemerintah di tengah kondisi wabah yang masih belum aman menurut ahli epidemiologi.
Menurut Tifauzia, promosi new normal membuat kewaspadaan publik terhadap penularan virus corona menjadi berkurang.
“Kita tahu, masih ada masyarakat yang iliterasi. Bukan soal buta huruf, tapi soal bagaimana mereka punya pemahaman tentang informasi yang mereka dapatkan, terutama dari sosial media, itu sangat illiterate.”
“Mereka berpikir ‘A to A’. Artinya, ini kasus corona, mereka juga belum tahu kasusnya itu seperti apa, sementara di sisi lain banyak sekali hoaks, banyak sekali rumor yang menyangsikan apa benar corona itu berbahaya?” jelas Tifauzia.
Semua masalah yang terjadi dengan Indonesia saat ini, telah diteliti oleh ahli epidemiologi dalam sistem horizon scanning kesehatan masyarakat. Tentu saja ini sudah teruji secara keilmuan. Hal ini termasuk menganalisi soal sebab, masalah, dan dampaknya.
Untuk mengatasi semua masalah itu, para ahli epidemiologi menyarankan pemerintah serius memperkuat sistem fasilitas kesehatan, meningkatkan pengetahuan pencegahan COVID-19 seperti cuci tangan, pakai masker yang benar, perbanyak tes massal, dan menerapkan pembatasan sosial yang serius.
Jika pelonggaran pembatasan sosial ini terus dilakukan Indonesia, Tifauzia memprediksi kondisinya semakin buruk pada bulan-bulan berikutnya.
Akibatnya apa? Kita lihat saja nanti sekian bulan, ekonomi kita ambruk, kesehatan tambah terpuruk. Itu sudah pasti. Kalau langkah yang diambil pemerintah seperti ini. – Tifauzia Tyassuma, Direktur Eksekutif Clinical Epidemiology and Evidence Based Medicine, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). {KUMPARAN}