Dampak Nyata Resesi Bagi Indonesia: Kemiskinan dan Pengangguran Meroket

Tahun 2020 ini, ekonomi global seakan mati suri akibat lockdown untuk menghentikan penyebaran pandemi Coronavirus Disease 2019. Mandeknya aktivitas perekonomian membuat resesi tak terelakkan baik di negara maju maupun negara berkembang seperti RI.

Menurut definisi National Bureau of Economic Research (NBER) AS, resesi ditunjukkan dengan penurunan aktivitas ekonomi selama berbulan-bulan. Secara teknis, penurunan output perekonomian (PDB) dalam dua kuartal berturut-turut bisa disebut resesi.

Tahun ini resesi global dipicu oleh penyakit menular ganas bernama Covid-19 yang awalnya bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Terjangkitnya 14 juta penduduk bumi oleh penyakit ini membuat sektor produksi lumpuh dan permintaan melorot.

Pada akhirnya pandemi telah menciptakan pukulan ganda bagi perekonomian global. Mengingat rantai pasok global dibangun oleh triple mobilities yakni orang, barang dan uang, lockdown yang menyebabkan mobilitas terhambat membuat resesi di suatu negara akan merembet ke negara lain.

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki struktur ekonomi yang ditopang oleh konsumsi domestik dengan kontribusi nyaris 60% dari total output.

Negara-negara dengan ukuran populasi besar seperti Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan sehingga dapat meminimalkan dampak resesi global dan diharapkan bisa segera bangkit.

Namun sayangnya ekonomi RI masih sangat bergantung pada komoditas. Sumbangsih ekspor terhadap PDB RI mencapai 20%, sementara lebih dari 60% ekspor Tanah Air berupa komoditas yang tak memiliki nilai tambah.

Ketika resesi global terjadi, harga komoditas mengalami penurunan. Pada akhirnya ekonomi domestik pun ikut merasakan gejolak global akibat penurunan ekspor.

Pembatasan mobilitas juga diberlakukan di Indonesia melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di awal April dimulai dari zona merah wabah Covid-19 yakni DKI Jakarta.

Sebelum PSBB diterapkan saja, ekonomi RI hanya mampu tumbuh 2,97% (yoy) pada kuartal pertama tahun ini sebagai akibat melambatnya konsumsi domestik yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional.

Jika ditambah dengan PSBB yang masih diterapkan sampai sekarang maka kontraksi adalah sebuah keniscayaan untuk periode kuartal kedua. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pada kuartal kedua, pertumbuhan PDB RI mengalami penyusutan 4,3%.

Saat PSBB banyak pabrik tak beroperasi atau tetap buka dengan kapasitas rendah. Kebutuhan akan tenaga kerja menjadi menurun. Hal ini menjadi pemicu utama lebih dari 6 juta karyawan dirumahkan dan terkena PHK.

Krisis Covid-19 telah membuat pendapatan 4 dari 10 orang Indonesia menurun menurut survei sosial demografi yang dilakukan oleh BPS. Daya beli masyarakat pun tergerus.

Harga komoditas yang anjlok serta volatilitas nilai tukar rupiah yang tinggi membuat pelaku usaha menunda ekspansi dan investasinya. Para pengusaha fokus untuk menjaga likuiditas masing-masing.

Pada akhirnya tumpuan harapan untuk menyelamatkan perekonomian ada di tangan pemerintah. Namun sayangnya, pemerintah juga bukan pihak yang tak memiliki keterbatasan.

Saat pandemi merebak pendapatan negara yang mayoritasnya berasal dari pajak anjlok signifikan, sementara beban menjadi bengkak lantaran kondisi wabah yang belum pernah terjadi (unprecedented). Akhirnya defisit APBN pun membengkak.

Sejak pandemi merebak pemerintah pusat telah menggelontorkan paket stimulus ekonomi yang nilainya mencapai Rp 690 triliun lebih (>4% PDB).

Stimulus tersebut untuk dialokasikan ke sektor kesehatan, menjaga daya beli masyarakat melalui social safety net program, relaksasi pajak untuk pelaku usaha hingga kredit untuk UMKM.

Pemerintah juga bekerja sama dengan bank sentral untuk menyelamatkan perekonomian dari kejatuhan yang sangat dalam.

Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter Tanah Air sudah menggunakan berbagai toolbox moneternya melalui pemangkasan suku bunga acuan, penurunan GWM hingga kesediaan pembiayaandefisit fiskal pemerintah.

Namun upaya-upaya tersebut masih belum cukup mampu untuk membawa kapal besar berbendera merah putih dengan jumlah penumpang mencapai 268 juta kepala ini tetap ‘gagah’ mengarungi lautan berbadai.

Kapal berlayar terombang ambing di lautan lepas yang ganas. Boro-boro menyelamatkan, meredamnya saja sangat susah. Berbagai institusi riset, lembaga keuangan global hingga institusi pemerintahan memperkirakan ekonomi RI akan terkontraksi hingga lebih dari 1% di tahun ini.

Ancaman yang mendera perekonomian RI sampai sekarang masih sama yakni lonjakan kasus Covid-19 yang belum turun-turun. Padahal wabah merebak di dalam negeri sudah tiga bulan lamanya terhitung sejak kasus pertama diumumkan awal Maret oleh RI-1 Joko Widodo (Jokowi).

Total penderita Covid-19 di Indonesia mencapai 83 ribu lebih. Hampir menyalip China. Nyatanya PSBB yang digadang-gadang mampu menekan pertambahan kasus justru hanya berdampak pada kelesuan ekonomi saja, sedang wabah tak benar-benar bisa dikendalikan.

Sampai saat ini pun belum ada vaksin yang tersedia. Bahkan dengan skenario paling optimispun penangkal virus berbahaya itu diperkirakan baru tersedia tahun depan. Jelas kasus yang tak kunjung reda jadi ancaman paling mengerikan bagi perekonomian RI.

Banyak berseliweran kabar bahwa RI akan mengalami resesi. Tak bisa dipungkiri memang, jika hingga kuartal tiga output masih menyusut, maka RI mengalami periode resesi.

Lantas jika resesi apa yang akan terjadi?

Dampak dari resesi yang paling nyata adalah peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Saat wabah Covid-19 belum ganas saja angka kemiskinan sudah naik. BPS mencatat jumlah penduduk miskin di RI pada Maret lalu mencapai 26,42 juta orang.

Jumlahnya meningkat 1,63 juta orang dari periode September tahun lalu dan naik 1,28 juta orang dari Maret tahun lalu. Tingkat kemiskinan di dalam negeri naik menjadi 9,78%. Bertambah 0,56 poin persentase dari September 2019 dan meningkat 0,37 poin persentase dari periode Maret tahun lalu.

Selain akibat merebaknya pandemi Covid-19 kemiskinan di Indonesia juga dipicu oleh kenaikan harga bahan pokok terutama untuk komoditas pangan. Maklum peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dari komoditas non-pangan dengan sumbangsih sebesar 73,86%.

Jika wabah terus menyebar luas makin tak terkendali, kemudian pembatasan kembali diterapkan dan memicu disrupsi rantai pasok yang berakibat pada naiknya harga pangan, rakyat akan semakin tercekik dan jumlah penduduk miskin akan meledak.

Ledakan penduduk miskin ini lah yang membahayakan. Ketidakmampuan pejabat publik dalam mengendalikan situasi krisis seperti sekarang bisa menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat. Pada akhirnya ledakan kemiskinan bisa memicu apa yang disebut social unrest.

Ini lah yang sangat membahayakan, social unrest dapat menyebabkan stabilitas politik menjadi terganggu. Kerusuhan hanya akan menimbulkan kerugian baik psikologis dan material secara kolektif untuk bangsa Indonesia.

Namun sejatinya ada beberapa faktor yang berpeluang menyeret Indonesia ke dalam social unrest tersebut.

Seperti angka kemiskinan, sentimen negatif terhadap kedekatan Jakarta-Beijing, perbedaan pendapat seputar Omnibus Law, konflik horizontal antar ras dan agama hingga merebaknya fenomena social unrest global beberapa waktu lalu.

Tentunya hal ini harus disikapi dengan serius oleh pemerintah. Tanpa manajemen konflik yang baik social unrest dapat membawa suatu negara jatuh ke dalam kegagalan.

Suatu negara dikatakan gagal apabila tak mampu memenuhi hak-hak dasar dari masyarakatnya. Negara-negara ini dicirikan dengan sering meletusnya konflik.

Apakah Indonesia akan menjadi negara gagal karena krisis Covid-19?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya kita harus mendefinisikan terlebih dahulu apa itu negara gagal dan indikatornya.

Menurut Zartman (1995), negara dikatakan gagal ketika ‘dasar fungsi negara tidak lagi dilakukan …. Ini mengacu pada situasi di mana struktur, otoritas (kekuasaan yang sah), hukum, dan tatanan politik telah hancur ‘.

Hancurnya suatu negara biasanya dipicu oleh krisis yang disebabkan oleh banyak faktor seperti krisis ekonomi maupun krisis kesehatan seperti yang terjadi sekarang ini di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Jika mengacu pada definisi tersebut jelas bahwa Indonesia masih jauh dari berbagai indikator negara gagal. Kita semua berharap hal itu pun tak akan terjadi. Cukup krisis moneter saja pada 22 tahun silam kita menyaksikan kisruh dan penjarahan terjadi di mana-mana. Jangan sampai kali ini terulang lagi.

Kendati demikian, fundamental ekonomi RI yang rapuh memang sangatlah mengkhawatirkan.

Sehingga penanganan wabah yang fokus, jelas, terukur, tegas, dan terkoordinasi mutlak diperlukan guna menghindarkan kapal bermuatan besar ini dari benturan keras karang di laut lepas akibat badai yang bisa membuat karam. {CNBC}