News  

Bank Harus Waspada! Utang Emiten Batu Bara Tembus Rp.94 Triliun

Institut Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan atau Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) melakukan review terhadap sedikitnya 11 perusahaan tambang besar di Indonesia, mayoritas tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Ke-11 perusahaan batu bara besar itu yakni PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT ABM Investama Tbk (ABMM), Geo Energy Resources (Geo Energy Group), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Toba Bara Sejahtra Tbk (TOBA).

Kemudian PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Indika Energy Tbk (INDY), Golden Energy and Resources (induk PT Golden Energy Mines Tbk/GEMS), dan PT Bayan Resources Tbk (BYAN).

Dalam kajiannya, IEEFA menemukan perusahaan batu bara Indonesia besar memiliki pinjaman sebesar US$ 3,8 miliar atau setara dengan Rp 56 triliun kepada bank asing dan domestik termasuk mayoritas kepada PT Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Permata Tbk (BNLI).

“Perusahaan batu bara terkemuka memiliki pinjaman sebesar US$ 3,8 miliar yang ditanggung oleh bank-bank Indonesia dan asing termasuk empat pemberi pinjaman domestik yang menonjol, Bank Mandiri, BNI, BRI dan Bank Permata,” kata Analis Keuangan IEEFA, Ghee Peh, (14/9/2020).

“Sifat eksposur [utang] tidak diungkapkan, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah bank-bank tersebut telah mengamankan agunan yang menutupi potensi kerugian,” katanya.

“Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah bank-bank tersebut dilindungi dari kemungkinan kerugian lebih lanjut?”

“Karena perusahaan batu bara sedang kesulitan memenuhi kebutuhan sementara obligasi sektor batu bara yang saat ini sebesar US$ 3,1 miliar [Rp 46 triliun] juga tidak mungkin untuk didanai kembali,” kata Peh.

Sebab itu, dengan total utang emiten batu bara US$ 6,4 miliar atau setara Rp 94 triliun , bantuan keuangan apa pun yang diberikan kepada industri batu bara akan langsung jatuh ke tangan pemberi pinjaman, sehingga industri ini berpotensi tertekan.

Berdasarkan laporan terbaru IEEFA itu, kondisi industri batu bara yang lemah secara struktural semakin diperburuk oleh Covid-19 setelah harga batu bara turun 52% dalam 5 bulan pasca-pandemi.

Selain itu, pasar ekspor batu bara Indonesia juga turun karena berbagai negara, termasuk China dan India, memangkas impor dan semakin beralih ke sumber domestik untuk meningkatkan ketahanan energi.

“Industri batu bara Indonesia berada dalam masalah secara struktural dan finansial setelah sejumlah perusahaan kesulitan mencapai break-even,” kata Peh.

Dana talangan tak perlu

Penurunan harga batu bara hingga 50% sejak Januari 2020 memang menghantam industri yang sebelum pandemi memang sudah mengalami tren penurunan. Sebab itu, IEEFA merekomendasikan agar pemerintah Indonesia tidak memberikan dana talangan dan keringanan fiskal ke sektor batu bara.

Dengan hanya satu perusahaan batu bara yang mendapat laba, pemerintah Indonesia harus membiarkan pasar untuk memutuskan masa depan perusahaan batu bara yang mengalami kesulitan keuangan dan ingin mengajukan keringanan pembayaran royalti kepada negara.

“Dengan harga patokan batu bara saat ini US$ 47/ton, hanya ada 1 dari 11 perusahaan batu bara Indonesia yang kami ulas yaitu-Bayan Resources-berada pada titik impas atau lebih baik,” katanya.

“Sebaliknya, menurut perkiraan kami, Bumi Resources, ABM Investama dan Geo Energy Resources (pemilik sejumlah perusahaan batu bara Indonesia yang listing di Singapura) merupakan paling berisiko.”

“Hal itu disebabkan karena gearing ratio mereka lebih tinggi dan sekarang harga break-even mencapai US$ 63/ton untuk Bumi, US$ 61/ton untuk ABM Investama, dan US$ 60/ton untuk Geo Energy Resources.”

“Jika harga batu bara yang rendah terus berlanjut, perusahaan-perusahaan ini tidak akan dapat mengelola beban utangnya.”

“Sementara pasar energi secara global terpengaruh oleh perlambatan yang diakibatkan oleh Covid-19, sejumlah pemerintah, termasuk Amerika Serikat, mundur dari memberikan bantuan keuangan kepada perusahaan batu bara karena penurunan tajam nilai aset yang mencerminkan penurunan struktural industri tersebut.”

Hampir 140 pemberi pinjaman global yang signifikan, asuransi, dan manajer aset telah mengumumkan divestasi mereka dari pembiayaan batu bara, dan perusahaan pertambangan besar termasuk Anglo American, Rio Tinto, dan BHP telah menjual atau sedang menjual aset batu bara mereka.

Pergerakan ini menandakan pandangan negatif terhadap profil ekonomi dan risiko aset batu bara dan mendukung pandangan bahwa penurunan nilai ekonominya lebih bersifat struktural daripada siklikal.

Sementara itu, harga batu bara masih akan tertekan akibat naiknya sumber energi terbarukan, terutama tenaga angin dan surya.

Berdasarkan analisis IEEFA, pemerintah Indonesia mengumpulkan US$ 1,1 miliar dalam bentuk royalti dan US$ 1,2 miliar dalam bentuk pajak pada 2019 dari 11 perusahaan batu bara.

Setiap bailout pemerintah untuk industri batu bara akan melindungi perusahaan berkinerja buruk yang gagal menghasilkan laba yang ditargetkan dan hal ini akan menimbulkan risiko pada keuangan negara.

Saat ini, menimbang kondisi perekonomian di masa pandemi, membiarkan tambang dan perusahaan batu bara yang berkinerja buruk dan memiliki fundamental lemah merupakan pilihan yang tepat secara ekonomi.

“IEEFA merekomendasikan agar pemerintah tidak memberikan dana talangan (bailout) maupun insentif fiskal ke sektor batu bara,” kata Peh.

IEEFA adalah lembaga nirlaba berbasis di Detroit yang melakukan riset berkaitan dengan sumber daya mineral.

IEEFA didukung pendanaan dari beberapa investor di antaranya Rockefeller Family Fund, Energy Foundation, Mertz-Gilmore Foundation, Moxie Foundation, William and Flora Hewlett Foundation, Rockefeller Brothers Fund, Growald Family Fund, Flora Family Fund, Wallace Global Fund, dan V. Kann Rasmussen Foundation. {CNBC}