News  

Kerbau, G30S/PKI, dan Lontara Bubat

Oleh Indra J Piliang

Ketua Perhimpunan Sang Gerilya

Buku laris Syed Husein Al-Attas bertajuk “Mitos Pribumi Malas” dan “Intelektual Masyarakat Berkembang” barangkali sudah tidak dibaca lagi di Indonesia. Namun, bisa saja buku itu terus dijadikan sebagai dokumen paling penting bagi diplomat dan intelijen Singapura dan Malaysia.

Betapa tidak, buku itu yang menobatkan suku Melayu di Singapura, Malaysia, serta tentu di Indonesia, sebagai “bangsa kerbau” yang paling mudah dicucuk hidungnya. Tinggal dikasih jerami kering guna dimamah, kerbau itu dengan tenang mengunyah di kandang atau kembali bekerja menarik pedati.

Ketika buku itu mencapai puncak kesuksesan di kalangan cendekiawan Indonesia guna dibaca, pandangan betapa suku Melayu di Singapura dan Malaysia rentan dengan korupsi bernilai recehan.

Ada semacam semangat menepuk dada di dalam sejumlah pembahasan buku itu, tak terkecuali dalam bentuk tulisan, terutama dalam majalah Prisma. Kalangan Melayu di Indonesia sudah setapak lebih moderen.

Bagaimana sekarang?

Ketika prinsip-prinsip good governance di kedua negara tetangga itu lebih tertanam ketimbang di Indonesia, kaum Melayu di sana yang balik menepuk dada.

Sejumlah insiden yang terjadi di lapangan sepakbola, kalangan buruh migran, penyebutan sebagai bangsa Indon, adalah strata sosial yang dilekatkan oleh sesama Melayu di Malaysia.

Nak bercakap ape, jika melihat begitu banyak perusahaan-perusahaan nasional Indonesia yang “dilahap” Temasek Holding atau Khazanah Berhad.

Klasifikasi baru muncul, bahwa sekalipun sesama Melayu, tetapi jika dijajah oleh bangsa yang berbeda, bisa menghasilkan Melayu yang berbeda pula.

Malaysia dan Singapura dijajah Inggris, sehingga Melayu sana bisa lebih aristokratif. Indonesia dijajah Belanda, sedikit sekali memberi tempat kepada Melayu kategori Pangreh Praja.

Yang terbanyak?

Ya, itu, kuli di perkebunan, pabrik, hingga lokasi-lokasi persundalan. Amerika Serikat dalam Perang Saudara, terbagi dua ke dalam utara yang industrialis dan selatan yang agraris.

Utara lebih peduli hak asasi manusia, selatan terjebak perbudakan. Kalangan Melayu di bagian utara lebih mampu menegakkan kepala, dibanding teman-temannya di selatan yang berarti Nusantara.

Selain malas, suka mengunyah, mudah dicucuk hidung, apalagi ciri kerbau-kerbau itu?

Bakal terus-menerus berjalan dengan mata tertutup. Seakan menempuh perjalanan jauh berkilo meter. Padahal, kerbau itu sedang mengelilingi kumparan kayu di area perkebunan tebu.

Air tebu diperas dengan cara dijepit dua bulatan kayu raksasa yang terkadang bergerigi rantai. Ampas menyeberang.

Saya ingat, sejumlah kecelakaan terjadi di kampung kami Aie Angek. Tangan yang ikutan remuk. Atau kaki yang tergelincir, pun berakhir remuk. Selain licin, kondisi kumparan yang digiling terus oleh kekuatan kerbau itu berlacah atau berlumpur.

Tentang modernisasi tergantung negara yang menjajah sudah pasti terbantah. Kincir-kincir air yang digunakan menumbuk padi atau menghasilkan listrik, juga “teknologi” peninggalan Belanda.

Jangan lupa, negara menjadi negara berwatak welfare state yang lebih stabil dibanding Inggris. Teratas bersama sejumlah negara Skandinavia.

Pun, mau dikenang sebagai rumpun Melayu manapun, sangat sulit menemukan missing link antara Melayu Malaysia dengan Indonesia. Tak ada keterputusan rantai genetika.

Dalam tiga-empat generasi yang diurut, langsung bertemu hubungan sedarah sekeluarga. Melayu Tua dan Muda tidak berjarak dalam hitungan seikat abad. Interaksi dengan peradaban Islam atau beragama Islam adalah bentuk kemelayuan itu.

Ulang-berulang masalah pro-kontra film G30S/PKI setiap tahun apa berhubungan dengan jalan menunduk kerbau di atas?

Terantuk dalam persoalan yang sama. Yang ajaib, bukan melibatkan orang yang sama, atau minimal berada dalam “klaster” terdekat dari yang ditumpas dan yang menumpas.

Justru yang bergelut di lini masa adalah kelompok yang baru sama sekali. Tentu terhadap kelompok yang lain yang juga baru terpapar topik PKI-PKI-an.

Afiliasi politik dalam peristiwa menang-kalah yang sudah berlangsung memberi pola. Terkecuali dalam masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, status quo diwakili pendukung petahana, progresif oleh oposisi.

Peristiwa 1965 sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Tidak mungkin yang lahir tahun itu adalah pelaku, namun bisa saja korban. Bayi yang lahir 55 tahun lalu tidak mungkin menjadi pelaku. Korban? Bisa saja. Lahir kehilangan keluarga.

Bagi mereka yang sudah berusia di atas tujuh tahun pada 1965 itu? Trauma barangkali. Baik intimidasi dari elemen PKI yang sedang bergelora dengan rapat-rapat raksasa penuh massa.

Googling saja, betapa rapi DN Aidit dalam mendokumentasikan setiap pidato. Baik dalam rapat partai, apalagi di hadapan massa rakyat.

Jauh lebih mudah mendapatkan pidato DN Aidit, dibanding pidato Presiden Soeharto misalnya. Makin maju teknologi distribusi informasi yang dipakai, makin sulit mendapatkan isi pidato secara lengkap, dibanding dalam bentuk mesin ketik biasa atau fotokopian dari ketikan komputer.

Coba cari isi pidato utuh Pak Gatot Nurmantyo dalam salah satu sesi deklarasi keliling KAMI?

Sulit sekali. Setara dengan kesulitan mengakses visi misi yang disampaikan pasangan calon kepala daerah yang sudah diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Membedakan wajah masing-masing calon tentu mudah, terkecuali kandidat kembar berada dalam posisi berseberangan.

Bagaimana membedakan program kerja? Satu-satunya cara, memeriksa dokumen visi-misi itu.

Nah, dari sisi itu saya pun ingin bertanya: ketika PKI itu benar-benar hidup, atau hidup benar-benar, apakah visi, misi dan program mereka masih serupa dengan isi pidato DN Aidit?

Kalau membandingkan dengan partai-partai komunis sejumlah negara dewasa ini, tentu sulit. China, Russia, Vietnam, Cuba, dan puluhan negara lain yang dari sisi kesejahteraan ekonomi dan penguasaan teknologi berada di jajaran atas.

Sudah lama negara komunis Soviet berlomba di luar angkasa. Armada perang China kian kuat di laut. Cuma berapa jumlah negara pemegang hulu ledak nuklir yang non komunis?

Padahal, ketika peristiwa G30S/PKI meletus, China dikuasai oleh kelompok nasionalis. Mereka berhasil menghadang dominasi kelompok komunis untuk sekian lama.

Chou In Lai, Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok dari kalangan nasionalis, menjabat dari tahun 1949 sampai 1975 dalam status pedang pembunuh naga terbesar yang berhasil menyingkirkan kaum komunis.

Saya tentu tidak bisa menduga-duga, seperti apa sosok PKI era kini. Yang tahu tentu pihak yang menuduh. Bukan keluarga turun-temurun yang berhadapan dengan PKI seperti keluarga saya.

Trauma berlarut terjadi ketika peristiwa elite itu merembes ke rakyat. Para pendekar berilmu silat tinggi dengan mudah meringkus kelompok PKI yang duduk pada barisa yang lebih berkuasa zaman itu.

Rapat demi rapat memakmurkan tubuh dengan ideologi revolusioner dan proletar mereka. Tubuh yang lamban, lupa latihan, hingga mudah dipataskan dengan satu — dua sapuan jurus.

***

Andai Peristiwa Bubat difilmkan, apakah perputaran energi arus kerbau juga bakal terjadi. Bayangkan, akibat dari operasi kontra intelijen terhadap pahlawan penyatuan nusantara bernama Mahapatih Gajahmada itu masih terasa.

Padahal, sudah berusia 663 tahun. Sekitar 12 kali lipatan tahun dibandingkan dengan G30S 1965. Energi kerbau sekuat apa yang bisa memutari kumparan selama itu?

Dampak Peristiwa Bubat itu jauh lebih fatal dibandingkan dengan stigmatisasi Melayu berbeda antar negara penjajah tadi. Tak banyak lagi perbedaan antara orang Melayu se-kawasan, dibanding orang Jawa merasa berbeda dengan orang Sunda/Banten.

Kesumat dendam masih terserak di banyak altar budaya. Berlapis dengan politik aliran. Ketika PDIP tidak dapat kursi DPR di Aceh dan Sumbar tahun lalu, PAN pun alami hal yang sama di Jawa Tengah.

Bagi saya, menggali dokumen sezaman terkait Peristiwa Bubat jauh lebih penting, ketimbang terus bersitumpu dengan putaran kumparan yang sama seputar G30S/PKI.

Seakan tulisan yang berada dalam daun-daun lontar terkait perisiwa itu sudah dibuang jauh, dihitamkan. Siapapun bakal kesulitan melacak kebesaran Gajahmada dalam bentuk penghormatan kepada Panglima Tertinggi Armada Majapahit yang berbendera Keris Mpu Gandring itu.

Didaulat dengan hebat oleh Muhammad Yamin lewat untaian kalimat Sumpah Palapa, dinyatakan berhasil menyatukan Nusantara, akhir Gajahmada dipermalukan ketika hendak pensiun.

Dengan julukan sebagai bandot pemetik bunga. Bahwa Gajahmada adalah anak muda sakti yang paling dipercaya untuk menjaga kamar tidur putri-putri Kartanegara hingga Dara Petak, sama sekali terlupakan.

Bukan saja persatuan nusantara tak berhasil dipertahankan, malah di tanah yang sama, terjadi pertikaian terus-menerus hingga berwujud perbedaan politik zaman kini.

Bagaimana Nusantara bisa disatukan, sementara duri dari tulang yang terinjak di Bubat masih tertanam di dalam hati, babad, dan tuturan orang Sunda dan Jawa di pulau yang sama? Padahal, kunci persatuan nusantara adalah persatuan kuat antara Jawa dan Sunda ini

Lontara hitam yang menyimpan sobekan hitam itu ternyata sudah ikut menjadi batu. Dibutuhkan usaha yang keras guna mengubah lontara itu kembali putih…

Jakarta, 29 September 2020

NB: Naskah belum diedit. {kompasiana}