News  

UU Cipta Kerja Bikin Pengusaha Batu Bara Bisa Bebas Bayar Royalti

Pengusaha tambang batu bara dapat menikmati insentif bebas bayar royalti apabila melakukan meningkatkan nilai tambah produksinya. Hal itu tercantum dalam Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang disahkan oleh DPR pada awal pekan ini.

Dalam Pasal 39 Omnibus Law Ciptaker, pemerintah mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020, salah satunya dengan menyisipkan Pasal 128A.

Sesuai Pasal 128A(1), pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Pada ayat berikutnya, pemerintah memperjelas maksud perlakuan tertentu itu.

“Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen (nol persen),” tulis Pasal 128A(2) yang tercantum dalam Pasal 39 Poin 1 Omnibus Law Ciptaker, dikutip Rabu (7/10).

Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu itu selanjutnya akan diatur dengan peraturan pemerintah.

Pengamat Energi Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai hilirisasi sangat penting bagi negara untuk meningkatkan nilai tambah batu bara, konservasi cadangan batu bara, dan memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri.

Selain itu juga penting untuk tumbuhnya industri pengembangan/pemanfaatan batu bara dan mengganti paradigma batu bara sebagai komoditas menjadi batu bara sebagai modal dasar pembangunan nasional.

Kendati demikian, hilirisasi batu bara selama ini menghadapi kendala yaitu biaya yang tinggi, teknologi yang mahal, dan pasar yang belum jelas. Insentif bebas royalti ini bisa menjadi opsi yang dapat diambil bagi perusahaan yang masuk ke bisnis hilirisasi.

“Kebijakan peningkatan nilai tambah ini sudah seharusnya dilakukan dari perspektif negara karena selama ini bisnis batu bara hanya bisnis keruk, angkut, dan jual tanah air. Padahal, sesuai Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 ia mesti sebesar-sebesar digunakan untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia Hendra Sinadia mengapresiasi pemberian insentif fiskal dalam mendorong pengembangan hilirisasi.

Namun, ia mengingatkan pengusaha mempertimbangkan banyak faktor dalam mengambil keputusan investasi, salah satunya, kepastian pasar untuk menyerap produk yang dihasilkan. Terlebih, hilirisasi membutuhkan investasi yang besar, jangka panjang, dan risiko tinggi.

“Kata kuncinya keekonomian,” ujar Hendra.

Sebagai informasi, porsi royalti untuk pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) sebesar 13,5 persen dari tonase produksi dikalikan harga jual.

Sementara, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81/2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, besaran royalti yang harus dibayarkan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan kontrak karya (KK) bervariasi bergantung pada tingkat kalori batu bara.

Berikut rinciannya:

A. Tambang terbuka (open pit)
– Tingkat kalori kurang dari atau sama dengan 4.700 Kkal/kg: 3 persen dari harga jual per ton.
– Tingkat kalori lebih dari 4.700 hingga 5.700 Kkal/kg: 5 persen dari harga jual per ton.
– Tingkat kalori lebih dari atau sama dengan 5.700 Kkal/kg: 7 persen dari harga jual per ton.

B. Tambang bawah tanah (underground)
– Tingkat kalori kurang dari atau sama dengan 4.700 Kkal/kg: 2 persen dari harga jual per ton.
– Tingkat kalori lebih dari 4.700 hingga 5.700 Kkal/kg: 4 persen dari harga jual per ton.
– Tingkat kalori lebih dari atau sama dengan 5.700 Kkal/kg: 6 persen dari harga jual per ton. {CNN}