News  

Tokoh NU Akhmad Sahal: Jokowi Luntur Kejokowiannya, Alami Proses Dejokowiisasi

Usulan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dari pemerintah hingga disahkan menjadi undang-undang menuai polemik di masyarakat. Penolakan bahkan dilakukan dengan menggelar aksi unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia.

Pada saat yang sama, Presiden Joko Widodo justru melakukan kunjungan ke Kalimantan Tengah. Presiden dianggap tidak ingin mendengar aspirasi dari rakyatnya.

Kekecewaan pun muncul dari berbagai pihak, termasuk para pendukung Jokowi saat pemilihan presiden lalu.

Salah satunya disampaikan oleh Tokoh Nahdlatul Ulama yang sekaligus Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika Serikat Akhmad Sahal.

Dalam akun Twitternya, Akhmad Sahal kecewa dengan sikap Jokowi. Ia merasa, Jokowi telah berubah. Jokowi kini dianggap tidak lagi mendengarkan aspirasi rakyat.

“Makin banyak pendukung Jokowi, termasuk saya, yang merasa Jokowi luntur keJokowiannya. Jokowi sedang mengalami proses deJokowiisasi.”

“Dalam debat presiden 2014, Jokowi bilang demokrasi adalah mendengar secara langsung suara rakyat. Sayangnya, kesediaan Jkw utk mendengar suara rakyat kini mulai luntur,” tulisnya, seperti dikutip Wartakotalive.com, Sabtu (10/10/2020).

Kekecewaan juga datang dari tokoh NU lainnya, Ulil Abshar Abdalla. Ulil bahkan merasa kecewa dengan pidato presiden Jokowi yang terkesan menyalahkan demonstran penentang UU Cipta Kerja.

“Saya menyesalkan pidato Pak @jokowi kemaren, menanggapi protes2 atas pengesahan UU CK. Intinya, Pak Jokowi menegaskan bahwa ada disinformasi dan salah paham atas UU ini.Ini pidato yang kurang tepat, untuk tidak mengatakan buruk. Seolah-olah yang protes ndak ngeri isi UU ini,” tulis Ulil.

“Ini bukan Orde Reformasi. Ini adalah Orde Tuli. Orde yg ditandai dg sikap pemerintah yg makin insuler, “self-contained”, ndak mau mendengarkan publik.

Yang didengar hanya kartel oligarki. Ya, saya pakai istilah ini: OLIGARKI,” tulisnya lagi.

PBNU tolak UU Cipa Kerja

Sikap PBNU sendiri menolak terhadap pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan akan melakukan uji materi atau judicial review Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam keterangan tertulis

“Upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa,” imbuh Said.

Kiai Said juga menegaskan NU menolak UU Cipta Kerja yang baru disahkan Senin (5/10) lalu. Menurutnya, UU tersebut jelas merugikan rakyat kecil dan menguntungkan kapitalis.

Said menyoroti keberadaan pasal pendidikan yang termaktub dalam UU Ciptaker. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 26 poin K yang memasukkan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha.

Kemudian Pasal 65 yang menjelaskan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU Ciptaker itu.

Said menegaskan bahwa lembaga pendidikan bukanlah sebuah perusahaan. Ia menilai pasal tersebut dapat melahirkan potensi pendidikan yang disulap sebagai sebuah entitas untuk mencari untung atau komersil.

“Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni,” jelas Said.

Said juga menyoroti sistem kontrak kerja yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi para buruh atau pekerja. Ia mengaku cukup memahami aspirasi dan penolakan dari buruh terkait hal itu.

Said memahami pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor. Namun, di sisi lain merugikan jaminan hidup laik bagi kaum buruh dan pekerja.

Lebih lanjut, Said juga menyinggung soal sertifikasi halal. Menurutnya, dalam Pasal 48 UU Cipta Kerja telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hal tersebut dinilai mengokohkan pemusatan dan monopoli fakta kepada satu lembaga saja.

“Semangat UU Ciptaker adalah sentralisasi, termasuk dalam sertifikat halal,” kata dia.

Menurut Said, sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme syariah yang tumbuh dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi.

Selain itu, kata Said, UU Cipta Kerja itu juga akan mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal, karena kualifikasi auditor sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga atau pertanian.

Maka dari itu, Said meminta warga NU harus memiliki sikap yang tegas dalam menilai UU Cipta Kerja. Ia menegaskan kepentingan rakyat kecil tetap harus diperjuangkan. {tribun}