Sekjen PDIP: Kebijakan Presiden Jokowi Mana Yang Rugikan Bangsa dan Negara?

Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang menuai kontroversi dan memicu aksi unjuk rasa masif di berbagai daerah di Indonesia.

Sebagian besar massa Anti UU Cipta Kerja menuding pemerintah mengkhianati rakyat dengan pengesahan undang-undang buruh tersebut.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menepis anggapan pemerintah berkhianat dengan mengesahkan UU Cipta Kerja. Dia menyarankan agar masyarakat kembali melihat track record strategi leadership Jokowi-Maruf Amin.

Alumni Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada itu kemudian mempertanyakan, selama kepemimpinan Jokowi, kebijakan yang mana yang merugikan bangsa dan negara?

“Kepemimpinan beliau itu mana yang merugikan bangsa dan negara? Ini yang harus kita lihat. Kemudian dialog, ya kita dialog,” kata Hasto saat menyambangi markas Tribun Network di Jakarta, Selasa (13/10/2020).

Hasto menjelaskan, langkah ke depan adalah memperbanyak sosialisasi UU Cipta Kerja melalui webinar.

“Sebaiknya kita perbanyak ini (sosialisasi UU Cipta Kerja), sekarang kan pakai webinar mudah sekali. Kita bahas konten dari Undang-undang Cipta Kerja tersebut,” tuturnya.

PDIP, lanjut Hasto, bahkan turut meminta seluruh anggota fraksi turun memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang UU Cipta Kerja.

Lebih lanjut, Hasto mempersilakan massa Anti UU Cipta Kerja melakukan demonstrasi. Menurutnya, demonstrasi dan menyampaikan aspirasi di muka umum adalah adalah hak yang diatur dalam konstitusi.

“Tetapi jangan merusak fasilitas-fasilitas publik. Sampaikan dengan baik, kita malu dong dengan Korea Selatan, yang merdekanya lebih belakang dari kita.”

“Mereka ada perang saudara tahun 1950-an, kenapa kita tidak bisa bercermin dari kedisiplinan bangsa lain?” Tutur Hasto.

Hasto menyatakan PDIP siap berdialog dengan mereka yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga siap berdialog dengan mereka yang menentang UU Cipta Kerja.

Pernyataan ini disampaikan Hasto menyoroti aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di berbagai daerah yang disertai tindakan anarkis dari massa demonstran.

Alumni Fakultas Teknik UGM itu turut menegaskan, tak pantas bila kita sebagai bangsa yang mengatasnamakan diri ber-Pancasila, melakukan tindakan anarkistis di muka umum.

“Ada sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, Keadilan Sosial, tapi dalam praktik kita kedepankan amuk sosial tersebut,” tegas Hasto.

“Maka mari, PDI Perjuangan juga siap berdialog, Pak Jokowi apalagi,” imbuh Hasto mengajak masyarakat mengedepankan dialog dibanding tindakan anarkistis.

Hasto menyampaikan, Presiden Jokowi adalah sosok pemimpin yang siap mendengarkan aspirasi dan tidak pernah berniat menyengsarakan masyarakat.

Atas dasar itu, dia mengajak masyarakat untuk mengendapkan dialog terkait UU Cipta Kerja. Utamanya demi membangun energi positif demi kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

“Beliau (Jokowi) siap berdialog, beliau pemimpin yang mendengarkan, pemimpin yang tidak menyengsarakan rakyat. Maka ini harusnya menjadi modal bagi kita untuk membangun energi positif bagi kehidupan bangsa dan negara,” papar Hasto.

812 halaman

DPR bakal mengirimkan naskah final Undang-undang Cipta Kerja setebal 812 halaman ke Presiden Joko Widodo, Rabu (14/10/2020) besok.

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, DPR memiliki waktu tujuh hari kerja sebelum dikirim ke Presiden.

Waktu tujuh hari dilakukan untuk melakukan proses editing UU Cipta Kerja yang telah disahkan saat rapat paripurna pada 5 Oktober 2020.

Menurut Azis, ketentuan tujuh hari kerja tersebut tercantum dalam mekanisme tata tertib DPR, khususnya pasal 165 dan pasal 1 butir 18. Hari kerja adalah Senin sampai Jumat.

“Sehingga tenggat waktu untuk penyampaian Undang-undang Cipta Kerja akan jatuh pada 14 Oktober 2020.”

“Pada saat resmi besok dikirim ke Presiden, maka secara resmi undang-undang ini menjadi milik publik,” ujar Azis di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (13/10/2020).

Azis menjelaskan, penyusutan halaman draf UU Cipta Kerja dari sebelumnya 1.035 halaman menjadi 812 halaman, karena telah diedit tanpa menghilangkan atau menambah subtansi dari undang-undang tersebut.

“Proses yang dilakukan di Baleg itu menggunakan kertas biasa. Tetapi pada saat sudah masuk pada tingkat II (paripurna), proses pengetikannya masuk di Badan Kesekjenan yang menggunakan legal paper.”

“Yang sudah menjadi kesepakatan ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang,” paparnya.

“Sehingga besar dan tipisnya yang berkembang, ada yang seribu sekian, ada yang tiba-tiba 900 sekian.”

“Tapi setelah dilakukan pengetikan secara final berdasarkan legal drafter yang ditentukan Kesekjenan melalui mekanisme total jumlah pasal dan kertas, hanya sebesar 812 halaman. Berikut undang-undang dan penjelasannya,” sambung Azis. {tribun}