News  

IPB University: 2 Juta Anak Indonesia Alami Wasting, Terlihat Tua Dan Sangat Kurus

Asian Development Bank (ADB) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) melaporkan bahwa 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis antara tahun 2016 dan 2018.

Laporan berjudul “Kebijakan Mendukung Kebutuhan Investasi Pangan dan Pertanian Indonesia tahun 2020-2045” juga mengungkapkan bahwa masalah akses dan kerawanan pangan masih belum terselesaikan.

Prof Dr Muhammad Rizal Martua Damanik, Guru Besar IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia mengatakan dalam laporan Global Hunger Organization (GHO) 2019 untuk Global Hunger Index (GHI) menunjukkan bahwa masyarakat di negara-negara anggota ASEAN masih relatif lapar.

Pada tahun 2018, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 119 negara yang disurvei, tertinggal dari negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand (44), Malaysia (57), Vietnam (64), Myanmar (68), dan Filipina (69).

Namun pada tahun 2019, GHI Indonesia berhasil memperoleh skor yang lebih baik, meski hanya sedikit. Dari 117 negara yang disurvei, Indonesia berhasil menempati urutan ke-70 yang masih kalah dari Thailand (46), Malaysia (57), Vietnam (62) dan Myanmar (69).

“Dalam studi terpisah yang diterbitkan oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia menempati peringkat ke-65 dari 113 negara di Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI).”

“Peringkat tersebut berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang menempati urutan pertama dalam indeks, Malaysia di peringkat ke-40, Thailand (54) dan Vietnam (62),” katanya.

Prof Rizal menambahkan, lapar dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang saling terkait. Orang mengalami lapar karena tidak tersedianya pangan untuk dimakan.

Lapar yang berkelanjutan akan menyebabkan orang mengalami kurang gizi, energi dan berbagai komponen gizi mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.

Pada kelompok rentan seperti ibu hamil dan bayi, kurang gizi secara kronis akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan janin dan bayi yang kemudian berpotensi mengalami stunting.

“Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk hidup sehat, aktif dan produktif berkelanjutan.”

“Hal ini menunjukkan keterkaitan yang jelas antara ketahanan pangan dan lapar atau kurang gizi. Setidaknya ada tiga keterkaitan utama yaitu ketersediaan pangan; tidak ada rumah tangga yang kelaparan, akses dan rantai distribusi terhadap pangan (bergizi) dapat terjangkau dan pemanfaatan pangan (dan kestabilan pangan),” tuturnya.

Prof Rizal menjelaskan, kejadian pandemi COVID-19 yang berlangsung sejak awal tahun 2020 merupakan kejadian yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.

Pandemi COVID-19 juga telah berdampak pada perubahan tatanan kehidupan sosial serta menurunnya kinerja ekonomi. Turunnya kinerja ekonomi ini berdampak pada hilangnya pekerjaan dan hilangnya pendapatan masyarakat.

“Kehilangan pendapatan akan menyebabkan daya beli keluarga akan pangan rendah, kemudian menyebabkan lapar sehingga dapat mengakibatkan kurang gizi. Saat ini lebih dari dua juta anak Indonesia menderita wasting yang parah atau berat badan yang rendah untuk tinggi badan.”

“Suatu jenis kurang gizi akut yang ditandai dengan hilangnya lemak tubuh dan jaringan otot secara masif yang menyebabkan mereka terlihat tua dan sangat kurus, memiliki kekebalan yang lemah, rentan terhadap keterlambatan perkembangan jangka panjang dan menghadapi peningkatan resiko kematian, terutama bila wasting parah.”

“Dalam jangka panjang, kekurangan asupan gizi akan meningkatkan risiko penyakit jantung, hipertensi, diabetes, obesitas dan penyakit degeneratif lainnya,” ujarnya.

Tantangan jangka panjang, pandemi COVID-19 dapat mengancam sistem pangan, menurunnya ketersediaan dan rantai distribusi, serta ketidakstabilan ketahanan pangan suatu negara. Ketahanan pangan mempunyai hubungan yang paling erat dengan pembangunan sektor pertanian.

Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan baik di tingkat wilayah.

Sementara ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga, akan ditentukan pula oleh daya daya beli masyarakat terhadap pangan.

“Berbagai upaya masih harus terus dilakukan untuk mengakhiri kelaparan pada tahun 2030 dan sepenuhnya memberantas kelaparan pada tahun 2045, saat Indonesia memasuki periode emasnya.”

“Investasi dalam penelitian dan pengembangan sektor pertanian, perluasan irigasi dan efisiensi penggunaan air serta peningkatan infrastruktur pedesaan merupakan upaya-upaya yang perlu mendapat perhatian serius,” tandasnya.

Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini menyampaikan, seluruh negara di dunia mengakui bahwa gizi merupakan investasi dalam menjadikan sumber daya manusia yang berkualitas dalam pembangunan negaranya.

Pemenuhan gizi bagi wanita sejak sebelum terjadinya pembuahan (masa prakonsepsi), masa kehamilan dan nifas berperan penting dalam menentukan kualitas anak yang akan dilahirkannya.

Jika bayi dan anak-anak sejak dini memiliki status gizi yang baik, maka anak tidak mudah terserang penyakit, pertumbuhan fisik dan kecerdasannya juga menjadi optimal.

“Kesehatan fisik dan kecerdasan menjadi modal anak tersebut memperoleh pendidikan dan keterampilan yang baik serta menggunakan kemampuan dan produktivitasnya untuk bersaing merebut lapangan kerja yang memberikan pendapatan lebih baik.”

“Dengan kata lain, keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif’,” pungkasnya. {ipb}