Joe Biden, Bandul Politik Yang Moderat

Motto Repulikan yang didengungkan Donal Trump:”We make American Great again” telah menggerek politik AS ke arah yang ekstrem: Ultra Nasionalisme ala trump.

Akibatnya, nilai-nilai kesetaraan, sebagaimana didengungkan oleh the Founding Father AS menjadi terkikis. Konservatisme yang berlatarbelakang identitas kembali mengemuka.

Kejadian meninggalnya George Floyd, warga kulit Hitam ditangan Polisi AS adalah suatu konfirmasi, bahwa Trump dinilai gagal menjaga nilai-nilai kesetaraan.

Selama periode Presiden Trump, tampak politik Amerika sangat mengangungkan konservatisme; Baik dalam bidang politik luar negri maupun politik perdagangan luar negri. Akibatnya, dua negara raksasa ekonomi: AS dan Tiongkok saling “berperang” untuk menguasai pasar global.

Ditangan Joe Biden, konservatisme Donal Trump itu nampaknya akan digantikan oleh karakter Demokrat yang liberal-moderat. Hal ini dapat kita lihat dari calon kabinet Joe Biden yang diproyeksikan sebagai pembantu Biden untuk empat tahun ke depan.

Di posisi Menteri Luar Negri, rencananya, Biden akan mengangkat Anthony Blinken. Dia adalah wakil Menlu pada masa Presiden Barack Obama.

Seperti kita tahu, pada masa Obama, politik luar negeri Amerika lebih condong pada stablitas global, mendorong upaya demokratisasi diberbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal penegakan Hak Azasi Manusia(HAM).

Untuk Posisi Dubes AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), nampaknya Biden akan mempercayai Thomas Green Field. Seorang warga AS berkulit Hitam. Biden sepertinya sengaja menempatkan kulit hitam di posisi itu, karena ingin menjaga komitmen AS terhadap prinsip Kesetaraan dalam kemanusiaan.

Isu rasisme yang sering marak di AS menjadi sorotan dunia. Reputasi AS sebagai kampiun demokrasi sering rusak dibuat isu rasisme yang terjadi di AS, terutama kepada warga kulit hitam.

Untuk Posisi Menteri Keuangan, Joe Biden lebih percaya kepada Janet Yelsen. Mantan ketua the Fed. Seorang Ahli moneter yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya. Biden pasti mengharap banyak kepada Janet untuk segera memulihkan ekonomi yang mengalami resesi global akibat pandemi covid 19.

Percepatan pertumbuhan ekonomi mutlak dilakukan agar ekonomi AS bisa recovery dan normal kembali. Ditangan Janet, Ekonomi AS akan melesat kembali melalui kebijakan moneter dan fiskal yang seimbang.

Sedangkan untuk politik dalam Negeri, Biden Nampaknya banyak mendapat masukan dari mantan presiden AS dari Demokrat, Barack Obama. Hal ini bisa kita lihat dari nama-nama yang beredar untuk menempati posisi: Penasehat Keamanan Nasional: Jake Sullivan, Direktur Intelijen Nasional: Avril Haines, Kepala Departemen Keamanan Dalam Negri: Alejandro Mayorkas. Mereka ini adalah bekas anak buah Barack Obama.

Dari formasi tersebut, dapat kita simpulkan bahwa model pemerintahan Joe Biden ke depan adalah khas dari Partai Demokrat. Biden ingin membangun AS dalam kerangka nasionalisme moderat.

Kepentingan AS dimaknai sebagai tujuan kemanusiaan, sehingga politik luar negeri tidak melulu hanya melihat dari kepentingan AS sendiri, tetapi secara global. Yang ditandai prinsip-prinsip demokrasi: bebas dan setara.

Isu-isu global akan kembali marak dibicarakan, seperti demokratisasi, perbuahan iklim, pemusnahan senjata Nuklir, dll. Namun, kebijakan semacam ini bagi sebagian kalangan tidak populer.

Banyak negara tidak setuju kepada AS yang dianggap suka memaksakan demokratisasi dinegaranya, namun dalam persfektif kemanusiaan, langkah itu dianggap sebagai keniscayaan bila ingin melihat dunia ditata secara bebas dan setara.

Bagi Indonesia, baik Biden maupun Trump memiliki kelebihan dan kelemahan tergantung sudut pandang yang digunakan untuk menilainya. Tetapi sebagai negara yang menganut politik luar negri bebas dan aktif, Indonesia harus memaksimalkan manfaat dari terpilihnya Joe Biden, untuk kepentingan dalam negri.

Capt. Dr. Anthon Sihombing,MM,M.Mar, Ketua Bidang Politik dan Kader Bangsa Depinas SOKSI. [sumber]