News  

Penerapannya Lebih Longgar Dari PSBB, Epidemiolog Unair Nilai PPKM Tak Optimal

Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo menilai kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) kurang berhasil menekan laju penularan virus corona (Covid-19) di Indonesia.

Bahkan Windhu menilai PPKM tak lebih ketat daripada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada praktik.

Windhu mengatakan rekor penambahan kasus yang terjadi selama empat hari berturut-turut hingga tembus 14.224 kasus pada Sabtu (16/1) lalu itu membuktikan bahwa PPKM tidak efisien diterapkan.

“PPKM jauh lebih longgar dari pada PSBB kok. Aktivitas non-esensial masih jalan seperti mal buka, kapasitas pesawat 100 persen. Apalagi terselimuti dengan glorifikasi vaksin, seolah-olah vaksin dewa penolong,” kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (18/1).

Apalagi, menurut Windhu, upaya testing, tracing, dan treatment (3T) pemerintah tak berjalan optimal. Windhu menilai akan semakin banyak kasus Covid-19 karena masyarakat pun sudah jenuh dengan pembatasan kegiatan, sehingga berani berkegiatan di luar rumah.

Windhu pun menilai kebijakan PPKM yang mulai berlaku sejak 11 Januari hingga 25 Januari mendatang itu tak akan membawa banyak perubahan. Menurutnya, upaya pemerintah masih setengah-setengah.

“PPKM ini kan seolah lockdown tapi cuma main-main. Intervensi pemerintah sangat kurang, memang ada, kadang ada sweeping, tapi tidak signifikan, tanggung begitu kebijakannya, setengah hati,” jelasnya.

Lebih lanjut, Windhu menilai kasus positif baru sebanyak 14 ribu dalam satu hari itu juga bukanlah angka kasus sesungguhnya di tanah air.

Merujuk penelitian lembaga penelitian internasional, dia memaparkan angka kasus Indonesia yang sesungguhnya berada di 40 ribu hingga 120 ribu kasus per hari.

Dengan temuan data pengamatan itu, maka Windhu pun yakin upaya 3T di Indonesia sangat minim. Terbukti dalam sehari hanya mampu menemukan paling banyak 14 ribu kasus dengan jumlah orang yang diperiksa sekitar 35-40 ribu orang per harinya.

“Padahal kunci utamanya itu case finding. Tapi angka testing kita ambang batas WHO saja jarang terpenuhi, padahal itu minimal lho ya,” kata Windhu.

Sepakat dengan Windhu, Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman pun menilai upaya 3T pemerintah Indonesia sangat rencah bila dibandingkan negara lain. Sebab berdasarkan testing range Covid-19 se-dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-159.

Dengan ancaman kasus melebihi 50 ribu kasus dalam sehari dan tidak ada intervensi maksimal dari pemerintah, Dicky pun membuat perhitungan bahwa pandemi covid-19 di Indonesia akan berlangsung hingga kurang lebih 14 tahun.

“Saya sudah hitung kalau kita infeksi 50 ribu saja per hari, kita akan mengalami pandemi atau mengarah ke herd immunity natural itu 14 tahun, karena penduduk kita banyak,” kata Dicky kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/1).

Dicky menggambarkan kondisi rumah sakit akan kolaps, serta akan banyak angka kematian dari golongan yang rawan terpapar Covid-19. Salah satunya lansia dengan komorbid atau penyakit penyerta.

Dicky pun menagih upaya pemerintah untuk memaksimalkan 3T, sementara masyarakat mematuhi 3M. Kombinasi kedua upaya itu pun sebenarnya tak cukup menurut Dicky.

Dia meminta pemerintah menerapkan kebijakan karantina wilayah yang definisinya telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

“Kita terlalu banyak toleransi dalam pemilihan dan pelaksanaan intervensi sehingga jadi tidak efektif,” ujarnya. {CNN}