News  

Politik Alkohol di Papua, Filep Karma: AS Tindas Indian Dengan Alkohol, Juga Australia Tindas Aborigin

Jurnalis cum aktivis HAM Dandhy Dwi Laksono pernah menulis tentang politik alkohol di Papua, yang dapat berujung pada penguasaan tanah Papua oleh pengusaha.

Tulisan itu ia unggah di Facebook pada 13 Mei 2017, dengan membagikan foto dirinya bersama Filep Karma, aktivis kemerdekaan Papua.

Ia menuliskan soal politik alkohol berdasarkan pengalaman hidup Filep yang memilih berhenti mengonsumsi alkohol sejak tahun 1998, karena tak mau ditindas oleh kelompok yang ingin mengusasai tanah Papua.

“Amerika menindas warga Indian dengan alkohol. Begitu juga dengan Australia terhadap warga Aborigin. Saya tidak mau itu terjadi di Papua,” kata Filep, sebagaimana ditulis Dandhy.

Tak cuma pengalaman Filep, lanjut Dandhy, ihwal sikap terhadap “politik alkohol” juga ia dapati di pedalaman Merauke ketika tokoh-tokoh gereja juga mengkhawatirkan dampaknya terhadap penguasaan tanah. Bukan soal dosa dan pahala.

“Mereka yang suka mabuk akan berusaha mendapatkan uang. Kalau uang sudah habis, lalu tergoda menjual tanah ke perusahaan (kelapa sawit),” kata Nico Rumbayan, seorang pastor di Muting, dikutip Indozone dari tulisan Dandhy.

Tak cuma di Papua, penolakan terhadap “politik alkohol” juga mendapat penolakan di Kalimantan Barat.

Warga Dayak yang mengelola “bank alternatif” atau credit union di pedalaman Ketapang, Kalimantan Barat, juga tidak memberikan pinjaman kepada anggota koperasinya yang membuka usaha warung yang menjual minuman alkohol. Lagi-lagi bukan karena motif agama.

“Perusahaan melemahkan daya tahan ekonomi masyarakat lewat minum-minum dan mabuk-mabuk. Kami tidak mau mendukung usaha yang melancarkan pengambilalihan tanah dan mengancam ekonomi anggota CU yang lain,” tutur pengelola CU Gemalaq Kemisiq, ditulis Dandhy.

Karma sendiri divonis 15 tahun penjara setelah mengibarkan bendera “Bintang Kejora” dalam sebuah upacara di Jayapura pada 1 Desember 2004.

Saat Presiden RI Jokowi hendak memberi grasi, ia menolak karena baginya, menerima grasi Presiden RI sama saja dengan mengaku salah dan memohon pengampunan. Sementara baginya, menuntut kemerdekaan Papua bukan merupakan kesalahan dan tak perlu ampunan.

“Akhirnya saya dipaksa keluar penjara setelah menjalani 11 tahun karena remisi-remisi. Saya dipaksa masuk, sekarang saya dipaksa keluar demi citra internasional bahwa RI tak punya tahanan politik,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menyentil Presiden Jokowi soal Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Investasi Miras di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara (Sulut), dan Papua.

Menurut Jazilul, aturan investasi miras bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan tidak mencerdaskan bangsa.

“Saya selaku wakil ketua MPR RI menolak keras perpres miras sebab itu bertentangan dengan nilai Pancasila dan tujuan bernegara, melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya, Senin (1/3/2021).

Menurut kader PKB ini, miras lebih banyak menghadirkan kerusakan daripada manfaat. Nilai investasi yang dihasilkan tidak sebanding dengan kerusakan bangsa di masa depan.

“Kita bukan bangsa pemabuk. Kita bangsa yang berketuhanan. Miras itu jalan setan, akan lebih besar kerusakannya daripada manfaatnya,” katanya.
Jazilul menambahkan bahwa jangan sampai Indonesia semakin miskin dengan adanya investasi miras tersebut.

“Kita sudah miskin, jangan dimiskinkan lagi dengan miras. Kita tahu Indonesia dalam krisis multidimensi, namun tolong jangan pertukarkan kesehatan jiwa kita dengan nafsu mendapatkan uang dari investasi miras. Celaka menanti kita,” katanya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi meneken Perpres Nomor 10 Tahun 2021 soal Bidang Usaha Penanaman Modal, salah satunya mengatur soal investasi miras di daerah tertentu.

Investasi industri miras hanya boleh dilakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan “dalih” memperhatikan budaya dan kearifan setempat. {indozone}