Kisruh Internal Demokrat Bisa Bikin Perolehan Suaranya Jeblok di Pemilu 2024

Kisruh internal Partai Demokrat dinilai bisa membuat perolehan suaranya di Pemilu 2024 mendatang menurun. Hal tersebut jika tujuan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat berhasil dan dualisme kepemimpinan terjadi.

“Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat bisa digelar jika ada pemintaan mayoritas (50+1) dari pengurus DPD dan DPC, walaupun di dalam AD/ART partai berlogo bintang mercy menyebutkan bahwa KLB bisa diselenggarakan jika disetujui oleh Ketua Majelis Tinggi Partai,” ujar Pengamat Politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara kepada SINDOnews, Rabu (3/3/2021).

Namun, menurut Igor, untuk bisa mendapatkan dukungan lebih dari separuh pengurus daerah bukan hal yang mudah.

“Karena dipastikan SBY dan AHY akan sekuat tenaga melakukan langkah konsolidasi internal partai agar KLB gagal terlaksana,” kata Igor yang juga sebagai Director Survey dan Polling Indonesia (SPIN) ini.

Igor berpendapat jika KLB bisa terlaksana maka potensi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) lengser dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat berpotensi terjadi. Terutama, lanjut dia, jika ada intervensi dari lingkaran kekuasaan.

“Apapun bisa terjadi, seperti halnya dulu ketika Setya Novanto terpilih menjadi Ketum Golkar di Munaslub Bali 2016. Campur tangan penguasa bisa dengan mendukung calon eksternal yang didukung internal parpol atau sebaliknya secara eksternal mengendorse tokoh kritis dari internal parpol yang bersangkutan,” jelasnya.

Selain itu, dia mengatakan jika KLB digelar dan AHY lengser maka bisa diprediksi akan terjadi dualisme kepemimpinan di Partai Demokrat yang bisa berujung pada pengadilan. “Seperti halnya konfilk Partai Berkarya sekarang ini antara kubu Tommy Soeharto dan kubu Muchdi PR,” ucapnya.

Tetapi, kata Igor, sejarah partai politik di Indonesia pasca Reformasi menunjukkan bahwa terbelahnya pendukung internal parpol atau munculnya dualisme kepemimpinan akan berdampak negatif secara elektoral. “Seperti contohnya dalam kasus PPP atau PKB dulu,” katanya.

Dia melanjutkan sejarah politik Indonesia pasca reformasi juga menunjukkan bahwa dinasti atau kultus individu dalam parpol merupakan satu indikasi kekuatan. Misalnya, kata dia, Megawati Soekarnoputri yang identik dengan PDIP.

Begitu juga, lanjut dia, dengan Surya Paloh Nasdem dan beberapa parpol kuat yang lainnya.

“Biasanya jika tokoh kuat itu digantikan oleh tokoh yang lain, maka penurunan elektoralnya juga terjadi, seperti ketika Wiranto lengser dari Partai Hanura. Partai ini pun malah tidak lolos ambang batas parlemen,” kata Igor.

“Itu sebab oligarki Parpol selalu punya tendensi membangun tradisi dinasti di dalam kenyataan, jika tidak bisa dalam aturan hukum,” pungkasnya. {sindonews}