Zack Snyder’s Justice League, Sebuah Penantian Yang Tak Sia-Sia

Zack Snyder’s Justice League atau Justice League Snyder’s Cut adalah sebuah produk yang sangat menarik kalau kita mau berbicara soal authorship. Kalau Anda tidak tinggal di dalam gua, Anda pasti tahu ceritanya.

Kalau Anda tidak begitu tahu, cerita singkatnya kira-kira seperti ini: Zack Snyder yang menjadi komandan untuk dua proyek DC (Man of Steel, Batman v. Superman) terpaksa harus mundur sejenak dari tugasnya untuk melanjutkan Justice League karena tragedi keluarga.

Karena Warner Bros. saat itu ngotot filmnya harus rilis tahun 2017 (dengan alasan yang hanya para executive Warner Bros. yang tahu) memutuskan untuk menyewa Joss Whedon (The Avengers dan The Avengers: Age of Ultron) untuk menyelesaikan filmnya.

Hasil akhirnya adalah sebuah kekacauan yang menggelikan. Justice League yang dirilis tahun 2017 adalah dua jam nonstop penuh hal-hal yang akan membuat penonton mengernyitkan dahi.

Dua jam memang durasi yang sangat sebentar untuk mengenalkan karakter-karakter baru (saat itu) seperti Barry Allen/The Flash (Ezra Miller), Arthur Curry/Aquaman (Jason Momoa) dan Victor Stone/Cyborg (Ray Fisher).

Belum lagi pembuat Justice League harus mengenalkan penjahatnya (Steppenwolf yang diperankan Ciarán Hinds, menggunakan teknologi motion capture), kenapa penjahatnya datang, bagaimana cara dia menguasai Bumi.

Bagaimana Bruce Wayne/Batman (Ben Affleck) berkolaborasi dengan Diana Prince/Wonder Woman (Gal Gadot) untuk membentuk geng baru yang akhirnya membawa penonton ke proses kebangkitan Clark Kent/Superman (Henry Cavill) dan lain sebagainya.

Semua hal itu tentu saja tidak akan bisa dilakukan dalam dua jam tanpa harus mengorbankan beberapa hal. Dan itulah sebabnya Justice League versi 2017 terasa compang-camping.

Zack Snyder sendiri sebagai sutradara bilang bahwa dia tidak pernah menonton Justice League versi Whedon. Menurut beberapa artikel yang saya baca, para produser melarangnya untuk menonton karena apapun yang dia inginkan tidak terjadi dalam versi 2017.

Visi mereka memang tidak sama dan itulah sebabnya Justice League versi 2017 rasanya sangat aneh. Whedon agak cynical sementara Snyder menginginkan emosi yang over-the-top. Sebuah fusion yang sangat tidak cocok.

Hal yang menarik dari semua kebisingan ini adalah Snyder selalu berdeklamasi bahwa dia punya Justice League versi dia sendiri. Dia tahu bagaimana menceritakan cerita ini sesuai dengan visinya.

Mendengar ini fans DC (atau fans Snyder?) berkampanye keras agar Warner Bros. memberikan penonton Justice League yang sesuai dengan apa yang kreatornya inginkan.

Mereka membanjiri sosial media dengan hashtag #ReleaseTheSnyderCut, membuat baliho di ComicCon dengan kampanye yang sama dan lain sebagainya.

Dan untuk pertama kalinya kampanye ini berhasil. Warner Bros. akhirnya mendengarkan tangisan para fans dan mengiyakan Snyder untuk merilis versinya (dan mengucurkan puluhan juta dollar untuk mempersembahkan versi baru ini).

Entah tujuannya karena memang ingin menyenangkan para fans yang kecewa atau ingin mendapatkan subscriber baru untuk streaming platform mereka (HBO Max).

2. Visi Zack Snyder di Justice League

Tapi yang jelas para fans akhirnya bisa berteriak penuh kesenangan. Secara cerita (kali ini kredit penulis skripnya adalah Chris Terrio, Zack Snyder dan Will Beal) Justice League masih sama dengan versi sebelumnya.

Steppenwolf berusaha keras mendapatkan Mother Boxes yang tersimpan dengan rapi di Bumi. Jikalau tiga Mother Boxes berhasil dikumpulkan maka Bumi akan kiamat.

Untuk mencegah terjadinya itu, Batman harus membuat koalisi dengan superhero lainnya sebelum semuanya terlambat.

Persamaan Justice League versi Zack Snyder dan versi sebelumnya hanya disitu saja karena hampir semuanya berubah. Perubahan terbesar yang pertama adalah presentasi visualnya.

Versi sebelumnya dipersembahkan dalam widescreen seperti tradisi blockbuster Hollywood sebelumnya. Dalam versi Zack Snyder, layarnya mengecil dengan aspek rasio 4:3. Warna filmnya juga terasa jauh lebih pudar. Sesuai dengan mood filmnya yang sendu.

Salah satu hal yang membuat Justice League terasa aneh ketika menonton versi 2017 adalah tone-nya yang berantakan (Whedon masih sempat-sempatnya memaksa Aquaman untuk ngebanyol).

Di film ini tone-nya konsisten. Ini film tentang orang-orang yang berduka dan terasa sekali mood somber tersebut dari awal sampai akhir. Snyder memulai mood sedih tersebut dengan opening kematian Clark Kent/Superman yang dipertunjukkan dengan bombastis (subtlely memang bukan kelebihan Snyder).

Sampai akhir film, mood yang agak depresif ini terjaga. Bahkan setelah plot utama usai dan villain berhasil dikalahkan, saya tetap merasakan sesuatu yang tidak nyaman.

Seperti ada sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan hal tersebut akhirnya diperjelas dalam sebuah epilog yang merupakan hasil reshoot Zack Snyder, lengkap dengan kehadiran Joker (Jared Leto) sebagai bintang tamu.

Perbedaan yang kedua terbesar tentu saja durasi. Dengan ekstra 2 jam, Justice League versi Snyder mempunyai kemerdekaan untuk mengolah apapun yang ia mau.

Dan karena keluwesan durasi inilah Justice League versi Snyder akhirnya menjadi tontonan yang jauh lebih enak dilihat. Semua pertanyaan yang saya tanyakan ketika saya menonton versi 2017 terjawab dengan jelas di film ini.

Motivasi Steppenwolf sebagai main villain menjadi jelas. Proses bagaimana ia menjalankan rencananya untuk mengumpulkan tiga Mother Boxes menjadi jelas.

Mistik tentang sosoknya juga menjadi clear. Kenapa kehadirannya benar-benar menjadi ancaman untuk para manusia yang ada di Bumi.

Dengan ekstra durasi yang tidak main-main penonton juga akhirnya mendapatkan pengenalan karakter yang jauh meaningful daripada sekedar Aquaman muncul dan berjalan slow-motion diantara deburan ombak.

Cyborg yang di versi 2017 terasa seperti cameo disini mendapatkan screen time yang sangat lumayan sehingga sosoknya menjadi penting.

Sebelumnya saya merasa bahwa dia adalah karakter yang tidak begitu krusial tapi dalam versi Snyder, Cyborg menjadi karakter yang kuat. Ia punya motivasi yang jelas, latar belakang yang clear dan alasan yang make sense kenapa akhirnya dia harus join Justice League.

Kenapa tanpa kehadirannya mungkin para superhero ini akan gagal melawan Steppenwolf dan para kroconya.

Tidak hanya Cyborg, baik Flash dan Aquaman juga mendapatkan jatah screen time yang lumayan meskipun perubahan narasi mereka tidak sedrastis Cyborg.

Dalam versi ini Zack Snyder sekali lagi menunjukkan tanda tangannya sebagai sutradara yang dramatis dalam menggambarkan bagaimana Flash menyelamatkan perempuan (Kiersey Clemons) yang akan berakhir tragis kalau saja ia tidak turun tangan.

Tentunya masih banyak lagi perubahan yang terjadi dalam Justice League versi Zack Snyder tapi yang paling terasa perbedaannya adalah bagaimana klimaks film ini berjalan.

Saya masih ingat bagaimana versi Whedon berjalan, lengkap dengan keluarga Rusia dan bagaimana setelah penjahatnya berhasil dikalahkan rasanya ya begitu saja. Tidak dramatis. Versi Zack Snyder sama sekali berbeda.

Klimaks kali ini penuh dengan keseruan tanpa henti. Superman, Batman, Flash, Cyborg, Aquaman dan Wonder Woman mempunyai tugas dan fungsi yang jelas yang membuat mereka menjadi lebih heroik dari versi sebelumnya.

Versi ini jauh, jauh lebih memuaskan. Versi ini membuat shot mereka berdiri dramatis setelah memenangkan pertarungan menjadi legendaris.

Zack Snyder’s Justice League kemudian ditutup dengan beberapa teaser untuk lanjutan serial ini di masa depan (kalau misalnya Warner Bros. tertarik untuk meng-hire Zack Snyder lagi) yang membuat saya bertanya-tanya jangan-jangan film ini memang lebih cocok untuk dipersembahkan dalam bentuk ala serial TV begini daripada versi sunat yang kita saksikan di bioskop.

Teaser yang disajikan pun tidak main-main menariknya. Berbagai karakter muncul dan saling tumpang tindih. Beberapa adalah karakter yang sudah kenal dan ada juga karakter yang benar-benar baru.

Semua detail itu tentu saja tidak akan saya spoilerkan disini supaya Anda bisa menyaksikannya sendiri.

Zack Snyder’s Justice League mungkin tidak menjadikan Justice League sebagai film yang sempurna. Film ini tetap mempunyai kekurangan-kekurangannya (kalau Anda menulis blockbuster yang butuh waktu 4 jam agar penonton bisa menikmatinya, itu artinya ada yang salah dengan cerita Anda).

Tapi film ini tetap menjalankan tugasnya dengan baik: sebuah entertainment yang menyenangkan. Dan Snyder berhasil melakukan hal yang tidak mungkin: dia berhasil membuat saya membayangkan apa yang terjadi jika Justice League ada lanjutannya, sesuai dengan visi dia.

Zack Snyder’s Justice League bisa disaksikan di HBO Go

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International. {DETIK}