News  

Makna dan Perbedaan Dari Shaum, Shiyam dan Puasa

Di sejumlah daerah di Indonesia, kata puasa memiliki beberapa nama lain. Misalnya Shaum dan Shiyam, yang keduanya merujuk pada bahasa Arab. Dua kata itu juga terdapat di dalam Al Quran.

Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi di dalam Kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil Quranil Karim misalnya, menyebut bahwa di dalam Al Quran kata ‘Shaum’ disebutkan satu kali, yakni di Surat Maryam ayat 26. Sementara kata ‘Shiyam’ disebutkan delapan kali di dalam Al Quran.

Adapun perbedaan shaum, shiyam dan puasa menurut “Dahsyatnya Puasa Wajib & Sunah” oleh Akhyar As-Shiddiq Muhsin, Lc & Dahlan menjelaskan, kata shaum dengan segala bentuknya dalam bahasa Arab disebut 13 kali dalam Al-Qur’an.

Kata yang paling sering digunakan adalah kata shiyam dan hanya disebut satu kali dengan kata shaum.

Meskipun demikian, kata shaum mengandung makna lebih daripada kata shiam. Kata shiam hanya berarti berpuasa dengan menahan diri untuk tidak makan, minum dan bergaul dengan istri/suami sejak fajar sampai maghrib.

Sementara itu, shaum tidak hanya mencegah makan, minum dan bergaul dengan istri/suami tetapi juga harus mencegah bicara, mendengar, melihat dan bahkan pikiran dari hal-hal yang merusak ibadah puasa.

Menurut Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Ihya ‘Ulumiddin inilah bentuk puasa sesungguhnya yang akan mengantarkan manusia kepada derajat takwa.

Sementara itu, puasa adalah bahasa Indonesia dari padanan shaum atau shiam. Puasa adalah tidak makan dan tidak minum dengan sengaja.

Dalam buku ‘125 Masalah Puasa’ oleh Muhammad Anis Sumaji, puasa adalah bentuk terjemahan dari kata shaum atau shiyam yang memiliki kata dasar sama yaitu sha-wa-ma, secara etiomologi berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain.

Shaum Ramadhan menjadi satu-satunya shaum yang diwajibkan Allah kepada para mukallaf sehingga selain shaum ini hukumnya sunnah sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya:

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Tentang shaum Ramadhan yang hukumnya wajib juga tegas dinyatakan oleh hadits berikut:

Dari Thalhah bin Ubaidillah ra., seseorang bertanya kepada Nabi SAW: Ya Rasulullah, jelaskanlah padaku apa yang diwajibkan Allah atasku dari shaum?

“Beliau menjawab: “Shaum bulan Ramadhan”. Ia bertanya: “Apakah ada kewajiban shaum lainnya?” Beliau menjawab: “Tidak, kecuali kamu hendak melaksanakan shaum sunnah.” {detik}