News  

Polda Jateng Bongkar Bisnis Rapid Test Antigen Ilegal, Omzetnya Tembus Miliaran

Jajaran Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah membongkar praktik penjualan alat tes rapid antigen Covid-19 ilegal dengan. omzet yang diperoleh pelaku mencapai sekitar Rp2,8 miliar.

Alat tes rapid antigen ilegal tersebut bermerk Clungene dan Speedcheck. Keduanya diketahui tidak memiliki izin edar.

Pengungkapan kasus diawali dari penyelidikan Tim Subdit I Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah dengan menyamar sebagai konsumen. Dari penyamaran tersebut, petugas mengamankan dua orang kurir yakni PRS dan PF.

“Berawal dari informasi, kemudian anggota terjun lidik dengan undercover menyamar sebagai konsumen. Janjian ketemu untuk ambil barang, dua kurir datang yakni PRS dan PF,” ungkap Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah Kombes Pol Johanson Simamora saat konferensi pers di Kantor Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah, Banyumanik Semarang, Rabu (5/5).

Kemudian polisi mengembangkan kasus dari penangkapan dua orang tersebut. Dilanjut dengan menggerebek sebuah rumah sekaligus gudang di Jalan Perak Nomor 5 Kwaron Bangetayu Semarang, yang diketahui milik SPM.

Dari hasil penyelidikan, SPM merupakan sales PT. SSP, produsen dari alat tes rapid antigen tersebut.

Untuk penjualan, SPM tidak hanya menyasar orang pribadi, tetapi juga institusi hingga rumah sakit. Selama kurun waktu 5 bulan, tersangka SPM berhasil meraup omset sebanyak Rp2,8 miliar

“Tersangka SPM ini bekerja di PT. SSP sebagai sales yang bertugas di wilayah Jawa Tengah. Makanya, area pemasaran antigen ilegal ini di Jawa Tengah. Korbannya ada pribadi, institusi sampai Rumah Sakit,” ucap Johanson.

Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ahmad Luthfi menegaskan pihaknya akan mengusut tuntas kasus penjualan rapid antigen ilegal yang ditangani Ditreskrimsus. Luthfi pun akan memanggil Pimpinan dan Manajemen PT SSP untuk dimintai keterangan.

“Kami akan usut tuntas, karena sudah merugikan banyak masyarakat di masa pandemi. Pimpinan dan manajemen PT. SSP akan kami panggil dan mintai keterangan”, tegas Luthfi.

Atas perbuatannya, tersangka SPM dianggap melanggar UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. {CNN}