Duh! Tender Proyek Kilang TPPI Tuban Senilai Rp.50 Triliun Dinilai Bermasalah, ini Argumennya

Saat ini kita sedang menyaksikan pembangunan proyek strategis nasional berupa pembangunan kilang Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan yang terseok seok kemajuannya.

Progressnya masih sekitar 33% dan molor target operasi dari awalnya direncanakan pada tahun 2023 menjadi 2026.

Ironisnya disaat bersamaan kini kita disajikan proses pemilihan pembangunan kilang GRR Olefin PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Tuban diduga akan berpotensi bermasalah juga dikemudian hari, jika Tim Tender Kilang Pertamina tetap memaksakan kehendaknya.

Muhammad Lutfi pada tgl 20 Mei 2021 telah mengumumkan dua konsorsium sebagai pemenang untuk melakukan Dual Build Competition (DBC) Package of TPPI Olifin Complex Development Project.

Muhammad Lutfi adalah Ketua Tim Tender Sub Holding Pertamina, yaitu PT Kilang Pertamina International (PT. KPI) untuk pembangunan Kilang Olefin TPPI Tuban,

Pertama yaitu Konsorsium Hyundai Engineering Co,Ltd dengan PT Rekayasa Industri, PT Enviromate Tehnologi International and Saipem S,p,A.

Kedua, konsorsium Techip Italy S.p.A, dengan PT Tri Patra Engineers and Contractors, PT Technip Indonesia and Samsung Engineering Co, Ltd.

Untuk tahap DBC yang berbiaya sekitar USD 45 juta, namun perlu diketahui untuk model tender sistem satu paket ini adalah sistem yang pertama sekali dilakukan oleh Pertamina.

Sebelumnya Tender dilakukan secara bertahap, yakni dimulai dengan pemilihan pelaksanaan BED (Basic Engineering Design) terlebih dahulu.

Kemudian dilanjutkan FEED (Front End Engineering Design) sampai dengan selesai, terakhir EPC (Engineering Procurement Contractor) ditenderkan.

Ada pertanyaan yang menggilitik, apa motif Pertamina menggunakan skema DBC untuk pembangunan kilang Olefin TPPI ini? Yaitu dengan menyerahkan semua urusan BED dan FEED kepada kontraktor EPC.

Apakah ini pertanda Pertamina sudah tidak memiliki cukup sumber daya manusia yang mumpuni di bidang kilang lagi? Sehingga semuanya harus dipasrahkan kepada kontraktor EPC.

Selain itu, ternyata TPPI pada tahun 1997 telah menyelesaikan BED untuk kilang olefin juga dengan kapasitas 700,000 MTA Ethylene.

Bahkan ditemukan dokumen kontrak EPC antara PT TPPI dengan ABC International Projects, Inc dan perusahan Stone & Webster dari Amerika, hanya karena krisis ekonomi melanda Indonesia saat itu proyek EPC nya terhenti.

Sehingga timbul pertanyaan lagi mengapa Tim Tender Pertamina untuk BED kilang Olefin tidak mereview dokumen yang sudah ada?.

Namun harus diingat, sejak September 2020, Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) telah mengkritisi bahwa proses tender kilang ini sejak awal diduga cacat prosedur.

Karena malanggar peraturan dan perundang undangan jasa konstruksi yang berlaku, sehingga lebih baik agar di tender ulang saja.

Saat itu kami telah menguraikan sejumlah temuan selama proses tender berlangsung, sehingga terdengar kabar prosesnya akan diretender.

Namun belakangan beredar info ada kekuatan besar diluar Pertamina diduga telah menekan petinggi Pertamina agar proses itu diteruskan saja dan agar diumumkan segera pemenangnya.

Penerusan proses yang diduga bermasalah sejak awal, yakni dengan membangun narasi bahwa Presiden Jokowi ingin pembangunan kilang harus cepat direaliasikan segera, dan akan tertunda jika harus ditender ulang, ini tidak boleh terjadi.

Semua proses seharusnya mengikuti peraturan dan perundang undangan jasa konstruksi yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Bukan sesuai keinginan Pertamina sendiri atau sesuai aturan yang diduga telah direkayasa oleh tim Tender Pertamina untuk memenangkan salah satu Bidder.

Padahal, sebelumnya Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok melalui testimoni di youtube yang beredar luas, telah mengirim pesan penting kepada semua pejabat Pertamina terkait pembangunan Kilang, jangan sembarang pilih Kontraktor konsorsium EPC.

Kontraktor harus mempunyai rekam jejak yang baik dan teruji, karena membangun kilang harus dengan tehnologi tinggi, sehingga diperoleh kualitas produk kilang yang terjamin dan harganya bersaing karena efisiensinya tinggi.

Bahkan Ahok mengibaratkan jika mau balap Formula One, jangan supir taxi disuruh bawa mobil di Formula one, carilah supir yang benar bisa mengendarai mobil tersebut, jika tidak maka akan menimbulkan masalah.

Ternyata, terbukti apa yang dikuatirkan Ahok telah terjadi terhadap proses pembangunan kilang Pertamina RDMP Balikpapan dimana sedang mengalami keterlambatan yang sangat signifikan, dan biayanya juga semakin membengkak.

Pasalnya, konsorsium yang dipimpin Hyundai sekarang mengalami keterlambatan dalam pembangunannya, karena SK Engineering & Contraction Co Ltd yang awalnya sebagai pimpinan konsorsium telah mengundurkan diri.

Lazimnya jika pimpinan konsorsium mengundurkan diri, maka seluruh anggota konsorsium juga mengundurkan diri juga, agar tidak terjadi masalah dikemudian hari namun entah alasan apa Pertamina tetap melanjutinya.

Karena sejak awal proses tender HEC tidak layak menjadi leader konsorsium karena kekurangan pengalaman dalam membangun proyek sejenis sesuai spesifikasi yang di minta oleh Pertamina.

Tetapi Pertamina tetap memaksakan HEC melanjutkan project RDMP tersebut tanpa kehadiran leader konsorsium yang lebih berpengalaman.

Informasinya BPKP sekarang lagi melakukan audit terhadap semua proses tender dan pelaksanaan pekerjaan RDMP Balikpapan.

Kabarnya telah ditemukan perubahan basic design setelah dinyatakan pemenang, secara aturan dan perundang undangan jasa konstruksi, apabila ada perubahan Basic Design maka seharusnya di lakukan retender.

Karena ditakutkan pemenang tender akan mengajukan harga yang berbeda lagi dari yang awal dan potensi harga satuan membengkak. Tentu saja itu akan mengakibatkan kerugian negara.

Dan betul saja, diproyek tersebut terjadi peningkatan biaya pembangunan melampaui 10 % dari nilai awal kontrak EPC antara Pertamina dgn Konsorsium Hyundai EC.

Sebaiknya penegak hukum harus turun tangan juga untuk memeriksa kerugian negara yang telah terjadi di project RDMP Balikpapan tersebut.

Hal tersebut, jelas melanggar Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yakni di Pasal 54 tentang perubahan kontrak.

Disebutkan pada ayat 2 tegas dikatakan perubahan nilai kontrak tidak boleh melebih 10% dari nilai kontrak awal, apa ini bukan cilaka duabelas?

Fakta lainnya, didalam tim tender saat awal proses tender hingga evaluasi tender, ternyata saat itu terdapat person staff Pertamina.

Staf ini kemudian menjadi direktur utama di perusahaan BUMN yang merupakan anggota konsorsium yang telah dimenangkan sekarang.

Tentu hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari pihak pihak kompetitor bahwa tim tender bekerja syarat dengan kepentingan pihak tertentu, diduga telah terjadi konflik kepentingan.

Terpantau juga, PT Rekayasa Industri ternyata telah gagal menepati waktunya cukup lama dalam pelaksanaan ROPP (RCC off Gas Conversion to Propylene Project) Kilang Balongan.

Sehingga menurut hasil audit BPK RI akibat keterlambatan itu, Pertamina kehilangan pendapatannya USD 43,58 juta, awal temuannya USD 139,11 juta.

Sementara, pernyataan Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internartional Ifki Sunarya dalam menjawab pertanyaan media Urban News bukannya menjawab persoalan yang ditanya, malah menimbulkan pertanyaan baru lagi, dan semakin tak terjawab.

Oleh sebab itu, jika tim tender Pertamina Kilang tetap memaksa kehendak tetap dengan keputusannya memang banyak masalahnya, kami menduga produk keputusannya akan digugat kompetitornya.

Dan itu sangat merugikan Pertamina sehingga terlambat membangun kilang dan mendapat image buruk dari kontraktor EPC dunia, sehingga akan diklaim bahwa tender di Pertamina tidak fair.

Penegak Hukum harus pro aktif menyelidiki semua informasi terkait proyek RDMP Balikpapan yang bisa berpontensi bermasalah akan berdampak pada proyek pembangunan kilang olefin TPPI Tuban, jika salah menunjuk pelaksana DBC.

Termasuk menelisik oknum oknum elit politik dan oknum badan pemeriksa yang patut diduga selalu menekan direksi Pertamina untuk melanggar prinsip GCG.

Oleh: Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia {poskota}