News  

Inflasi Gila-Gilaan Di China, Indonesia Bakal Terkena Dampaknya?

Biro Statistik Nasional China mengungkapkan data terbaru inflasi di Oktober 2021 yang tercermin dari Indeks Harga Produsen (IHP) yang melonjak di angka 13,5% pada Oktober, naik jika dibandingkan dari tahun lalu (year on year/yoy), dan meningkat dari level 10,7% pada September lalu.

Dengan angka IHP yang melonjak itu menjadikan rekor inflasi di Tiongkok dalam 26 tahun terakhir, terutama dari sisi harga produsen.

IHP atau The Producer Price Index (IPP) biasa digunakan untuk mengukur perubahan rata-rata harga yang diterima produsen domestik untuk barang yang mereka hasilkan.

“Pada bulan Oktober, kenaikan PPI meluas karena kombinasi faktor global yang diimpor dan ketatnya pasokan energi dan bahan baku domestik utama,” kata ahli statistik senior NBS Dong Lijuan dalam sebuah pernyataan dikutip AFP, Jumat (12/11/2021).

Adapun untuk Indeks Harga Konsumen (IHK) atau The Consumer Price Index, ukuran utama inflasi ritel, meningkat di level 1,5% secara tahunan.

Dong menyebut bahwa efek gabungan dari cuaca yang tidak biasa, ketidaksesuaian permintaan dan pasokan produk tertentu, serta kenaikan biaya modal mengakibatkan peningkatan inflasi ini.

“Secara bulanan, biaya sayuran melonjak karena cuaca hujan, wabah virus corona, dan kenaikan biaya transportasi,” tambahnya.

Ini lebih tinggi di atas survei Reuters di mana PPI diperkirakan menjadi sebesar 12,4, sedangkan IHK meningkat menjadi 1,4%.

Sebelumnya, para ekonom global menilai China bakal mengalami stagflasi seiring dengan sejumlah tanda-tanda di ekonomi Tiongkok yang sudah mulai terlihat saat ini.

Ekonomi yang melambat tetapi inflasi tinggi inilah yang dikenal dengan istilah stagflasi dan menjadi ‘mimpi buruk’ bagi China karena pelaku ekonomi harus membayar mahal demi pertumbuhan yang biasa saja.

“Kami khawatir tentang peralihan dari harga produsen ke harga konsumen,” kata Zhiwei Zhang, Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management, perusahaan investasi yang berbasis di Hong Kong, dikutip CNN International.

“Perusahaan berhasil menggunakan persediaan input mereka sebagai penyangga untuk menghindari beban biaya yang lebih tinggi kepada pelanggan mereka sebelumnya, tetapi (sekarang) persediaan mereka telah habis,” katanya lagi.

Pada pekan lalu, Kementerian Perdagangan China sudah mengeluarkan pemberitahuan agar pemerintah daerah mendorong masyarakat ‘menimbun’ makanan dan kebutuhan sehari-hari.

Ini akibat cuaca buruk, kekurangan energi, dan pembatasan aktivitas karena pandemi Covid-19 yang berpotensi mengganggu pasokan.

“Kami meminta keluarga untuk menyimpan sejumlah kebutuhan sehari-hari yang diperlukan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan keadaan darurat,” ujar situs resmi Kementerian Perdagangan China pekan lalu.

Kebijakan ini langsung memicu panic buying di supermarket hingga e-commerce Alibaba. Pihak berwenang pun mengaitkan kenaikan inflasi konsumen ini dengan melonjaknya biaya sayuran dan gas.

Mengutip laporan Reuters, Senin (8/11/2021) para manula di Beijing terlihat berebut sayur kubis di swalayan. Beberapa sudut memperlihatkan bagaimana orang-orang membawa bungkusan kubis sangat besar, yang kemungkinan bisa disimpan sebagai stok berbulan-bulan.

“Setiap tahun, di waktu ini, volume penjualan (kubis) memang meningkat. Tapi setelah laporan (penimbunan) keluar, semua orang buru-buru membeli semuanya bahkan lebih,” kata seorang penjual di pasar Xinfadi, Beijing, Jia Jinzhi, dikutip Selasa (9/11).

Krisis energi yang sedang berlangsung juga merupakan kontributor utama kenaikan inflasi harga produsen, karena biaya penambangan dan pemrosesan batu bara telah meningkat.

Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah tumbuh pada laju paling lambat dalam setahun karena krisis energi, gangguan pengiriman, dan krisis properti yang semakin dalam akibat gagal bayar sejumlah ‘raksasa’ properti Evergrande dan kawan-kawannya.

Meningkatnya inflasi di dalam negeri juga memicu kekhawatiran global. Menurut Ken Cheung, Kepala Strategi Valuta Asing Asia untuk Mizuho Bank, inflasi produsen yang melonjak “mendorong tekanan ke atas pada inflasi global,” mengingat peran China sebagai pabrik dunia dan pentingnya bagi rantai pasokan global.

Inflasi produsen juga kemungkinan akan tetap tinggi “untuk sementara, kemungkinan sepanjang musim dingin ini,” kata Jing Liu, Ekonom Senior untuk China Daratan di HSBC, dilansir CNN.

Dia menambahkan bahwa harga energi juga dapat terus meningkat, dan memperkirakan inflasi konsumen dapat terus meningkat.

Di Indonesa, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Indonesia periode Oktober 2021. Hasilnya juga tidak jauh dari ekspektasi pasar.

Pada Senin (1/11/2021), BPS melaporkan terjadi inflasi 0,12% pada Oktober 2021, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,66, dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini membuat inflasi tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 1,66%.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi 0,09% mtm. Sementara inflasi tahunan diperkirakan 1,63%. Kemudian inflasi inti ‘diramal’ 1,36% yoy.

Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan III memperkirakan inflasi pada Oktober 2021 sebesar 0,08% mtm. Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/ytd) menjadi 0,88% dan inflasi tahunan 1,62%.

“Perkembangan harga beberapa komoditas pada Oktober 2021 secara umum menunjukkan adanya kenaikan,” kata Margo Yuwono, Kepala BPS, dalam jumpa pers secara virtual.

Dari 90 kota IHK, 68 kota mengalami inflasi dan 22 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Sampit sebesar 2,06% dengan IHK sebesar 109,30 dan terendah terjadi di Banyuwangi dan Sumenep masing-masing sebesar 0,02% dengan IHK masing-masing sebesar 104,64 dan 106,21.

Sementara deflasi tertinggi terjadi di Kendari sebesar 0,70% dengan IHK sebesar 107,98 dan terendah terjadi di Bengkulu sebesar 0,02% dengan IHK sebesar 105,89. {CNBC}