News  

LBH Jakarta Kritik Menko Airlangga Tak Punya Malu Masih Ngotot Jalankan UU Cipta Kerja

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana menyebut Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto tidak tahu malu karena bersikukuh menyebut aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) tetap berlaku.

Menurut Arif, majelis hakim Mahkamah Konstitusi sudah jelas menyatakan bahwa UU Ciptaker itu inkonstitusional, meskipun dengan embel-embel bersyarat.

“Karena undang-undang ini inkonstitusional, jadi kalau kemudian Menteri Koordinator Perekonomian berkilah bahwa ya kita akan tetap menjalankan ini (turunan UU Ciptakerja) karena masih berlaku ini sebenarnya tidak punya malu,” kata Arif dalam konferensi pers yang digelar di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (26/11).

Arif mengatakan pernyataan Airlangga menunjukkan pemerintah tidak jelas mengabdi kepada siapa di negara ini. Padahal, sambungnya, Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 menegaskan Indonesia sebagai negara hukum yang berarti tunduk kepada konstitusi.

Menurut pihaknya jika putusan mahkamah Konstitusi telah memutuskan suatu perkara, seharusnya pemerintah tunduk dan patuh pada putusan tersebut alih-alih membuat tafsir baru.

“Semestinya pemerintah tunduk, patuh, dan justru tidak kemudian membuat tafsir-tafsir baru yang justru akan menimbulkan persoalan-persoalan lain,” kata dia.

Arif yakin persoalan UU Cipta Kerja ini kan terus membesar jika tidak kunjung ada titik temu. Ia menyarankan agar UU Ciptaker tersebut dibatalkan saja, dan kembali pada peraturan sebelumnya agar persoalan selesai.

Diketahui, dalam putusan MK tersebut ditegaskan bahwa UU Ciptaker akan inkonstitusional permanen apabila dua tahun setelahnya tak dilakukan perbaikan oleh pembuat undang-undang.

Dalam forum yang sama Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos menilai putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya dalam waktu dua tahun itu tidak tegas.

Nining memandang pemerintah seperti tidak ingin kehilangan muka karena telah melahirkan produk hukum yang diprotes banyak masyarakat.

“Ini yang kita sebut adalah memang pemerintah tidak ingin kehilangan muka sebenarnya, kalau saya tegas dengan hal itu. Tidak ingin kehilangan muka sebenarnya ada kekeliruan yang sangat fatal, kekeliruan yang sangat besar dalam melahirkan regulasi,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) tetap berlaku.

Pasalnya, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), UU Ciptaker masih berlaku secara konstitusional selama dilakukan perbaikan uu sapu jagad tersebut. Dalam hal ini, MK mengamanatkan pemerintah memperbaiki beleid dengan tenggat waktu maksimal 2 tahun dari sejak ditetapkan.

“Dengan demikian, peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku,” jelas Airlangga pada konferensi pers, Kamis (25/11).

Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, meminta putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Ciptaker menjadi catatan dalam penyusunan regulasi dengan model omnibus law di hari mendatang.
Menurutnya, salah satu hal yang harus diperhatikan ialah terkait keterlibatan dan partisipasi publik

“Ke depan, jika ada agenda pembahasan RUU omnibus law atau RUU lainnya, semua catatan yang mengiringi putusan MK ini harus diperhatikan. Misalnya, keterlibatan dan partisipasi publik, harus merujuk pada UU 12/2011, berhati-hati dalam penyusunan kata dan pengetikan, serta catatan-catatan lain,” kata Saleh kepada CNNIndonesia.com, Jumat (26/11).

Ia menyatakan, putusan MK terkait UU Ciptaker harus menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan DPR yang baru pertama kali menyusun regulasi model omnibus law.

Saleh pun berharap, putusan MK soal UU Ciptaker tidak melahirkan sikap saling tuding dan saling menyalahkan antara pemerintah dan DPR.

“Yang perlu adalah bagaimana agar pemerintah dan DPR membangun sinergi yang baik untuk memperbaiki. Tentu dengan keterlibatan dan partisipasi publik secara luas dan terbuka,” ujar Saleh.

Lebih lanjut, Saleh mengingatkan, putusan MK terkait UU Ciptaker bersifat final dan mengikat.

Menurutnya, pemerintah dan DPR harus segera menginisiasi perbaikan UU Ciptaker dengan mengikuti serta menaati segala amar putusan yang diputuskan MK, termasuk tidak membuat aturan turunan dan tidak membuat kebijakan yang didasarkan atas UU tersebut.

“Pemerintah dan DPR harus mengambil keputusan. Pilihan terbaik adalah segera melakukan perbaikan. Waktu yang tersedia sangat sempit mengingat ruang lingkup dan jumlah pasal sangat banyak,” ujar Ketua DPP PAN itu.

Sebagai informasi, pemerintah dan DPR masih memiliki tiga RUU dengan model omnibus law di Prolegnas 2020-2024 yakni RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, serta RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Sebelumnya, MK memerintahkan agar dibentuk landasan hukum untuk menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law.

“Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan Undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut,” ujar Hakim Konstitusi, Suhartoyo yang membacakan salah satu bagian dalam putusan MK itu, Kamis (25/11).

Berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut, UU Ciptaker dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan UU sebagaimana amanat UU 12/2011.

Khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan yang harus menyertakan partisipasi masyarakat secara maksimal dan lebih bermakna yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, MK berpendapat perlu memberi batas waktu yakni dua tahun kepada pemerintah dan DPR selaku pembentuk UU untuk melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU Ciptaker.

“Apabila dalam waktu 2 tahun UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen,” kata Suhartoyo.

Untuk diketahui, MK menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat karena cacat formil sebab dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan.

Putusan tidak bulat karena 4 hakim berbeda pendapat, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. {cnn}