Fahri Hamzah dan Mei 1998 (Bagian I)

Fahri Hamzah Mei 1998

1998 adalah angka ajaib dalam buku tahunan bangsa Indonesia. Angka yang terhubung dengan abad silang, yakni 1908 dan 1928. Kalaupun ada yang “kosong” seperti tahun 1918, hakikatnya sudah terisi dengan aktivitas yang lain.

Sejumlah organisasi nasional lahir pada awal abad lampau, diluar Boedi Oetomo. Sarekat Islam lahir pada 16 Oktober 1905.  Muhammadiyah lahir pada tanggal 18 November 1912. Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926.

Tidak heran, jika 1998 “sudah ditunggu” dua puluh tahun sebelum lahir, yakni oleh gerakan mahasiswa 1978, 1974 dan 1966. Tak ada sama sekali kekosongan atau keheningan dalam roda sejarah.

Perkenalan saya dengan Fahri Hamzah berbeda dengan tokoh-tokoh mahasiswa era 1990-an lainnya. Kami tidak bertemu dalam aksi-aksi politik mahasiswa ataupun aksi-aksi demontrasi. Fahri kuliah di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI), sementara saya di Fakultas Sastra (FS – sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UI.

Ada sawah, tegalan dan jurang yang tak terlalu terjal yang membatasi kampus kami. Aktivitas yang mempertemukan saya dengan Fahri adalah lembaga dakwah kampus yang berkembang pesat setelah Revolusi Iran 1979.

Saya kebetulan adalah Ketua Majelis Syuro (eheeem) Forum Amal dan Studi Islam (FORMASI) FS UI yang waktu itu diketuai oleh Rudi (Sastra Indonesia FSUI).

Sementara Fahri menjadi Ketua Forum Studi Islam (FSI) FE UI yang beranggotakan Rama Pratama, Deddy Fezantino dan sejumlah anggota Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) UI Eka Prasetya lainnya.

Ya, saya dan Fahri sama-sama anak tarbiyah alias sama-sama Moelim Brotherhood. Sering saya berkelakar, “Saya masih menjadi ikhwan fillah kala bertemu Fahri, sebelum kemudian saya menjadi ikhwan khilaf.”

Sedikit sekali saya berdebat dengan Fahri menyangkut soal-soal politik. Yang justru kami perdebatkan adalah dimensi-dimensi yang skalanya luas, misalnya: apa makna revivalisme dalam Islam? Yang juga kami perdebatkan adalah apakah yang terjadi dalam abad ke-15 Hijriah adalah revivalisme ataukah puritanisme? Hampir tak ada istilah fundamentalisme yang kami bahas, mengingat: “Menjadi muslim berarti menjadi kaum fundamentalis.”

Ya, kami tak hirau dengan istilah fundamentalisme, mengingat di kalangan ikhwanpun pengetahuan tentang Islam baru pada tingkat dasar. Saya yang terlahir dari keluarga Masyumi, sudah membaca buku-buku tebal agama Islam sejak kecil, tidur di surau, kaki dan tangan penuh bekas lidi guru mengaji, begitu juga melahap buku-buku tafsir berbeda imam, hadist-hadist qudsi, dan biografi banyak tokoh.

Pertama kali meminjam buku-buku perpustakaan, saya sudah membawa pulang buku Kapita Selekta Mohammad Natsir ataupun buku-buku karangan Buya HAMKA. Begitu juga Fahri di Bima, Nusa Tenggara Barat, sana.

*

Tapi kawan-kawan kami di kampus? Banyak yang baru mengenal agama Islam di kampus. Mereka adalah kelas menengah perkotaan yang lahir dari keluarga yang berada. Sering saya dan Fahri membayangkan bahwa salah satu di antara kami atau kami berdua akan dinikahkah oleh murobbi kami dengan salah seorang mahasiswi cantik yang kaya raya sebagai bagian dari “medan perjuangan”.

Bisik-bisik seperti itu sudah umum, bahkan menjadi bagian dari “medan cinta” yang lain ketika kekasih saya yang kini menjadi istri saya juga tahu betul soal itu. So? Ketika kami dibilang fundamentalis, ya tidak ada masalah mengingat sedang mempelajari dan mempraktekkan bagian-bagian paling mendasar (fundamental) dalam Islam, baik rukun maupun sunahnya.

Kebetulan, kalau ada liqo – kumpul-kumpul sesama ikhwan di luar kampus – saya dan Fahri duduk dalam satu lingkaran. Dua orang lagi seingat saya adalah Sulaeman, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI dan Komaruddin dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.

Imam kami adalah Sulaeman. Sulaeman adalah ikhwan yang paling fasih bacaan Al Qur’annya. Kalau Sulaeman yang jadi imam, sudah dipastikan mayoritas jamaah menangis. Kalau tidak ada Sulaeman, biasanya yang menjadi imam adalah Zulkieflimansyah – sekarang lagi menjadi Calon Gubernur NTB –. Saya kurang ingat, kapan diimami oleh Fahri.

Kebetulan, saya indekos di Gang Kober, Jln Margonda Raya. Pernah beberapa kali saya tidur di kostan Fahri yang terletak di pinggir jalan yang lebih berisik. Saya tidur di kasur, Fahri tidur di tikar.

“Antum kan tamu ana,” begitu alasan Fahri. Makanya saya tak menawarkan Fahri tidur di kostan saya. Bukan saja karena tamu-tamu yang numpang tidur di kostan saya lebih banyak, tapi karena nggak enak saja saya harus tidur di tikar. Soalnya, kostan saya ada dipannya, sementara Fahri tak pakai dipan.

Malam-malam, saya kebangun. Fahri saya lihat masih “sibuk” dengan pengajiannya. Banyak nyamuk. Margonda memang tempat yang favorit bagi nyamuk-nyamuk untuk menghisap darah mahasiswa UI yang tak seberapa banyak dan kurus-kurus itu.

“Kenapa antum tak pakai obat nyamuk bakar?” tanya saya. “Halah, anggap saja sedekah buat ibunya nyamuk,” kata Fahri. Saya ketawa, walau hati mangkel mengingat gigitan nyamuk perempuan biasanya lebih gatal daripada nyamuk laki-laki.

Fahri yang membawa saya ke acara yang lebih luas, yakni Forum Demokrasi yang dikomandani oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tempatnya di Ciganjur. Kami naik bis Kopaja untuk sampai di Ciganjur. Di sana saya berjumpa dengan Bursah Zarnubi (sekarang Calon Bupati Lahat, Sumsel), Muslim Abdurrahman, Bondan Gunawan (ayah kandung dari teman kuliah saya, Bondan Kanumuyoso), Muhammad AS Hikam dan banyak lagi yang lain.

Yang saya tangkap dalam acara itu adalah humor-humornya yang luar biasa. Saya seperti melihat para dewa sedang berkumpul di puncak Gunung Olimpus, saat mendiskusikan nasib manusia di era Mitologi Yunani. Forum (Humor) Demokrasi inilah yang menjadi salah satu kawah candradimuka bagi kaum intelektual muslim dan kubu nasionalis yang seingat saya mengkritisi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Tentu, saya dan Fahri duduk di bagian belakang saja. Pergaulan saya belum sampai ke level nasional. Pun di organisasi kemahasiswaan, baru sampai di tingkat universitas, belum lagi merambah ke luar kampus. Cuma saja, kegiatan “nyuri humor” dalam acara Forum Demokrasi itu menjadi rutin saya dan Fahri lakukan, jika kami sepakat tentang jadwal.

Aktivitas seperti itu baru berkurang setelah Nurcholish Madjid balik dari Chicago University. Isi kuliah umum Cak Nur di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1994 begitu menyita minat kami. Berikutnya, Cak Nur juga membuka pengajian Paramadina di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta. Kebetulan, ada majalah Ulumul Quran yang memuat karya-karya kaum intelektual hebat waktu itu.

Jadi, selain majalah PRISMA, kami juga dimanjakan dengan majalah Ulumul Quran dan majalah HORISON di era 1990an.  Tiga majalah itu menjadi jangkar bagi kaum intelektual Indonesia, baik dalam pemikiran sosial, budaya, sastra ataupun keagamaan.

Kehadiran edisi-edisi terbaru dari ketiga majalah itu sangat ditunggu oleh para pelahap-pelahap ilmu seperti kami. Di luar itu, guna mendapatkan nuansa personal, kami menghadiri beragam acara diskusi, seminar, pengajian sampai ceramah dari para cendekiawan itu.

Masih kurang puas? Kami sendiri yang menjadi panitia dan mengundang mereka ke kampus. Keran keterbukaan Orde Baru sudah terbuka, sehingga kami bisa mengundang sosok-sosok seperti Pramodya Ananta Toer, Adnan Buyung Nasution, Sri Bintang Pamungkas, HJ Princen, Nurcholish Madjid, sosok-sosok purnawirawan seperti Ali Sadikin, Kemal Idris dan AH Nasution, bahkan sosok militer yang sedang naik daun seperti Agum Gumelar.

Jangan ditanya soal kehadiran pejabat, kami bisa mengundang siapa saja. Kebetulan juga, anak-anak pejabat itu juga kuliah di UI. Lia, misalnya, adalah anak dari Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Kebetulan Lia adalah sekretaris saya untuk satu kepantiaan di SMUI. Sekretaris saya yang lain adalah Tinezia Sri Cendari (Inez Tagor). Begitu gambarannya, betapa kami yang anak kampung sekalipun bisa mengakses tokoh-tokoh manapun guna diminta sebagai pembicara dan – apalagi – sponsor kegiatan.

*

Dibandingkan dengan Fahri, saya terlebih dahulu aktif dalam tubuh Senat Mahasiswa UI, yakni dalam era Chandra M Hamzah (1992/1993) dan Bagus Hendraning (1993/1994). Waktu Zulkieflimansyah menjadi Ketua SMUI (1994/1995), Fahri langsung menjadi think tank utama SMUI, yakni sebagai Ketua Litbang SMUI. Sementara saya menjadi anggota Komisi Hubungan Luar SMUI yang diketuai oleh Soekarman Dj Soemarno (terakhir adalah staf ahli Kapolri dan doktor di bidang ilmu kepolisian).

Walau saya dianggap sebagai “rezim lama”, komunikasi dengan rezim Zulkieflimansyah tetap saya bangun, termasuk dengan Fahri. Aktivitas yang banyak saya kerjakan adalah kampanye kenaikan anggaran pendidikan hingga mencapai  25 % dalam APBN. Persoalan anggaran pendidikan ini menjadi salah satu dari sedikit sekali isu yang bisa diseragamkan antar kampus, termasuk dengan Senat Mahasiswa Universitas Gajah Mada (SM UGM) yang sempat dipimpin Anies R Baswedan dan Elan Satriawan.

Di luar itu, saya membangun komunikasi dengan senat-senat mahasiswa di Jakarta dan luar Jakarta. Keterlibatan saya dalam dua acara skala nasional dalam era Chandra M Hamzah (Diskusi Mahasiswa tentang Tinggal Landas) dan Bagus Hendraning (Simposium Nasional Angkatan Muda 1990an), membuat jaringan saya lebih luas.

Tahun 1995, terjadi semacam vacuum of power dalam tubuh SMUI. Hampir tidak ada tokoh mahasiswa yang mengajukan diri sebagai Calon Ketua SMUI. Saya baru saja menyelesaikan tugas sebagai Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FS UI dan Ketua Studi Klub Sejarah FSUI era 1994/1995.

Mustafa Kamal (sekarang Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera) adalah Ketua Umum SM FSUI waktu itu. Saat Kamal meminta saya sebagai Sekum SM FSUI, saya melompati dua angkatan, yakni Angkatan 89 dan Angkatan 90. Sebelum saya, Sekum SMUI dipegang oleh Angkatan 88. Kolega saya di FSUI lebih menginginkan saya untuk maju sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI berikutnya, menggantikan Kamal.

Saya sendiri merasa sudah di at home, tak ada tantangan. Soalnya, selain aktif di SKS FSUI, Senat Mahasiswa FSUI, FORMASI FSUI, Koperasi Mahasiswa FSUI, Tabloid Lentera FSUI, saya juga aktif di Teater Sastra UI.

“Lu mau jadi ikan paus di samudera atau mau menjadi ikan hiu di danau? Samudera itu SMUI, sementara danau itu SM FSUI,” begitu kata salah seorang senior saya, Pandu Dewanata.

Pandu lebih menyokong saya maju sebagai Calon Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pandu waktu itu sudah aktif di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga. Ia termasuk yang menyeleksi mahasiswa-mahasiswa UI yang mau ikut kegiatan model pertukaran mahasiswa atau pemuda Indonesia – Jepang dalam Program (Kapal Pesiar) Nippon Maru.  (Baru belakangan saya tahu, Pandu adalah bagian dari keluarga besar Susilo Bambang Yudhoyono. Kebetulan, usai Pemira SMUI 1995 itu, saya dikirimkan Rektorat UI untuk ikut Penataran Kewaspadaan Nasional dan Penataran P-4 Pola 100 Jam yang diadakan oleh Kemenpora, Lemhannas, dan BP7 Pusat di Cibubur, selama satu setengah bulan dalam masa libur kuliah).

“Lu tidak ada lawan kalau maju di FSUI. Bisa jadi lu sebagai calon tunggal,” kata Pandu. Begitu juga analisa kawan-kawan saya yang lain.

Tapi memang karena sudah jenuh, saya memutuskan maju di SMUI. Nah, di sinilah terjadi kejadian menarik. Rama Pratama menjadi Campaign Manager saya di FEUI. Sementara, Fahri Hamzah menjadi Campaign Manager Komaruddin, lawan politik saya.

Seperti bagian awal tulisan ini, saya, Komar, Fahri, dan Sulaeman adalah satu liqo brotherhood. Kami bukan kelompok politik atau suka membahas politik. Tak ada sama sekali pembicaraan apapun bahwa saya atau Komar atau Fahri mau maju dalam satu jabatan politik di UI. Niat saya maju sebagai Calon Ketua SMUI semula hanya untuk memancing kehadiran calon-calon lain,  demi “keberlanjutan SMUI”.

Soal ini, Sulaeman Nasyim (wartawan kampus dan sekarang salah seorang anggota Tim Pakar Anies Baswedan & Sandiaga Uno) dan Hadi Juwanda (Ketua Umum SMUI kala itu, sekarang Kolonel TNI AD) mengetahuinya. Apabila hanya calon tunggal, maka tidak akan ada lagi Pemilihan Raya SMUI ataupun organisasi SMUI. Diluar itu, bakal muncul stigma bahwa “SMUI mati di tangan kelompok ikhwan”.

Dengan banyak sekali pergolakan pemikiran, saya memutuskan untuk membuat semacam kelompok “Tarbiyah Sempalan” yang kami beri nama Afdeling B. Di barisan tarbiyah reformis inilah bergabung Agung Pribadi, Ekky Iman Jaya, Wien Muldian, Noor Intan, JJ Rizal, Luthfi An Nur, Sugeng P Syahrie dan lain-lain. Salawat badar melawan salawat badar. Ide-ide yang kami putuskan adalah insklusifitas sebagai bagian dari area dakwah.

Kemunculan Grup Nasyid NgeK adalah bagian dari (revolusi) ala Afdeling B ini, yakni menggabungkan nasyid ala Timur Tengah dengan tombo ati ala Sunan Kalijaga. Boleh dikatakan kami mendeklarasikan diri sebagai Ikhwan Nusantara, bukan ikhwan yang membawa serta konflik berabad-abad dari tanah Arab, misalnya.

Begitulah, saya kalah dalam pertarungan itu. Saya hanya menang di FS UI dan Fakultas Psikologi UI (dengan Campaign Manager saya waktu itu Mohammad Qodari, sekarang CEO Indo Barometer), lalu seri di Fakultas Hukum UI (dengan Manager Campaign saya waktu itu Indra Kusuma, sekarang lawyer). Saya sering becandain teman-teman ahli hukum atau pengacara: “Bagaimana bisa saya bisa percaya kalian, sementara waktu saya maju sebagai Ketua SM UI, ada 105 suara untuk saya, lalu ada 105 suara untuk Komar? Bagaimana ada bisa ada kata SERI di kotak suara?”

Saya rontok di seluruh fakultas yang lain: Fakultas Kedokteran UI, Fakultas Kedokteran Gigi UI, Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, FMIPA UI, FTUI, Politeknik UI, dan FISIP UI. Di FEUI? Saya juga takluk:  Komar dengan CM Fahri Hamzah unggul 35 suara dibandingkan dengan saya dengan CM Rama Pratama.

Imbas golputnya anak-anak Indept, termasuk anak-anak kantin dan boikotnya anak-anak FTUI adalah menghilangnya anak-anak gaul dari kotak-kotak suara – bolehlah disebut disini juga: anak-anak BO Economica dan anak-anak AISEC, walau pasti saya ditimpuk pakai buku –.

Usai itu? Fahri berulangkali meminta saya agar mau diduetkan dengan Komaruddin. Fahri bukan lagi master mind dalam Kabinet Komaruddin. Barangkali dia sedang memasuki etape yang lain, saya kurang tahu. Sayup-sayup memang saya dengar kedekatannya – sudah lama, sebelum masuk FEUI – dengan Adi Sasono, Sekjen ICMI yang mantan aktivis ITB itu. Ketika Komar menyusun kabinetnya, Fahri minta saya mau menjadi Sekretaris Umum SMUI. Saya menolak, tapi mempersilahkan Komar untuk berbicara dengan saya.

Benar saja, selesai sholat Jumat di Mesjid UI, Komar datang ke saya, memeluk saya, cipika cipiki. Komar memang tak seagresif atau seterus-terang Fahri. Dia kelihatan kikuk sekali, dengan bibir terbata-bata.

“Afwan, akhi, kami meminta antum untuk bisa bekerjasama dengan kepengurusan SMUI 1995/1996,” ungkap Komar, pada akhirnya. Ia pun menyebut posisi saya sebagai Sekum.

“Afwan, akhi, ana sudah mempertimbangkan dengan matang. Upaya reformasi dalam tubuh ikhwan perlu diteruskan, jangan sampai mati. Ana hanya bisa sama-sama kerja bersama antum, tetapi tidak bisa bekerjasama,” kata saya, tegas.

Seandainya saya memilih untuk menjadi Sekum SMUI periode 1995/1996, di bawah Ketua Umum Komaruddin, sudah bisa ditebak bagaimana wajah politik era millenials sekarang: pertarungan hanya sandiwara, jabatanlah alat pemersatu tokoh-tokohnya. Sungguh, saya tak bisa membayangkan bagaimana dampaknya kepada generasi kami dan sejarah yang kami tulis.

Saya tahu, betapa Zulkieflimansyah, Fahri Hamzah, sampai Mustafa Kamal yang sedang berada di sudut mesjid yang lain, kecewa dengan pilihan saya. Tapi mereka juga sudah mendengar bahwa misi saya sudah berubah, bukan lagi menjadi Ketua SMUI, melainkan bagaimana agar Moeslim Brotherhood kami tak dicurigai sebagai kelompok anti demokrasi, chauvinis dan ekslusif. Buktinya adalah Pemira SMUI 1995 itu yang diboikot oleh Fakultas Teknik UI dan Politeknik UI. Diluar itu, Budi Arie Setiadi (alias Muni, kini Ketua Projo) yang semula berjanji akan mendukung saya, ternyata memutuskan golput.

“Sorry, Ndra, indept – istilah untuk kelompok kiri yang dipakai Muni – golput dalam Pemira ini,” kata Muni, pas bertemu dengan saya di jalan menuju kampus.

“Kenapa, Mun? Bukannya lu pernah bilang mau dukung gue, kalau gue maju?” kata saya, heran.

“Rupanya gue salah, Ndra. Soalnya gue lihat, sekarang pertarungan hijau lawan hijau,” kata Muni. Padahal, dari perhitungan saya, apabila Indepth (jumlah suaranya sekitar 600) dan FTUI (jumlah suaranya sekitar 1000) mendukung saya, maka saya akan menang tipis dari Komar. Total kekalahan saya dari Komaruddin ada di angka 1.500 suara.

Saya mengangguk dan salaman dengan Muni. Saya sudah terlatih untuk menjadikan politik kampus sebagai soal-soal personal. Benar yang dikatakan Muni, selain Afdeling B, saya juga sudah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lewat suatu “kecelakaan sejarah” yang nanti saya tulis. Aktivis-aktivis HMI banyak yang menjadi tim suskses saya, terutama Campaign Manager Pusat saya, yakni Rifky Mochtar (Ketua Umum HMI Cabang Depok, Ilmu Matematika FMIPA UI, kini Aparatur Sipil Negara di Kemenpora RI).

Hanya saja, saya juga tahu bahwa PB HMI yang waktu itu diketuai oleh Taufik Hidayat sama sekali tak mendukung saya. Ramdansyah (kini Sekjen Partai Idaman) yang waktu itu masuk PB HMI, telanjur bilang dalam rapat-rapat PB HMI bahwa yang terjadi di UI adalah “Tarbiyah vs Tarbiyah”.

*

Kekalahan saya di SMUI bukan berarti menghilangkan saya dari Pusat Kegiatan Mahasiswa UI. Malahan, saya makin sering tidur di Pusgiwa UI. Soalnya, saya aktif dalam Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya dan Majalah Suara Mahasiswa UI. Yang sering kosong adalah ruang kerja SMUI, ketika ruangan KSM UI dan sekretariat Suara Mahasiswa UI tak kebagian tempat untuk tidur bermalam aktivis-aktivisnya. SMUI benar-benar jadi musholla bagi anak-anak KSM dan Suara Mahasiswa yang hendak sholat.

Di KSM UI, saya kembali lagi seorganisasi dengan Rifky Mochtar, Mohammad Qodari, Rama Pratama, Deddy Fezantino, Gatot Priyo Utomo, Desmawati, Amilia Himawati, Sad Dian Utomo, Sulistio dan lain-lain dengan senior-senior seperti Ahmad Yani, Nadia Madjid, Riri Satria dan Riri Fitri Sari. Di Suara Mahasiswa UI, saya kembali berdiskusi menentukan tema laporan utama bersama Budi Arie Setiadi (Muni), Ihsan, Wien Muldian, Noor Intan, Nusron Wahid, HEP, Agus Wiyono, Sutono, dan lain-lain.

Sekalipun tidak menjadi pengurus SMUI lagi, saya tetap menjadi jembatan bagi SMUI dengan aktivis senat-senat mahasiswa perguruan tinggi lainnya, baik di Jakarta atau luar Jakarta. Saya juga mengadakan roadshow ke sejumlah kota, termasuk ke Bandung dan Yogya.

Terakhir, saya bersedia menjadi Ketua Delegasi SMUI dalam Pertemuan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi se-Indonesia di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur. Kompensasi yang saya minta lumayan tinggi ke Komar sebagai Ketua SMUI, yakni naik pesawat terbang pulang pergi dan sekaligus punya hak prerogatif untuk mengambil keputusan apapun menyangkut SMUI.

Komar memberikan yang saya minta. Saya naik pesawat pertama kali ke Sepinggan, Balikpapan, terus ke Temindung, Samarinda. Delegasi SMUI waktu itu adalah saya, Kun Nurachadijat sebagai unsur Badan Perwakilan Mahasiswa UI (Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FEUI kala itu/Ketua OPT UI 96, sekarang Doktor lulusan Universitas Pakuan, Bogor) dan Rizaldi (Sekretaris Umum SMUI asal FISIP UI).

Dalam acara itulah, dengan ketua presidium sidang Saudara Kun, SMPT se-Indonesia menyatakan “Mencabut NKK/BKK dalam bentuk SK Kemendikbud RI No 0457/1990 yang menjadi dasar bagi kehadiran SMPT” dan juga pernyataan sikap “Menolak Laporan Pertanggunggungjawaban Presiden Soeharto dalam Sidang Umum MPR RI tahun 1997”.

Dalam kesempatan itu juga saya menyerahkan tuan rumah pertemuan SMPT berikutnya kepada Sudara Saiful Abda (sekarang dosen di Aceh), Ketua Senat Mahasiswa Universitas Syah Kuala, Banda Aceh. Padahal, dalam hasil voting, suara yang diperoleh oleh UI dan Univ Syiah Kuala sama, alias draw.

“UI kan punya banyak acara nasional. Sementara kami di Unsyiah? Jarang dapat kesempatan jadi tuan rumah acara nasional. Kalau perlu, tanah Aceh kami jual, agar acara ini terwujud tahun depan (1997),” kata Saiful. (Usai tsunami Aceh 2005, saya nyampe pada hari kedelapan di lokasi. Selama berhari-hari dan berbulan-bulan, saya bikin pengumuman di facebook saya untuk menemukan Saiful Abdaa ini. Ia baru menghubungi saya, lama setelah tsunami Aceh.)

Demi semangat sebagai sesama anak Sumatera, saya akhirnya serahkan posisi tuan rumah PN SMPT 1997 itu kepada Unsyiah. Toh saya juga tak melihat kesiapan SMUI sebagai tuan rumah, seandainya posisi tuan rumah itu saya pertahankan.

Dengan pencabutan NKK/BKK oleh sidang pleno PN SMPT 1996 di Universitas Mulawarman itu, otomatis kami mengakui keberadaan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya, seperti Tegak Lima di Yogya, Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), sampai Forum Komunikasi Himpunan Jurusan (FKHJ) di Institut Teknologi Bandung.

Kami tak lagi menempatkan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi sebagai satu-satunya wadah bagi aspirasi mahasiswa. Pun dengan mengesahkan penolakan LPJ Presiden Soeharto dalam Sidang Umum MPR 1997, kami sudah dengan sangat otomatis menolak pencalonan Pak Harto sebagai Presiden RI 1997-2002.

Di luar itu, juga ada pembagian kerja FK SMPT se-Indonesia. Saya kebetulan diangkat sebagai Koordinator Wilayah A (Sumatare & DKI Jakarta) Forum SMPT se-Indonesia periode 1996-1997.

Bundelan putusan itulah yang kami bawa dalam keadaan sebagai “buronan” militer di Bukit Soeharto yang waktu itu dikenal angker. Guna menyelamatkan putusan sidang pleno itu, terpaksa malam hari saya bersama Kun dan sejumlah teman berangkat naik mobil melewati Bukit Soeharto dan hutan rimba Samarinda – Balikpapan.

Tidak banyak anggota delegasi lain yang kami kabarkan tentang keputusan itu.  Minimal, kami wajib membawa dokumen itu untuk kami perbanyak di UI, lalu mengirimkan ke kampus-kampus utama, dalam keadaan yang distempel oleh masing-masing delegasi yang hadir di Universitas Mulawarman. Soalnya, lokasi kami menginap sudah dikepung oleh aparat. Bahkan, Ketua Senat Mahasiswa Univ Mulawarman – saudara Arafat – sudah berada di Kodim, guna diinterogasi menyangkut keputusan-keputusan PN SMPT 1996 itu.

Jadilah, kami menjalankan misi penyelamatan dokumen dengan menempuh perjalanan darat selama 4 jam lebih. Waktu itu, Bukit Soeharto kami lihat terbakar, mengingat batubara yang ada di bawah kulit bumi masih belum digali ketika itu.

Itulah terakhir kalinya saya membawa nama SMUI keluar kampus UI. Sebagai Koordinator Wilayah A, saya membidani lahirnya Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) bersama Ubeidillah Badrun (Ketua Senat Mahasiswa IKIP Jakarta), Danar (Ketua Senat Mahasiswa Universita Moestopo Beragama), Hengky, Heru dan lain-lain.

Ketika Universitas Syah Kuala mengadakan Pertemuan Nasional SMPT tahun 1997, saya memutuskan tidak hadir. Ada alasan pribadi juga, yakni saya tak ingin dituduh “telah menjual tiket tuan rumah” kepada Unsyiah. Isu dan intrik yang berkembang: saya difasilitasi oleh Saiful untuk berangkat pulang pergi ke Banda Aceh, dengan pesawat terbang, lengkap dengan uang sakunya.

Pertemuan Nasional di Unsyiah ternyata tak sampai selesai. Delegasi pecah. Kawan-kawan FKSMJ yang hadir – dimana saya menitipkan aspirasi saya tentunya, dalam rapat-rapat maraton yang kami gelar sebelum delegasi berangkat ke Unsyiah Aceh – mengatakan bahwa Senat Mahasiswa Unsiah sudah dibawa kendali Kodam Iskandar Muda.

Adegan naik mobil malam-malam seperti yang saya dan Kun lakoni dari Samarinda – Balikpapan, kembali terulang dari Banda Aceh menuju Medan. Tapi jumlah yang ikut “lari malam” itu lebih banyak lagi, yakni delegasi mahasiswa kampus-kampus yang lebih berani mempertahankan butir-butir keputusan Sidang Pleno PN SMPT Univ Mulawarman 1996. Sidang dibuka lagi di salah satu kampus di Medan, salah satu kota yang kemudian menjadi radikal sebelum aksi-aksi Mei 1998…

(Bersambung)

Indra J Piliang, Ketua Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute
#NarasiReboan #SketsaGerilyawan #EelegiReformasi