Quo Vadis Golkar Bersih

Quo Vadis Golkar Bersih

Bagi yang hadir di areal Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang digelar bulan Desember tahun lalu, nuansa untuk memperbaiki citra partai kuat terasa.

Nyaris di seluruh areal Jakarta Convention Center (JCC) tempat gelaran kegiatan tersebut berlangsung, ramai oleh banner Golkar Bersih. Sebuah itikad untuk mengubah citra Partai yang selalu dikaitkan dengan korupsi. Tak heran, sebab partai ini kerap disebut sebagai sarang koruptor karena maraknya kader yang terjerat perkara korupsi.

Apalagi, Munaslub yang digelar saat itu dilaksanakan untuk mengganti Ketua Umum yang saat itu dijabat Setya Novanto. Sebelumnya Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik.

Hal ini menempatkan Golkar sebagai partai ketiga yang ketua umunya dijerat pidana korupsi setelah sebelumnya hal serupa menimpa Partai Demokrat dan Partai Keadilan sejahtera.

Mesti diakui, mengangkat citra Partai Golkar untuk bertarung di Pemilu 2019 bukanlah hal mudah. Stigma sebagai penerus Orde Baru dan partai juara korupsi membuat elektibilitas Partai Golkar memiliki kecenderungan menurun jika dilihat dari tiga Pemilu Terakhir dilihat dari perolehan kursi di DPR RI.

juga, Capres yang didukung oleh Partai Golkar pun tak pernah menang. Hal ini menambah citra negatif PG sebagai penumpang gelap, karena memiliki tabiat politik berbalik mendukung pemenang di tengah jalan.

Keputusan Munaslub untuk kemudian mengangkat jargon Golkar Bersih menjadi keputusan Partai bisa dipandang sebagai langkah cerdas dan taktis. Ketua Umum terpilih Airlangga Hartarto memiliki peluang untuk melakukan rebound dengan membuat citra Partai Golkar pasca Munaslub 2017 adalah partai yang berbeda dari Golkar sebelumnya.

Bagi parpol peserta Pemilu 2019, isyu korupsi akan menjadi isyu strategis yang mesti diantisipasi jika ingin mendulang suara. Ini salah satunya karena aksesibilitas informasi publik semakin terbuka dan publik semakin jengah dengan aksi korupsi oleh kader parpol.

Pemilih akan melihat partai yang mampu mencitrakan diri sebagai partai bersih dan mampu mengendalikan kadernya agar tidak melakukan korupsi akan menjadi prioritas. Persoalannya, publik era disruptif informasi ini, tak mudah dibohongi dengan jargon. Mereka akan mecari tahu perangkat apa yang dimiliki oleh partai yang mampu menjawab tantangan tersebut.

Partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga mengambil langkah maju. Di lima bulan kepemimpinannya, Airlangga mengumumkan per 8 Mei 2018 Partai Golkar memiliki Majelis Etik. Majelis ini diisi oleh tokoh senior partai yang memiliki track record mumpuni dan dilarang melakukan kerja politik selain dalam kapasitas Majelis. Hal tersebut termasuk tidak boleh mengisi jabatan publik dan ikut dalam Pemilu 2019.

Majelis Etik ini diisi Mohammad Hatta sebagai ketua, Andi Mattalatta selaku wakil ketua, Rully Chairul Azwar sebagai sekretaris, serta anggota yang terdiri dari Hassan Wirajuda, H.Ibrahim Ambong, Djasri Marin, Farida Syamsi Chadaria, Tyas Indayah Iskansar, dan A. Edwin Kawilarang.

Majelis ini memiliki kewenangan yang bisa dibilang luas dan strategis. Cakupannya meliputi penyusunan kode etik partai, melakukan monitoring terhadap pelaksanaan kode etik, menerima laporan, melakukan sidang Majelis Etik untuk memeriksa kader yang diduga melakukan pelanggaran etik.

Selain itu, majelis etik juga akan mengatur rekrutmen kader Golkar atau pun dalam penunjukan pengisian jabatan termasuk penentuan calon anggota legislatif. Rekrutmen akan dilakukan sesuai dengan aturan main partai.

Saat rilis pembentukan Majelis Etik, Ketua Majelis Etik mengumumkan salah satu sasaran Majelis Etik adalah mengamputasi kader yang terlibat Korupsi dan sejumlah tindak pidana berat. Di samping akan menghapus tren politik dinasti dan membatasi masa jabatan anggota Dewan.

Sayangnya, meski sepertinya cepat di depan, kerja Majelis Etik hingga memasuki bulan kedua sejak berdiri ini belum tampak. Publik masih belum merasakan adanya attitude baru yang menunjukkan itikad Golkar Bersih.

Majelis Etik seperti gamang untuk memulai bekerja, terutama karena usulan kode etik Partai kabarnya masih belum juga ditandatangani oleh Ketua Umum. Hal ini menyebabkan, Majelis belum memiliki alas hukum untuk bekerja. Sehingga yang bisa dilihat oleh publik, majelis etik hanya pemanis wacana saja.

Padahal, jika partai golkar serius, mestinya Majelis Etik sudah mulai bekerja untuk memproses sejumlah kader yang saat ini terbelit kasus korupsi, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau pun terpidana.

Majelis Etik bahkan belum bisa berbuat banyak terhadap Setya Novanto yang pada Selasa 24 April 2018 telah menerima vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan dari Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta.

Hakim juga mencabut hak politik Setya Novanto selama lima tahun setelah menjalani masa hukuman. Setya Novanto juga diwajibkan mengembalikan uang sebesar 7,3 juta USD dikurangi Rp5 miliar yang telah ia berikan kepada KPK. Jika menurut kurs saat ini (1 USD = Rp 13.900), maka Setya Novanto harus mengembalikan uang sejumlah Rp 96.470.000.000.

Alih-alih mengambil sikap, bahkan status Setya Novanto sebagai Anggota DPR pun masih belum diputus. Padahal, tindakan terhadap Setya Novanto pasca putusan inkrah tersebut bisa menjadi mercusuar bagi itikad Partai Golkar dalam mewujudkan Golkar Bersih.

Bukankah, Munaslub yang menetapkan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum dan menerbitkan jargon Golkar Bersih adalah karena laku korup Setya Novanto?

Partai Golkar masih memiliki waktu sekitar 2 bulan untuk menyusun daftar calon sementara calon anggota legislatif Pemilu 2019 dan waktu kurang dari setahun untuk mengkampanyekan Partai untuk bisa memperoleh suara signifikan di Pemilu 2019.

Airlangga mestinya menyadari, Majelis Etik ini semestinya merupakan lokomotif perubahan partai menuju Golkar Bersih. Jika lokomotif ini tidak segera dikaryakan, maka peluang Partai Golkar untuk rebound akan kehilangan momentum dan leverage.

Bandot D Malera
Pakar Komunikasi Politik Cikini Network