PDI Perjuangan Rontok di Pilkada Serentak 2018

PDI Perjuangan Rontok di Pilkada Serentak 2018 Radar Aktual

PDI Perjuangan tumbang di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018. Hasil hitung cepat di 17 provinsi menunjukkan fakta, PDIP kalah di 13 provinsi.

Di Pilkada Sumatera Utara, PDIP bersama PPP mengusung Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus di Pilgub Sumut. Pasangan nomor urut dua ini kalah telak oleh Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah yang diusung Gerindra, PKS, PAN, PKB, PPP, Demokrat, Nasdem, dan PAN.

Dari hasil hitung cepat LSI Denny JA dengan data masuk sudah 86,29 persen, Edy-Musa 56,8 persen, sedangkan Djarot-Sihar hanya 43,2 persen.

Di Pilgub NTT, kekuasaan PDIP harus lengser. Sebelumnya, NTT dipimpin oleh kader PDIP, yakni Frans Lebu Raya. Di Pilgub NTT 2018, PDIP alami kekalahan. Pasangan yang diusung PDIP bersama PKB, yakni Marianus Sae-Emelia J Nomleni kalah dari pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi.

Dari 100 persen data yang masuk ke SMRC, Victory-Joss mendapat perolehan suara 37,17 persen. Pasangan yang diusung Partai Nasdem, Golkar, dan Hanura ini unggul dari tiga pesaing lainnya.

Sementara itu, Marianus Sae-Emmilia Nomleni (Marianus-Emmi) mendapat perolehan suara 27,31 persen. Pasangan yang diusung PDI-P dan PKB ini berada satu tingkat di bawah Victory-Joss.

Posisi ketiga disusul Esthon L Foenay-Christian Rotok, yang meraih suara 19,83 persen. Pasangan ini diusung oleh Partai Gerindra dan PAN.

Benny K Harman-Benny A Litelnoni menempati posisi terakhir. Pasangan yang diusung Partai Demokrat, PKPI, dan PKS ini meraih 17,69 persen suara.

Lebih tragis kekalahan yang dialami PDIP di Jawa Barat. Sudah tiga kali, PDIP tak berhasil merebut kekuasaan di Tanah Pasundan itu.

Suara masuk dari TPS sudah 100 persen, SMRC menyebut, Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul sebagai pemenang dengan memperoleh 32,26 persen. Pasangan ini diusung oleh PPP, NasDem dan PKB serta Hanura.

Sementara di urutan kedua ada pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan 29,58 persen. Pasangan ini didukung oleh PKS, Gerindra dan PAN.

Di urutan ketiga, ada Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi mendapatkan 25,38 persen. Pasangan ini diusung oleh Golkar dan Demokrat. Di posisi terakhir, ada Tb Hasanuddin dan Anton Charliyan dengan perolehan 12,77 persen. Pasangan ini diusung oleh PDIP.

Di Pilkada serentak Jawa Timur, Pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Sukarno yang diusung PDIP, PKB, Gerindra, dan PKS harus mengakui keunggulan pesaingnya pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak diusung Partai Demokrat, Golkar, NasDem, PPP, PAN, dan Hanura.

Dari 92.75 persen suara yang telah masuk, Khofifah memperoleh 52,31 persen, sedangkan Gus Ipul-Puti 47,69 persen. SMRC data masuk 99,75 persen, pasangan Khofifah-Emil memperoleh suara 52,28 persen dan pasangan Saifullah-Puti memperoleh suara 47,72 persen. Indikator data masuk 100 persen, Khofifah-Emil mendapat suara 53,63 persen dan Saifullah-Puti 46,37 persen.

Dan LSI data masuk 100 persen, Khofifah-Emil unggul perolehan suara 54,29 persen dan Saifullah-Puti 45,71 persen.

Kompetisi ketat juga terjadi di Kalimantan Timur. Pasangan cagub Kalimantan Timur nomor urut 3 Isran Noor dan Hadi Mulyadi diusung oleh Partai Gerindra, PKS, dan PAN menjadi pemenang. Hasil hitung cepat LSI pasangan ini (Isran Noor-Hadi Mulyadi) mendapat 31,2 persen.

Di bawahnya pasangan Rusmadi Wongso-Safaruddin diusung PDIP dan Hanura mendapat 24,3 persen. Pasangan Syaharie Jaang-Awang Ferdian diusung Demokrat, PPP, dan PKB mendapat 23,1 persen, dan pasangan Andi Sofyan Hasdam-Nusyirwan Ismail diusung Golkar dan Nasdem mendapat 21,4 persen.

Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan Barat, pasangan Sutarmidji-Ria Norsan diusung PKB, Hanura, PKS, Nasdem dan Golkar melenggang dengan raihan 50,2 persen. Di bawahnya Karolin Margret Natasa-Suryadman Gidot diusung PKPI, Demokrat dan PDIP mendapat suara 42.92 persen dan pasangan Milton Crosby-Boyman Harun diusung PAN dan Gerindra mendapat 6,87 persen.

Di Pilgub Lampung, PDIP juga alami kekalahan. Pasangannya, yakni Herman HN-Sutono, hanya menempati posisi kedua dengan perolehan 25,50 persen. Pilgub di Selatan Pulau Sumatera itu dimenangkan pasangan Arinal Djunaidi-Chusnunia (Nunik) yang diusung oleh PAN, PKB, dan Partai Golkar dengan angka 38,32 persen. Hasil ini berdasarkan hitung cepat SMRC.

Tempat ketiga ditempati oleh pasangan petahana Muhammad Ridho Ficardo-Bachtiar Basri dengan perolehan suara 24,83 persen. Pasangan ini diusung oleh PPP, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat.

Di posisi terakhir, ditempati oleh Mustafa-Ahmad Jajuli dengan perolehan suara 11,35 persen. Pasangan ini diusung oleh Partai Hanura, PKS, dan Partai NasDem.

PDIP juga keok di NTB. Partai penguasa ini bersama PPP, Gerindra, PAN, Hanura, dan PBB hanya menduduki posisi ketiga. Koalisi ini mengusung Ahyar Abduh-Mori Hanafi hanya memperoleh 25,5 persen.

Hasil itu berdasarkan quick count Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Suara masuk sudah 100 persen.

Juaranya adalah Zulkieflimansyah-Siti Rohmi Djalilah. Pasangan yang diusung Partai Demokrat dan PKS ini meraih 30,7 persen suara. Posisi kedua diraih M Suhaili FT-Muhammad Amin. Pasangan yang diusung PKB, NasDem, dan Golkar ini mendapat perolehan suara 26,7 persen.

Posisi terakhir ditempati pasangan calon independen Ali bin Dachlan-TGH Lalu Gede Sakti. Mereka memperoleh suara 17,1 persen.

Pilkada serentak untuk memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan periode 2018-2023 dimenangkan pasangan nomor urut 1 Herman Deru-Mawardi Yahya yang diusung NasDem, PAN, dan Hanura. Nomor urut 2 pasangan Saifuddin Aswari Rivai-Irwansyah diusung Gerindra dan PKS. Nomor urut 3 pasangan Ishak Mekki-Yudha Pratomo Mahyudin diusung Demokrat, PPP dan PBB. Sedangkan nomor urut 4 pasangan Dodi Reza Alex-Giri Ramanda Kiemas diusung Golkar, PDIP, dan PKB.

Hasil hitung cepat LSI Herman-Mawardi meraih 35,54 persen, Dodi-Giri 32,10 persen, Ishak-Yudha 21,01 persen, dan Rivai-Muhammad di urutan buncit 11,35 persen. Hitung cepat Charta Politika Paslon 4 berhasil mengimbangi paslon nomor urut 1 dengan perolehan suara 33,66 persen.

Disusul paslon nomor urut 3 sebanyak 20,27 persen dan terakhir paslon nomor 4 dengan perolehan 12,41 persen. LSI mencatat Paslon nomor 1 mendapatkan suara 36,02 persen, nomor urut 4 dengan 33,05 persen, nomor urut 3 19,68 persen, dan terakhir nomor urut 2 11,25 persen.

Di Riau, PDIP juga kalah. Pasangannya, Arsyadjuliandi Rachman-Suyatno, hanya menempati posisi kedua sebesar 24,35 persen. Hal ini berdasarkan hitung cepat lembaga survei PolMark.

Syamsuar-Edy Nasution sebagai pemenang dengan perolehan 38,17 persen. Di posisi kedua yakni Firdaus-Rusli Effendi 20,23 persen. Posisi buncit ditempati Lukman Edy-Hardianto, yakni 17,25 persen.

Banyak indikasi yang menyebabkan jagoan-jagoan PDIP berguguran. peneliti politik dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas mempunya dua alasan yang membuat PDIP kalah di Pilkada serentak 2019. Pertama, PDIP dianggap salah memilih tokoh. Kedua, PDIP kurang memberikan ruang kepada Jokowi untuk terlibat dalam membuat keputusan partai.

Dalam Pilkada Jabar dan Sumut, pasangan TB Hasanudin-Anton Charliyan dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus dianggap bukan tokoh yang familiar di mata publik.

Untuk kasus Jabar, Ridwan ‘Emil’ Kamil, Wali Kota Bandung, nyaris merapat ke PDIP. Emil bahkan berkunjung ke DPP PDIP pada pekan terakhir menjelang pendaftaran Pilgub Jabar pada Januari 2018. Ia batal diusung PDIP karena Megawati Soekarnoputri lebih memilih TB Hasanudin, seorang kader PDIP.

Begitu juga di Sumut. Menurut Sirojuddin, sosok Djarot Saiful Hidayat belum banyak dikenal masyarakat Sumut karena “cangkokan” dari daerah lain. Ini berbeda dari Edy Rahmayadi, yang dianggap sudah familiar di kalangan masyarakat Sumut karena pernah menjadi Pangdam Bukit Barisan.

Sementara terkait minimnya Jokowi terlibat dalam membuat keputusan partai, kata Sirojuddin, tergambar dari minimnya jabatan strategis yang diduduki Presiden Republik Indonesia tersebut di kepengurusan DPP PDIP.

Sirojuddin berkata naiknya suara PDIP di sejumlah daerah pada Pemilu 2014 erat terkait dengan sosok Jokowi. Dengan kata lain, Jokowi adalah mesin penggerak PDIP saat ini.

“Orang memilih PDIP rupanya bukan karena pengurus partainya. Bukan karena tokoh-tokoh di DPR dan ketua umumnya saja, tapi karena prestasi Jokowi,” kata Sirojuddin.

Sementara Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby menilai, penyebab calon pimpinan dari PDIP kalah lantaran melawan arus dengan mengajukan para tokoh baru. Sebut saja Paslon Pilgub Jabar TB. Hasanudin dan Puti Guntur Soekarno sebagai pendamping Syaifullah Hidayat atau Gus Ipul di Pilkada Jatim.

“PDIP secara mengejutkan mengajukan TB. Hasanudin, seorang tokoh memang anggota DPR dari Jabar tapi relatif belum terkenal. Lalu di Jatim, muncul Puti Guntur sebagai pengganti Azwar Anas, tokoh belum terkenal,” papar Adjie di Kantor LSI Denny JA di kawasan Rawamangun Jakarta Timur, Rabu (27/6).

Sedangkan, di Sumatera Utara, menurut Adjie, PDIP kurang pas memajukan Djarot karena terlalu mengejutkan. Menurut dia, PDIP telah memprediksi hasil ini. “Mereka sudah membaca resiko kalah di daerah-daerah di mana mereka mengajukan calon -calon tidak terduga,” nilai Adjie.

Sehingga, kendati mesin politik PDIP sebagai partai penguasa besar, kondisi inj tidak terlalu berpengaruh pada raihan suara. Sebab, para tokoh tersebut memang baru dan membutuhkan sosialisasi masif di bawah. Belum lagi perbedaan karakteristik masing-masing daerah.

“Daerah-daerah lain berbeda, tidak seperti Jateng, kalau di sana tingkat loyalitas pemilih cukup tinggi.”

Bila melihat pengalaman masa lalu, kekalahan PDIP ini belum tentu akan berpengaruh besar pada perhelatan pilpres mendatang. “Hasil ini menurut kami memang dari pengalaman kita selama ini baik pilkada maupun pilpres tidak berpengaruh pada pileg maupun pilpres,” ucap dia.

Meski begitu, dia memprediksi sebagian partai menggunakan momentum pilkada ini sebagai pemanasan politik jelang kontestasi pemilu Presiden dan pemilu anggota legislatif pada 2019 mendatang.

Sementara PDIP mempunyai analisa tersendiri terkait kekalahannya. Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva K Sundari mengungkapkan kekalahan PDIP karena mengawal tentang data manual. “Jadi data manual itu lambat sekali. Jadi kalau versi quick count memang seperti itu tadi aku lihat juga di analisa beberapa media,” ujar Eva.

Eva mengatakan, faktor ketokohan calon yang diusung hingga tingkat popularitas juga menjadi penyebab utama. “Mungkin karena ketokohan yang tidak pas, strategi kampanye yang tidak pas. Tapi ini by case ya,” katanya.

Meski begitu, Eva memastikan bahwa kekalahan di beberapa provinsi tidak bisa disebut sebagai kelemahan PDIP. Menurutnya, ada beberapa daerah yang memang bukan basis PDIP nemun memperoleh hasil cukup baik.

“Kayak di Jabar yang kita kalah itu kan bukan daerah kita. Pilgub selalu kalah ya di Jatim. Jadi, bukan kemudian ada orang yang menyimpulkan PDIP calonnya rontok semua, tidak bisa seperti itu karena di Jatim kan daerahnya NU tapi PDIP bisa ngangkat segitu artinya lumayan. Dan itu saya yakin nanti kerja di pileg membaik, termasuk di Sumatera,” paparnya.