Perang Buzzer Bakal Warnai Pilpres 2024, Jubir Muda PAN Ingatkan Jaga Kualitas Demokrasi

Pilpres 2024 diprediksi masih akan diwarnai oleh perang buzzer atau pendengung. Fenomena perang buzzer sebelumnya terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019.

“Pilpres 2024 masih akan diwarnai dengan perang siber via buzzer-buzzer, bahkan akan semakin terstruktur, masif, dan sistematis (TSM),” ujar pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin kepada SINDOnews, Minggu (20/2/2022)

Jubir muda Partai Amanat Nasional (PAN) Dimas Prakoso Akbar mengakui perang siber di Pilpres 2024 tidak terhindarkan karena memang saat ini merupakan era digital, tidak semua hal dapat tersampaikan melalui alat peraga kampanye seperti baliho, spanduk, dan lain-lain.

Namun Dimas memastikan PAN tidak pernah dan tidak akan menggunakan jasa buzzer secara langsung maupun tidak langsung.

PAN lebih memilih memberdayakan sumber daya partai dan para simpatisan dalam kontestasi pemilu nanti. Sumber daya bisa berasal dari dalam maupun dari luar partai karena PAN selain memiliki kader juga memiliki simpatisan.

Sumber daya yang dimaksud antara lain keberadaan jubir muda PAN yang berfungsi untuk menyampaikan kritik maupun masukan kepada siapapun berdasarkan data dan fakta serta melalui kajian matang.

Tugasnya selain mengamplifikasi kebijakan dan pencapaian partai juga memberi kritik terhadap tema-tema yang menjadi perhatian publik serta membutuhkan advokasi melalui entitas partai politik.

Selain jubir muda tentunya PAN juga mengandalkan mesin partai seperti aktivasi akun media sosial para kader yang duduk di parlemen maupun tidak.

Terkait kontestasi pilpres, menurut Dimas dengan adanya era digital seperti saat ini maka perang siber antar pendukung calon presiden adalah suatu keniscayaan.

Kampanye dengan gaya tradisional seperti baliho dan spanduk tetap dibutuhkan namun biayanya sangat besar jika ingin mendapatkan jangkauan yang luas, beda halnya dengan dunia siber, biaya tidak terlalu besar namun jangkauannya bisa sangat luas. Masing – masing ada plus minusnya.

Dimas menegaskan yang terpenting dari perang siber adalah konteks dan substansi. Harus menjadi pertarungan gagasan, ide, program, disertai data dan fakta, bukan pertarungan yang menyasar ke persoalan personal, SARA, hingga latar belakang keluarga.

Hal ini sangat penting agar demokrasi kita semakin dewasa dan berkualitas tidak seperti polarisasi yang terjadi pada Pemilu 2019.

”Tugas ini bukan saja menjadi kewajiban dari para calon presiden namun juga kewajiban dari seluruh pendukung, partai pengusung, dan kita semua,” ucapnya. {sindo}