Mampukah Golkar Bertahan di Era Milenial

Mampukah Golkar Bertahan di Era Milenial Radar Aktual

Membicarakan perjalanan politik Indonesia tidak sah tanpa membicarakan Golongan Karya (Golkar). Organisasi ini dapat dikatakan sebagai salah satu organisasi politik tertua yang masih bertahan sejak era Presiden Soekarno. Golkar mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman, mengalami tujuh Presiden RI dan tetap konsisten menjadi Partai papan atas di Indonesia hingga saat ini.

Pemilu 2019 akan menjadi ajang yang berbeda dari sebelumnya, sebagaimana dalam riset Voxpop Center, suara milenial sangat signifikan yakni 40 persen dari total jumlah masyarakat Indonesia.

Golkar adalah partai politik yang kental dengan tradisi otoritarianisme Orde Baru, kedekatan dengan militer dan kekuatan-kekuatan politik masa lalu. Di tengah citra yang masih melekat ini, mampukah Golkar bertahan menjadi partai papan atas di era para milenial ini?

Menengok kembali ke belakang, citra Golkar tidak lepas dari sejarahnya di masa lalu. Golkar dibentuk pada 1964 sebagai mesin politik bagi militer (Angkatan Darat), yang ketika itu sedang menjadi rival politik utama Partai Komunis Indonesia (PKI). Selama era Orde Baru, Golkar menjadi organisasi politik (bukan partai) yang menjadi pilar kekuatan penguasa selama lebih dari 30 tahun.

Pada era Orde Baru, Golkar berdiri kokoh dengan sokongan militer dan birokrasi. Formasi Golkar-militer-birokrasi tersebut didukung sosok pemersatu, Jendral Soeharto yang dalam masa yang panjang itu adalah Presiden Republik Indonesia. Golkar pun menjadi bagian tak terpisahkan dari praktek KKN yang dilakukan para penguasa era Orde Baru.

Pasca Orde Baru tumbang digantikan era reformasi, Golkar menyesuaikan diri dengan mengubah bentuk menjadi Partai Politik,menyesuaikan dengan kebutuhan reformasi. Sebelumnya, menurut buku “Golkar dan Militer” yang ditulis oleh Leo , Golkar pada era Orde Baru merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) namun mengikuti pemilihan umum.

Perubahan bentuk Golkar ini membuatnya bertahan di era reformasi, tidak ikut tumbang bersama Soeharto dan Orde Baru. Bahkan, Golkar tercatat selalu menjadi partai papan atas, yang tidak pernah keluar dari peringkat tiga besar dalam setiap pemilu di era reformasi.

Di tengah kemerosotan pamor Orde Baru dan Soeharto pada pemilu 1999, Partai Golkar masih menempati peringkat kedua dengan perolehan 22,44 persen hanya kalah dari PDIP dengan perolehan 33,74 persen.

Pada pemilu langsung pertama tahun 2004, Golkar bahkan memenangi pemilihan legislatif dengan 21,58 persen. Perolehan suara Partai Golkar pada 2004 ini disusul PDIP di posisi kedua dengan 18,53 persen dan PKB di posisi ketiga dengan 10,57 persen.

Pada pemilu 2009, ketika trend dukungan Partai Politik mengarah ke Partai Demokrat dan penurunan pamor PDIP, Partai Golkar masih konsisten berada di posisi kedua dengan perolehan 14,45 persen.

Partai Demokrat yang ketika itu sedang naik daun tampil sebagai pemenang dengan suara 20,85 persen, di sisi lain pamor PDIP turun dibandingkan pemilu sebelumnya dengan perolehan 14,03 persen di posisi ketiga.

Terakhir, pada pemilu 2014 PDIP Jokowi effect membawa PDIP menjadi partai pemenang pemilu. Ketika itu, PDIP memperoleh 23,68 persen dan Partai Golkar konsisten berada di peringkat kedua dengan 18,43 persen.

Pemilu 2019 akan menjadi awal tantangan baru bagi Golkar. Setelah berhasil melakukan penyesuaian besar pada pergantian rezim pada Pemilu 1999, Partai Golongan Karya kali ini harus menghadapi tantangan baru tepat dua dekade setelahnya.

Tantangan itu adalah kemunculan pemilih-pemilih generasi milenial yang tidak memiliki memori kolektif tentang Orde Baru dan kegemilangan Golkar. Aziz Syamsudin dalam rakernas Partai Golkar menyatakan bahwa merupakan tantangan bagi Partai Golkar untuk merebut suara milenial, karena kebanyakan pemilih Golkar adalah pemilih tua. Aziz mengakui bahwa segmen milenial merupakan kelemahan Partai Golkar.

Siapa sebenarnya Generasi milenial? Terdapat berbagai macam definisi terkait hal ini, namun menurut William Strauss dan Neil Howe, milenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1982-2004.

Menurut pengamat Voxpop Center, Pangi S Chaniago jumlah pemilih milenial berjumlah 40 persen pada 2019. Diantara mereka, terdapat pemilih pemula berusia 17-21 tahun yang artinya, lahir antara tahun 1998-2002 .

Menurut Pangi, para pemilih muda ini memiliki sifat kreatif, percaya diri, dinamis, tidak loyal dan tidak ingin menjadi objek politik. Ia menambahkan bahwa generasi milenial bukanlah generasi yang mau diatur. Mereka menyukai ide-ide kreatif, menyukai transparansi, hidup serba simpel dan memiliki kepekaan audio-visual yang jauh lebih tinggi dari generasi sebelumnya.

Pada sisi lain, Golongan Karya masih belum dapat menghilangkan citra partai tua nya. Masih banyak kader-kader Golkar (dan Partai politik lainnya) yang terandung kasus korupsi. Citra seperti ini tentunya akan dijauhi oleh milenial. Pada April 2018, Survey Cyrus Network menyatakan bahwa Partai Golkar merupakan Partai terkorup di Indonesia.

Managing director Cyrus Network, Eko Dafid Alfianto pada 14 April 2018 mengatakan bahwa berdasarkan survey lembaga nya, Partai Golkar memiliki citra sebagai Partai terkorup menurut 25 persen responden.

Menurut Eko, kemungkinan besar citra sebagai partai terkorup inilah yang mengakibatkan elektabilitas Partai Golkar tidak lagi terdepan. Padahal dengan mendukung Jokowi, seharusnya elektabilitas Partai Golkar naik.

Pada Juli 2018 lalu, Bawaslu menyatakan bahwa Golkar bersama dengan Gerindra menjadi Partai terbanyak yang mencalonkan caleg DPRD mantan Narapidana korupsi. Terdapat 25 kader Golkar yang terdaftar diketahui eks narapidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 3 di antaranya adalah caleg DPRD Provinsi, 18 lainnya caleg DPRD Kabupaten, dan 4 caleg di DPRD Kota.

Selain itu, kasus korupsi Setya Novanto dan kasus PLTU Riau baru-baru ini yang mengungkap keterlibatan Idrus Marham, membuat elektabilitas Golkar melorot.

Penurunan elektabilitas Golkar dibuktikan dengan survey LSI Denny JA yang menempatkan Partai Golkar pada posisi ketiga dengan 11,3 persen di bawah PDIP dan Gerindra, yang masing-masing memperoleh 24,8 persen dan 13,1 persen. Survey tersebut bukanlah survey satu-satunya.

Pada Agustus 2018 lalu, survey elektabilitas Partai Politik oleh Alvara Research Center menempatkan Partai Golkar di posisi ketiga dengan perolehan 7,8 persen. Golkar masih kalah dibandingkan dua Partai besar lainnya yakni PDIP dan Gerindra, masing-masing memperoleh 26,1 persen dan 18,7 persen.

Untuk memperbaiki citra Golkar ini, tokoh lama seperti Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono angkat bicara. Agung sampai meminta Dewan Pimpinan Pusat Partai (DPP) Partai Golkar mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang eks narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif. Pernyataan tersebut disampaikan Agung pada 4 September 2018 lalu.

Agung bahkan menegaskan kepada KPU bahwa sikapnya konsisten dalam mendukung penghapusan para bacaleg mantan napi korupsi. Ia menyatakan bahwa siapapun yang pernah tersandung kasus korupsi sebaiknya mundur sebagai fungsionaris Partai Golkar, seperti yang dicontohkan Idrus Marham dalam kasus PLTU Riau beberapa waktu lalu. Agung menyatakan bahwa Golkar harus berkomitmen menciptakan Partai yang bersih dan taat sangsi.

Tidak hanya Partai Golkar, Partai-partai lama seperti PPP dan PDIP yang identik dengan generasi lama juga berupaya keras menggaet generasi milenial. Partai Golkar sendiri mengupayakan perubahan citra melalui ketua umum barunya, Airlangga Hartarto pasca terpilih menggantikan Setya Novanto pada awal 2018.

Airlangga tidak saja mengupayakan perubahan citra golkar menjadi Partai yang lebih dekat dengan anak muda, tetapi juga mengupayakan perubahan cara kerja Golkar agar lebih lebih transparan, sesuai prosedur serta berkomitmen mendukung pemberantasan korupsi.

Kegiatan-kegiatan sayap pemuda Golkar, seperti Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) juga diarahkan untuk lebih mengikuti kegiatan anak muda. Mereka mencanangkan program-program seperti talkshow, diskusi, kopi darat antar-anggota hingga kegiatan fundraising dan berbagai bantuan sosial. Golkar juga mencoba memperkuat media sosial dengan mengoptimalkan instagram yang memperkuat citra milenial Golkar.

Berbagai video-video kegiatan Golkar yang sebelumnya sangat formal dikemas dengan gaya casual anak muda untuk menggaet suara milenial. Bahkan, sempat ada wacana untuk mengganti logo sayap anak muda Partai Golkar tersebut yang sebelumnya dinilai terlalu “lavish” atau boros secara estetik, menjadi lebih simpel namun elegan.

Hal-hal seperti itu tentunya penting untuk menarik simpati generasi milenial yang sangat peka terhadap estetika visual. Cukupkah upaya-upaya Golkar ini mengubah citra sebagai “partai lama” menjadi partai yang dekat dengan anak muda? Kita buktikan 2019 nanti.