News  

The Power Of Emak-Emak Yang Kontroversial

The Power Of Emak-Emak Yang Kontroversial Radar Aktual

Istilah ‘The Power of Emak-emak’ menimbulkan kontroversi. Salah satu pemicunya adalah protes dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto istilah mengatakan perempuan Indonesia punya konsep ibu bangsa sejak tahun 1935. Dia pun tak setuju penggunaan istilah emak-emak.

“Kami tidak mau kalau kita, perempuan Indonesia yang mempunyai konsep Ibu Bangsa sejak tahun 1935, sebelum kemerdekaan, kalau dibilang emak-emak,” ujar Giwo, yang disambut gemuruh tepuk tangan para wanita dalam acara General Assembly International Council of Women ke-35 di Yogyakarta, Jumat (14/9/2018) yang juga dihadiri dan dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Kami tidak setuju! Tidak ada The Power of Emak-emak. Yang ada The Power of Ibu Bangsa,” lanjutnya.

Istilah The Power of Emak-emak sempat disebut oleh bakal cawapres Sandiaga Uno dalam beberapa kesempatan. Misalnya saja saat dia masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Sandiaga saat berbicara soal rotasi jabatan di Pemprov DKI.

Kemudian, setelah mundur dari Wagub dan mendaftar sebagai cawapres, Sandiaga kembali bicara soal ’emak-emak’. Dia menyebut partai emak-emak di gedung KPU.

“Kita nggak banyak, data emak-emak yang kita pakai, data milenial yang kita pakai bahwa memang lapangan kerja susah didapat, dan harga tinggi itu jadi catatan kita dan data lainnya merujuk. Kita nggak mau melakukan manipulasi dari data tersebut,” ucap Sandi di Jl Purnawarman, Jakarta Selatan, Selasa (14/8).

Ketidaksetujuan Kowani pun ditanggapi partai politik. Misalnya, Gerindra yang menyebut protes penggunaan istilah emak-emak itu wajar saja disampaikan Kowani karena keberadaan Jokowi di acara tersebut.

“Ya, kan dalam berdemokrasi orang sepakat dan nggak sepakat kan biasa aja. Apalagi kalau pidato di depan Pak Jokowi, wajar dong, menolak the power of emak-emak,” kata Anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra Andre Rosiade kepada detikcom, Sabtu (15/9) malam.

Selanjutnya, PKS punya pandangan lain soal istilah emak-emak. Menurut PKS, penggunaan panggilan khusus kepada sosok ibu seperti emak, dan lainnya adalah bentuk kedekatan dan kecintaan.

“Emak, si Mbok, Ambu bukan sebutan yang merendahkan. Justru sebutan karena kedekatan dan kecintaan,” kata Ketua DPP PKS, Ledia Hanifa, saat dihubungi, Minggu (16/9).

PKB, yang merupakan salah satu pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, menilai protes itu disampaikan Kowani akibat penggunaan ’emak-emak’ kerap dikonotasikan negatif. Pihaknya pun memilih menggunakan istilah perempuan.

“Sebutan emak itu sebutan yang juga ada di sebagian masyarakat kita. Sebagian masyarakat Jawa juga pakai emak. Problemnya, emak yang belakangan dikonotasikan sebagai perempuan yang melanggar aturan, yang konotasinya negatif,” kata Ketua DPP PKB, Ida Fauziyah.

Lain lagi dengan PDIP. Partai yang dipimpin Megawai Soekarnoputri ini mengatakan istilah emak-emak awalnya dipopulerkan oleh para pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

“Waktu itu kelompok pro Ahok membentuk ‘the power of emak-emak’. Kenapa pakai ’emak-emak’? Karena istilah itu sangat Jakarta banget. Tapi kalau istilah ini dibawa ke Madura atau Kalimantan kan orang akan bingung,” kata Politikus PDIP, Eva Kusuma Sundari.

Sementara itu, NasDem menyarankan istilah lain untuk menggantikan ’emak-emak’. Menurut NasDem, penggunaan istilah ‘mama-mama lebih tepat.

“Haha sebaiknya kita sebut ‘ibu-ibu’ atau ‘mama-mama’ saja,” kata Ketua DPP NasDem Irma Suryani saat dihubungi.

Golkar juga ikut bicara soal polemik ini. Menurut Golkar, yang terpenting ’emak-emak’ tak cuma jadi objek politisasi.

“Jika ada kelompok ibu-ibu yang lebih senang dipanggil emak-emak menurut saya juga tidak masalah. Ini masalah rasa bahasa saja. Yang harus dihindari adalah adanya pengelompokan ibu-ibu untuk kemudian digunakan sebagai objek politisasi,” ucap politikus Golkar, Meutya Hafid.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ’emak-emak’ itu sendiri?

“Emak-emak sudah lama dan bermakna peyoratif (perubahan makna yang mengakibatkan sebuah ungkapan menggambarkan sesuatu yang lebih tidak enak) yang mengacu pada perempuan. Peyoratif karena perempuan dianggap tidak bisa apa-apa kecuali jadi emak,” kata Guru besar linguistik Universitas Indonesia (UI), Prof Rahayu Surtiati kepada detikcom, Minggu (16/9/2018).

Dia kemudian mengatakan saat ini istilah ‘the power of emak-emak’ digunakan untuk menunjukkan makhluk yang dianggap tidak bisa apa-apa ternyata berdaya, atau semacam ‘people power’. Hal ini menurutnya sempat terjadi di Filipina ketika mendukung Cory Aquino (mantan presiden Filipina).

“Di Filipina pernah digunakan people power yang mendukung Cory Aquino. Maka, the power of emak-emak digunakan sekarang untuk menunjukkan makhluk yang dianggap tak bisa apa-apa ternyata berdaya. Sama dengan rakyat yang selalu diabaikan kekuatannya,” ucapnya.