Tekno  

Kenapa Algoritma Media Sosial Justru Jadi Musuh Para Kreator?

Sejak 2018, Instagram terus menerus mengubah acak algoritmanya.

Sebagian dari pengguna Instagram merasa bingung karena mendapat unggahan teman yang tidak aktual namun masih muncul di laman Newsfeed teratas.

Selain itu, algoritma Instagram hanya mengekspose ke 10% jumlah followers. Instagram yang awalnya berupa komunitas, mulai berubah menjadi platform bisnis.

Instagram melihat bahwa banyak kreators yang dapat menghasilkan uang dari Instagram.

Inilah yang disebut dengan creators economy. Kreator atau pencipta konten memiliki kesempatan untuk menjadikan profesi content creator sebagai sebuah karir. Bentuknya bisa macam-macam.

Ada brand collaboration (endorsement atau product collaboration), menjadi pembicara di workshop, punya produk yang bisa dijual ke audience-nya (merchandise), dan lainnya.

Ketika kreator bisa mendapat penghasilan dari Instagram, lalu instagram dapat apa? Maka, Instagram mulai mengutak-atik algoritmanya. Juga mengenalkan iklan sebagai sumber penghasilan.

Dengan algoritma yang sering berubah-ubah, kreator semakin kesulitan meningkatkan awareness dan engagementnya. Ini karena Instagram ingin mendorong kreator menggunakan ads/iklan agar konten dapat dilihat oleh lebih banyak audience. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kreator baru.

Di satu sisi, banyak kreators yang ingin kembali ke algoritma chronological, dimana platformnya lebih berfokus kepada pertumbuhan kreator. Instagram sendiri berusaha mendengar suara hati kreator, sehingga memunculkan dua fitur baru, yaitu Favorites dan Followings.

Fitur Favorites menampilkan konten terbaru dari akun yang Anda pilih atau difavoritkan, seperti teman-teman terdekat atau pembuat konten favorit Anda.

Postingan dari akun di Favorites, akan muncul lebih tinggi di Feed beranda Anda. Sedangkan fitur Followings menunjukkan postingan dari orang yang Anda ikuti.

Favorite dan Followings akan menampilkan postingan dalam urutan kronologis, sehingga Anda dapat dengan cepat mengikuti postingan terbaru.

Di platform Instagram maupun Twitter, kreator lama mendapatkan keuntungan karena sudah lebih dulu membangun tribe-nya. Lalu bagaimana dengan nasib kreator baru? Apakah mereka bisa memiliki kesempatan yang sama? Instagram pun berubah dari square photo format menjadi video format kemudian disusul dengan munculnya Reels.

Kreator yang terbiasa dengan format foto, harus mulai beradaptasi dengan format video, seperti TikTok, YouTube Shorts, atau SnackVideo.

Terlebih lagi setahun belakangan pertumbuhan TikTok sebagai content distribution platform melaju sangat cepat.

Dengan kemunculan TikTok, menjadi ancaman tersendiri bagi platform Instagram dan YouTube, karena mengubah kebiasaan audience untuk beralih dari melihat content berupa foto/video panjang menjadi audience yang mengonsumsi konten video pendek dengan durasi maksimal 1 menit.

Dengan kata lain, konten-konten berupa video pendek ini sangat digandrungi oleh masyarakat.

Dengan kebiasaan baru menikmati video-video pendek ini, kreator juga diharapkan dapat terus beradaptasi dengan beberapa sosial media berbasis video, seperti TikTok dan SnackVideo.

Penting bagi kreator untuk mendistribusikan kontennya ke berbagai platform media sosial yang ada (repurposing). Hal ini dapat mendongkrak visibility mereka dibanding hanya mengandalkan satu platform saja.

Dengan begitu, hasil karya kreator dapat menjangkau target audience yang lebih beragam. Namun, tantangan baru yang harus dihadapi adalah menyesuaikan tipe konten di masing-masing platform.

Beda Instagram, TikTok, YouTube, beda pula SnackVideo. Kreator butuh waktu untuk mengeksplor dan mempelajari bagaimana user berinteraksi di platform media sosial tersebut.(Sumber)