News  

KPA: Penunjukan Hadi Tjahjanto Jadi Menteri ATR Berpotensi Konflik Agraria

Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai pergantian Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan (BPN) dari Sofyan Djalil menjadi Hadi Tjahjanto berpotensi melahirkan konflik kepentingan dalam penyelesaian sengketa agraria.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika beralasan hal itu karena Hadi Tjahjanto merupakan seorang yang berlatar belakang militer.

“Catatan KPA, TNI merupakan pihak yang seringkali berhadapan dengan masyarakat di wilayah konflik, baik konflik secara langsung maupun sebagai pelaku kekerasan dalam penanganan konflik agraria,” kata Dewi dalam keterangan tertulis, Kamis (16/6).

Dewi mencatat, dari 532 Lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang telah diusulkan KPA kepada pemerintah, 14 di antaranya merupakan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan klaim TNI.

Beberapa contohnya meliputi konflik agraria di Urut Sewu, Kebumen, Marafenfen, Maluku, dan konflik TNI dengan masyarakat Bara-baraya, Makassar.

“Selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, TNI merupakan aktor yang paling sering melakukan tindak kekerasan di wilayah konflik, bersama aparat kepolisian, Satpol PP dan pihak keamanan perusahaan,” tegasnya.

Dia mencatat selama periode tersebut, TNI tercatat sebanyak 69 kali melakukan tindakan kekerasan dan penganiayaan dalam upaya penanganan konflik.

“Pada konteks penyelesaian konflik dan redistribusi tanah, penetapan subjek (penerima manfaat) justru berpotensi akan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan TNI,” kata dia.

Dewi mencontohkan seperti kasus yang terjadi di Banten, di mana Menteri ATR/BPN memberikan redistribusi tanah eks HGU kepada Kopassus. Padahal subjek utama reforma agraria adalah petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan.

Sinyal Pendekatan Militerisme untuk Lahan IKN
Dewi mengatakan, pesan Jokowi kepada Hadi Tjahjanto untuk menyelesaikan persoalan lahan di IKN memberikan sinyal bahwa pemerintah akan menggunakan pendekatan refresif dan militerisme dalam upaya pengadaan tanah bagi pembangunan.

“Pendekatan-pendekatan semacam itu selalu digunakan oleh pemerintah seperti contoh pembangunan di Wadas dan Waduk Lambo yang terjadi baru-baru ini.

Pemerintah seolah lupa bahwa penolakan dan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat akibatnya ketidakjelasan rencana proyek,” kata dia.

Menurutnya cara-cara seperti itu kental dengan pendekatan represif, tidak transparan dan partisipatif yang berakibat pada perampasan-perampasan tanah masyarakat

.
“Alih-alih menyelesaikan masalah, penunjukan Menteri ATR/BPN dari kalangan militer justru berpotensi meningkatkan pendekatan refresif di wilayah-wilayah konflik agraria,” pungkasnya.(Sumber)