Ketum Airlangga Nyapres, So What Gitu Loh!

Istana Negara tengah pekan ini begitu riuh. Para tokoh mondar-mandir. Para tokoh dan atau pejabat tidak memberi komentar kepada awak media. Kalau toh ada, komentarnya biasa saja.

Memang desas-desus yang berhembus sepekan terakhir ini adalah soal kabinet bakal dirombak. Beberapa nama santer disebut akan direshuffle hingga nama pendatang baru di kabinet Jokowi-Maruf.
Broadcast nama-nama menteri yang diganti dan pengganti dengan ilmu cocokologi mengalir deras di berbagai grup wa, tiada henti. Berhari-hari dan berulang.

Desas-desus pergantian kabinet pun terjawab sudah. Rabu Pahing (15/6) yang lalu, Presiden Jokowi benar mengganti dua menterinya (Menteri Perdagangan-Menteri ATR/BPN), dan mengisi tiga jabatan wakil menteri (Wamen ATR/BPN, Wamendagri, Wamenaker).

Jabatan Menteri Perdagangan dari M Lutfi beralih ke Zulkifli Hasan. Lalu Menteri ATR/BPN dari Sofyan Djalil beralih ke Hadi Tjahjanto. Ada juga tiga wamen, yakni Raja Juli Antoni sebagai Wamen ATR/BPN, Wempi Wetipo sebagai Wamendagri, dan Afriansyah Noor sebagai Wamenaker.

Efek kejutnya adalah masuknya Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu dalam kabinet Jokowi-Maruf Amin.

Zulkifli Hasan menyusul dua koleganya dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) — koalisi bentukan Partai Golkar, PAN, dan PPP — yakni Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa masuk dalam jajaran kabinet.

Reshuffle kabinet ini tentunya punya bobot penting bagi KIB. Karena secara politis menguatkan posisi KIB. Dimana tiga ketua umum parpol anggota KIB semuanya duduk di dalam kabinet Jokowi-Maruf Amin.

Artinya, mereka punya akses terhadap persoalan-persoalan pemerintahan maupun kenegaraan. Terlebih penting lagi, ketiganya terbebas dari gangguan internal partai masing-masing.

Kehadiran tiga tokoh KIB dalam kabinet ini sekaligus mematahkan anggapan miring bahwa KIB tidak ‘direstui’ Presiden Jokowi. Mengingat pembentukan KIB dilakukan saat Presiden Jokowi berkunjung ke Amerika Serikat, beberapa waktu lalu.

Kini, ‘restu’ Jokowi sangat nampak jelas dengan masuknya Zulkifli Hasan dalam kabinet. Bukan saja merestui tapi Presiden Jokowi secara tidak langsung memperkuat posisi KIB. Ketiga Ketua Umum parpol anggota KIB memiliki posisi kuat dalam mengelola internal partai masing-masing untuk mempersiapkan diri pada Pilpres dan Pileg 2024.

Bagi saya sebagai kader Partai Golkar, masuknya Zulkifli Hasan dalam jajaran kabinet, semakin meneguhkan posisi Airlangga Hartarto sebagai tokoh sentral KIB karena suara Partai Glkar paling besar sekaligus sebagai Menko Perkonomian.

Sebelumnya, Menko Airlangga digempur melalui broadcast mesin what’s ap bakal kena reshuffle seiring dengan terbentuknya KIB yang katanya tak sepengetahuan apalagi “restu” Presiden Jokowi.

Isunya digoreng sedemikian rupa agar Airlangga dicopot. Tujuannya jelas, mendorong Munaslub. Penggoreng lupa, sebagai Menko tentu Airlangga memiliki akses langsung untuk melapor kepada Presiden Jokowi.

Dengan melengkapi kabinet dengan Ketum PAN, Presiden Jokowi secara de facto bisa ikut memberikan saran dan pertimbangan kepada KIB, termasuk tentunya dalam menentukan calon presiden yang kelak bakal diusung KIB. Minimal, KIB akan melaporkan setiap kesepakatan yang diambil dengan musyawarah dan mufakat kepada Presiden.

Kader organik parpol

Menarik. Belum lama ini Airlangga memberikan pernyataan yang menunjukkan posisinya sebagai capres Partai Golkar hasil keputusan Munas dan Rapimnas partai Golkar. Dia menepis anggapan para pengamat yang mengatakan KIB sebagai kendaraan bagi Garnjar Pranowo!

Airlangga secara terang benderang menyatakan capres dari KIB, bukan kader parpol lain! Tapi kader organik parpol anggota KIB. Artinya KIB tidak akan mengusung kader hasil mencangkok dan atau membajak kader parpol lain.

Pernyataan Airlangga ini sangat baik bagi iklim demokrasi. Bagaimana pun, proses pemilihan kepemimpinan nasional haruslah dari partai politik. Bukan produksi lembaga survey. Mengingat Parpol-lah yang secara UU yang memiliki hak mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.

Lembaga survey terus memproduksi figur-figur yang diklaimnya populer di mata respondennya. Publikasi hasil survey tokoh yang diproduksi lembaga survei, seolah-olah ingin mendikte partai politik agar memilih figur hasil lembaga survei. Atas nama elektabilitas dan popularitas/tingkat keterkenalan, haruskah parpol bertekuk lutut pada produk lembaga survey? Tidak!

Bagi ketua umum parpol langkah paling elegan, ya harus mencalonkan diri sebagai calon presiden untuk menguji kinerja dan gagasannya dalam membangun bangsa. Soal hasil, kalah menang adalah hal biasa dalam sebuah kontestasi. Yang utama adalah ikut bertanding.

Buat relawan dan lembaga-lembaga survei yang ngebet mendukung capres tertentu. Ada baiknya membuat partai politik. Biar tahu bagaimana beratnya mengurus parpol. Jangan tidak mau nanam padi, tapi mau manen. Itu seperti pribahasa kerbau punya susu, sapi punya nama.

Ketua Umum parpol yang bersusah payah bekerja untuk partainya, sudah selayaknya untuk ikut berkontestasi. Soal hasil akhir, itu soal kemudian.

Jadi Ketum Airlangga nyapres, so what gitu loh. Karena memang hak Airlangga, dan lagi keputusan Rapimnas dan Munas Partai Golkar memutuskan dirinya sebagai calon presiden.

Terbayang nanti saat kampanye Pilpres, wajah Airlangga dan atribut Partai Golkar berkibar di mana-mana. Liputan media yang masif tiada henti. Tentunya akan berdampak pula ada elektoral Partai Golkar.

Oleh: Lalu Mara Satriawangsa*

*Penulis politisi Partai Golkar {golkarpedia}