News  

Usai Gugatan PT Tak Diterima MK, Pimpinan DPD RI: Sumber Masalah, Oligarki Politik

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan DPD RI terkait presidential threshold (PT) 20 persen.

Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin mengatakan upaya gugatan tersebut merupakan wujud tanggung jawab moral DPD sebagai lembaga legislatif terhadap masa depan demokrasi.

Ia mengatakan berdasarkan kajian DPD RI, PT 20 persen menjadi sumber masalah demokrasi selama ini.

“Pemilu Presiden dengan ketentuan ambang batas 20 persen dukungan partai politik merupakan sumber masalah utama praktik rent seeking dalam pemerintahan dan perilaku oligarki politik akibat mahalnya mahar politik yang dikeluarkan oleh calon presiden untuk mendapatkan dukungan partai politik,” kata Sultan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/7).

Gugatan ini diajukan bersama dengan para anggota DPD lain. Terdiri dari La Nyalla Mattalitti; Nono Sampono; Mahyudin; dan Sultan Baktiar Najamudin.

Namun, Gugatan anggota DPD dinilai tidak punya legal standing, Sebab, DPD merupakan lembaga negara yang dinilai MK tak memiliki kerugian hak konstitusional terkait UU Pemilu dalam hal ini presidential threshold. Pencalonan presiden dan wapres hanya bisa diajukan oleh partai politik.

Atas pertimbangan itu, gugatan tidak diterima MK. Namun Sultan tak sependapat dengan pernyataan hakim MK yang menyatakan DPD tidak memiliki legal standing untuk menggugat ketentuan PT 20 persen yang tercantum dalam UU nomor 7 tahun 2017.

Sultan menyebut pernyataan tersebut sangat melukai DPD sebagai lembaga legislatif dan tentunya sangat mengganggu hubungan antar lembaga negara.

“Dengan pernyataan hukumnya yang fatal tersebut, MK seolah tidak mengakui eksistensi atau keberadaan lembaga DPD RI dan mengaburkan amanah konstitusi yang memberikan kewenangan legislasi kepada lembaga DPD RI,” kata dia.

Menurut Sultan, dalil MK yang menyebutkan bahwa PT 20 persen merupakan upaya konstitusional dalam memperkuat sistem presidensial dalam sistem demokrasi Indonesia merupakan argumentasi yang tidak berdasar dan cenderung membiarkan status quo yang disebut banyak pakar sebagai demokrasi cacat Indonesia saat ini.

“Demokrasi yang dibangun dengan mekanisme politik koalisional secara nyata telah menimbulkan ketimpangan yang serius bagi demokrasi presidensial. Masuknya ketum parpol dalam kabinet pemerintah telah mengakibatkan kinerja anggota parpol yang dipercayakan rakyat di DPR kehilangan kemerdekaan politiknya,” sebutnya.

Meski begitu, ia menegaskan DPD RI sangat menghormati keberadaan parpol dan posisi DPR sebagai lembaga politik yang diberikan kewenangan lebih dalam proses legislasi. Sama seperti DPD menghormati keberadaan konstitusi UUD 1945.

“Apa yang kami gugat merupakan murni sebagai upaya menyampaikan aspirasi masyarakat daerah dan civil society lainnya. Dengan logika hukum open legal policy, MK seolah menegaskan bahwa hanya sembilan hakim MK plus sembilan ketua partai politik di DPR yang berhak sepenuhnya atas aturan main Pemilu di negara demokrasi konstitusional ini,” kata dia.

Lebih lanjut, ia menambahkan pada prinsipnya, DPD RI tidak ingin landscape demokrasi Indonesia hanya diatur oleh hegemoni kekuatan politik atau partai politik tertentu. Upaya memaksakan ketentuan PT 20 ke dalam sistem Pemilu 2024 sangat mengganggu nalar politik publik.

Gugatan DPD itu dilayangkan bersama dengan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra. Gugatan Yusril dinilai MK mempunyai kedudukan hukum.

Namun, MK menilai ketentuan presidential threshold ialah konstitusional. Sehingga, gugatan. Yusril ditolak.(Sumber)