News  

Akhir Kisah Bandar Kripto: Dulu Kelola Rp.150 Triliun Kini Nol Tak Bersisa

Three Arrows Capital, menjadi salah satu hedge fund kripto ternama di dunia. Mereka mengelola aset US$10 miliar atau setara Rp 150 triliun (asumsi Rp 15.000/US$).

Namun kini perusahaan yang dikenal dengan nama panggilan 3AC itu sedang menghadapi kebangkrutan karena anjloknya harga kripto, strategi perdagangan yang sangat berisiko, dan kebijakan penghapusan aset bermasalah dan membuatnya tidak dapat membayar kembali pemberi pinjaman (lender).

Masalah ini bisa berdampak luas pada perusahaan lainnya. 3AC memiliki daftar rekanan yang banyak. Dengan pasar kripto turun lebih dari US$ 1 triliun sejak April lalu, yang dipimpin penurunan Bitcoin dan Ethereum, investor dengan taruhan terkonsentrasi pada perusahaan seperti 3AC bakal menderita.

Lembaga pertukaran kripto, Blockchain.com dilaporkan memiliki pinjaman US$270 juta ke 3AC. Pialang aset digital Voyager Digital mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 setelah 3AC tidak dapat membayar kembali dana sekitar US$670 juta yang dipinjamnya dari perusahaan.

Pemberi pinjaman kripto yang berbasis di AS, Genesis dan BlockFi, platform turunan kripto BitMEX, dan pertukaran kripto FTX juga mengalami kerugian.

“Kredit sedang dihancurkan dan ditarik, standar penjaminan diperketat, solvabilitas sedang diuji, jadi semua orang menarik likuiditas dari pemberi pinjaman kripto,” kata Nic Carter, direktur Castle Island Ventures, seperti dikutip dari CNBC International, Jumat (15/7/2022).

Strategi Three Arrows memang cukup berbahaya. Mereka melibatkan peminjaman uang dari banyak perusahaan dan kemudian menginvestasikannya ke proyek kripto lainnya, yang seringkali masih baru dan belum teruji. Firma ini padahal telah ada selama satu dekade (10 tahun).

“3AC seharusnya menjadi bijaksana dalam investasi kripto,” ungkap Nik Bhatia, seorang profesor keuangan dan ekonomi bisnis di University of Southern California.

Kejatuhan Three Arrows Capital dapat ditelusuri ke runtuhnya harga terraUSD (UST) pada bulan Mei, yang telah menjadi salah satu proyek stablecoin yang dipatok dolar AS yang paling populer.

Stabilitas UST bergantung pada serangkaian kode yang kompleks, dengan sedikit uang tunai untuk mendukung pengaturan, meskipun ada janji bahwa pengembangnya akan mempertahankan nilainya terlepas dari volatilitas di pasar kripto yang lebih luas. Namun nyata harga TerraUSD anjlok bahkan di bawah US$1 per koin.

“Koreksi aset berisiko ditambah dengan likuiditas yang lebih sedikit telah mengekspos proyek-proyek yang menjanjikan imbal hasil tinggi tidak berkelanjutan, yang mengakibatkan keruntuhan harga, seperti UST,” ujar Alkesh Shah, ahli strategi aset digital dan kripto global di Bank of America.

Kejatuhan harga TerraUSDT dan token saudara Terra LUNA telah membuat investor rugi US$60 miliar.

“Keruntuhan terraUSD dan luna adalah titik nol,” ujar Bhatia dari USC. Dia menggambarkan kehancuran itu sebagai domino pertama yang jatuh dalam “rantai panjang dan mimpi buruk dari pengaruh dan penipuan”.

3AC mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa mereka telah menginvestasikan US$200 juta di Terra LUNA. Laporan industri lainnya mengatakan eksposur dana itu sekitar US$560 juta. Apa pun kerugiannya, investasi itu menjadi hampir tidak berharga ketika proyek stablecoin gagal.

Ledakan UST mengguncang kepercayaan di sektor ini dan mempercepat penurunan harga kripto yang sudah berlangsung karena investor melihat adanya peningkatan risiko investasi.

Pemberi pinjaman 3AC meminta sebagian uang mereka kembali plus margin call, tetapi uang itu tidak ada. Banyak rekanan perusahaan, tidak dapat memenuhi permintaan dari investor mereka, termasuk pemegang ritel yang telah dijanjikan imbal hasil tahunan sebesar 20%.

“Bukan hanya tidak melakukan hedging, tapi juga menguapkan miliaran dana kreditur,” kata Bhatia.(Sumber)