News  

Waspada! Pemerintah Pangkas Komoditas Pupuk Subsidi, Harga Pangan Bakal Selangit

Pemerintah memangkas jumlah komoditas yang diberikan pupuk subsidi dari 70 menjadi 9 komoditas utama saja. Komoditas tersebut terdiri dari tiga subsektor, yakni tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan.

Subsektor tanaman pangan terdiri dari padi, jagung, dan kedelai. Subsektor hortikultura terdiri dari cabai, bawang merah, dan bawang putih. Kemudian subsektor perkebunan terdiri dari tebu rakyat, kakao, dan kopi.

Penetapan komoditas ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Aturan ini diundangkan mulai 8 Juli 2022 lalu.

Pemilihan kesembilan komoditas tersebut karena merupakan bahan pokok strategis. Sembilan komoditas ini diharapkan bisa mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang lebih baik di masa depan.

Selain memangkas jumlah komoditas, pemerintah juga mengurangi jenis pupuk yang mendapatkan subsidi. Kini pupuk yang disubsidi hanya dua jenis dari semula berjumlah sekitar tujuh jenis.

Dalam Permentan tadi, dua jenis pupuk yang disubsidi adalah urea dan Nitrogen, Phosphat, Kalium (NPK).

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Ali Jamil menjelaskan pembatasan subsidi dilakukan karena harga pupuk global yang mengalami kenaikan. Kenaikan harga pupuk tak lepas dari dari kenaikan harga energi baik minyak maupun gas.

“Bank Dunia mengumumkan kenaikan harga pupuk sudah mencapai 30 persen di 2022. Melihat kondisi tersebut, kita bisa menyimpulkan perekonomian dunia sedang menghadapi kondisi yang sangat luar biasa.

Situasi ini menuntut kita terus berbenah dan meningkatkan optimalisasi pupuk bersubsidi agar tepat guna dan sasaran,” ujar Ali dalam konferensi pers, Jumat (15/7).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, pupuk yang disubsidi sebelumnya adalah pupuk organik, urea, Super Phospat kandungan P20s 36 persen (SP-36), Zvavelvuure Ammonium (ZA), dan NPK.

Pembatasan subsidi ini juga dilakukan karena pemerintah tidak mampu menyediakan pupuk subsidi sebanyak yang ditentukan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK).

Dalam RDKK kebutuhan pupuk mencapai 24 juta ton, namun pemerintah hanya mampu memberikan subsidi 9 ton saja.

Maka dari itu, pemerintah memilih memberikan subsidi untuk pupuk yang paling bisa mendongkrak produktivitas yaitu urea dan NPK.

Di sisi lain, kebijakan ini diberlakukan di tengah kondisi harga pangan yang melambung dan ancaman krisis pangan akibat terganggunya rantai pasok akibat perang.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan pemerintah itu kurang tepat diterapkan saat ini.

Menurutnya, jika tujuan pemerintah adalah untuk memperkuat ketahanan pangan, justru yang perlu diperkuat adalah tambahan dari subsidi pupuk itu sendiri.

Pasalnya, saat ini harga gas dunia sedang naik. Artinya, dengan dana subsidi pupuk yang mencapai Rp25,3 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), volume pupuk akan berkurang akibat harganya yang juga naik.

“Karena dengan alokasi subsidi sebesar itu, otomatis volumenya berkurang karena biaya gas meningkat. Kemudian, yang diterima petani semakin kecil,” ujar Tauhid kepada CNNIndonesia.com.

Sebagai catatan, alokasi anggaran subsidi pupuk sebesar Rp25,3 triliun itu turun 13,06 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp29,1 triliun.

Tauhid menuturkan pemerintah juga perlu benar-benar mengkaji lagi, apakah pemotongan 70 komoditas menjadi 9 itu sudah tepat dan memang strategis. Ia mengingatkan jika hal ini salah dilakukan, risiko kekurangan pangan dan meningkatnya impor semakin nyata.

Bagaimana tidak, sambung Tauhid, harga komoditas yang tidak dapat subsidi pupuk bisa melambung, harga di dalam negeri kian mahal dan impor menjadi pilihan. Akhirnya, produk dalam negeri kalah saing.

“Strategis ukurannya apa dulu, dikaji lagi strategisnya dalam artian apa? yang impor juga harus dipikirkan, kalau strategis itu katakanlah yang dibiarkan tanpa bantuan pemerintah masih oke.

Tapi kalau yang masih kita berjuang dengan produk impor harusnya didukung bagaimana agar bisa bersaing,” kata dia(Sumber)