Ketua Bappilu Demokrat, Andi Arief Kembalikan Uang Rp.50 Juta Dari Bupati PPU ke KPK

Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Andi Arief (tengah) berjalan meninggalkan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (11/4/2022). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO

Ketua Bappilu Partai Demokrat, Andi Arief, mengaku telah mengembalikan uang yang diterima dari Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Abdul Gafur Mas’ud, ke KPK. Pengembalian itu atas inisiatif sendiri.

“Atas kesadaran hukum, kemarin saya menunaikan janji pada hukum dan penyidik mengembalikan uang ke rek [rekening] KPK,” kata Andi Arief dikutip dari akun Twitter pribadinya, Sabtu (23/7).

Pada saat bersaksi pada persidangan Abdul Gafur di Pengadilan Tipikor Samarinda, Andi Arief mengaku pernah mendapatkan uang Rp 50 juta dari Bupati PPU tersebut.

Uang tersebut diakuinya diperuntukkan bagi kader Partai Demokrat yang tengah terdampak COVID-19. Andi Arief meyakini penerimaan uang tersebut bukan pidana.

Pada saat itu, ia menyatakan akan mengembalikan uang bila pengadilan memerintahkan. Namun kini uang sudah dikembalikan atas inisiatif sendiri. Meski demikian, belum ada konfirmasi dari pihak KPK mengenai pengembalian uang tersebut.

“Dalam persidangan, AGM [Abdul Gafur Mas’ud] sudah meminta maaf pada saya di depan hakim, JPU [Jaksa Penuntut Umum] dan PH [Penasihat hukum] karena saya dikait-kaitkan, AGM bilang yang diterima itu bukan uang korupsi,” ungkap Andi Arief.

Ia pun menyatakan tidak ada kaitan uang yang diterimanya tersebut dengan Musyawarah Daerah (Musda) DPC Partai Demokrat Kalimantan Timur.

Pada saat OTT, Abdul Gafur sedang dalam proses pencalonan sebagai Ketua DPC Demokrat Kaltim. Bahkan dalam dakwaannya, disebut ada uang Rp 1 miliar yang digunakan untuk kepentingan Musda.

“Menanggapi Pak Alexander Marwata [Wakil Ketua KPK] seolah-olah saya sengaja menikmati uang korupsi.

Seolah motif Musda uang Rp 50 juta diberikan pada saya. Dalam Musda, saya ini Bapilu/penonton sejak persiapan sampai pelantikan. Saat ketemu AGM di DPP beserta DPC awal 2021 ia sudah didukung 8 dari 10 DPC,” ungkapnya.

Andi Arief pun memutuskan untuk mengembalikan uang yang diterimanya itu ke rekening KPK.

“Meski Gofur bicara di persidangan bahwa bantuan kesehatan COVID itu tak ada hubungan dengan suap dari mana pun, namun untuk mencegah spekulasi yang beredar dan menunjukkan rasa tanggung jawab saya, maka saya kembalikan Rp 50 juta ke rekening penampungan KPK,” kata Andi Arief.

Kendati sudah mengembalikan uang tersebut, Andi Arief masih bertanya-tanya mengapa KPK seolah memburu dirinya. Padahal, ia mengaku sudah membeberkan semua saat dipanggil penyidik KPK dan saat menjadi saksi di sidang.

“Pak Alexander Marwata Wakil Ketua KPK sebetulnya hendak berantas korupsi atau bawa misi menghancurkan saya pribadi dan partai akibat hipotesis hukum khusus PPU korupsi karena Musda,” kata dia.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memang sempat menjawab pertanyaan wartawan mengenai tindak lanjut KPK atas kesaksian Andi Arief yang mengaku menerima uang Rp 50 juta dari Abdul Gafur.

Namun, dalam jawabannya, Alex kemudian membahas soal definisi penyelenggara negara. Menurutnya, anggota partai politik bukanlah seorang penyelenggara negara.

Menurutnya hingga saat ini belum ada aturan hukum spesifik yang dapat menjerat pengurus parpol. Sebab, KPK hanya bisa menjerat penyelenggara negara atau kasus korupsi yang kerugiannya di atas Rp 1 miliar.

“Andi Arief itu peran dia itu pengurus parpol itu kategorinya itu tidak masuk berdasarkan undang-undang ya, undang-undang tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi itu tidak masuk sebagai penyelenggara negara,” ujar Alex di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (21/7).

“Memang pertanyaan seperti yang disampaikan masyarakat pada umumnya, kalau begitu kalau pengurus Partai menerima duit ya enak-enak saja kan gitu.

Seolah-olah itu bebas dari ya hukum gitu kan dan kita ketahui ya rasa-rasanya uang mahar tuh apalagi nanti menjelang Pemilu ya itu Ada kan gitu, sudah bukan rahasia umum lagi,” sambungnya.

Menurut Alex, dibutuhkan perluasan pengertian penyelenggara negara dalam UU. Dorongan itu pun dirasa Alex tak berlebihan, mengingat Parpol memiliki peran yang sangat strategis dalam urusan bernegara, mulai dari menentukan wakil rakyat hingga kepala negara.

“Mestinya sih ada perluasan pengertian penyelenggara negara. Karena apa? karena kita melihat fungsi dan peran partai politik itu kan sangat strategis, mereka nanti yang akan menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat, siapa yang nanti yang menjadi kepala daerah, bahkan siapa nanti yang menjadi kepala kepala negara atau presiden pilihan partai, kan begitu. Jadi sebetulnya sangat strategis itu,” ucap Alex.

“Para pengurus partai itu mereka punya kewenangan untuk menentukan pejabat-pejabat publik tetapi di dalam undang-undang mereka tidak termasuk sebagai unsur penyelenggara negara,” lanjut dia.

Pelibatan ahli, menurutnya juga dapat memberikan masukan tersendiri dalam hal itu. Sehingga ke depan jika ditemukan lagi adanya kasus pemberian atau penerimaan uang oleh pengurus parpol, ada aturan hukum yang mengaturnya.

“Kalau ada ahli mungkin perlu dikaji dari ahli tata negara atau administrasi negara apakah bisa itu pengurus Partai itu dimasukkan Sebagai penyelenggara negara. Sehingga ketika yang bersangkutan itu menerima sesuatu terkait dengan penetapan penentuan jabatan publik nah itu kena juga, kan seperti itu,” kata Alex.

Selain itu, ia merasa disudutkan dengan pernyataan juru bicara KPK ketika pemanggilan dalam penyidikan. Kala itu, Andi Arief tak memenuhi panggilan. Namun, ia merasa memang belum mendapat surat panggilan tersebut.

“Harusnya Jubir KPK meminta maaf pada saya soal surat pemanggilan pertama yang salah alamat. Penyidik saya atas nama KPK sudah minta maaf. Ini Jubir malah tidak. Punya agenda sendiri,” kata Andi Arief.

Belum ada tanggapan dari juru bicara KPK atas pernyataan ini.

(Sumber)