Pengalaman Mistis Susi Susanti di All England 1989

Susy Susanti menjadi satu-satunya tunggal putri Indonesia yang sukses menjadi juara All England. Susy mengisahkan pengalaman di luar nalar saat tampil di turnamen bulutangkis tertua sejagat itu.

Susy tak cuma mengoleksi satu gelar juara All England. Mantan pebulutangkis kelahiran Tasikmalaya 48 tahun lalu itu menjadi juara pada 1990 dan 1991 serta 1993 dan 1994.

Sebuah pengalaman mistis dialami Susy justru pada All England 1989. Dia berjumpa seorang nenek yang yang tatapannya menembus hingga ke jantung.

“Peristiwa itu terjadi pada All England 1989. Di luar prediksi, saya bisa masuk final waktu itu. Sebelum bertanding, ada satu kejadian yang masih tetap saya ingat. Yang kalau dibilang di luar nalar manusia itu nyata atau tidak, saya berpikir positif itu memberikan berkat kepada saya.

Kejadian itu muncul sesaat setelah saya tiba di hotel, dekat Stadion Wembley. Saat itu, saya bersama pemain tunggal lain, Alan (Budikusuma) dan Sarwendah bersama Om Tong (Tong Sin Fu, pelatih tunggal pelatnas PBSI), pergi makan setelah menyimpan koper di penginapan. Dulu, pemain tunggal yang bawa om Tong, satu pelatih di tunggal. Kami menuju McDonald, itu paling dekat dengan hotel. Waktu itu, enggak ada larangan makan di McD, yang penting tidak overweight hehehe.

Saat jalan kaki ke restoran, saya bertemu satu nenek-nenek. Awalnya, saya enggak perhatian. Kami jalan santai saja, tidak tergesa-gesa. Setelah makan, nenek-nenek itu masih ada, jaraknya cuma beberapa meter dari tempat kami. Kurang lebih sekitar 200 meter dari hotel. Dengan kami jalan itu cuma 50 meter. Om Tong bilang kasihan nenek itu ayo kumpulin duit. Om Tong bilang agar kami masing-masing kasih satu poundsterling. Karena saya di seberang, saya enggak bisa langsung kasih. Di saku saya enggak ada uang koin, adanya 5 pound dan 10 pound.

Saat om Tong menengadahkan tangan agar uang itu diambil oleh nenek tersebut, si nenek cuma ambil satu pound. Nah, saat giliran saya, saya kasih 5 pound. Pas saya kasih uangnya ke tangan dia, nenek itu pegang tangan saya. Saya terkejut, tangannya begitu lembut dan panas. Padahal saat itu, kami kedinginan karena sedang salju. Saya sampai mengira itu bukan tangan manusia. Yang bikin enggak kuat lagi, saat nenek itu menatap saya. pandangan matanya seperti menghunjam ke hati saya. Saya lepaskan tangannya dan lari ke hotel. Saya sesenggukan, enggak tahan.

Om Tong dan Alan sampai kebingungan. Mereka menyusul saya ke kamar. Mereka juga enggak habis mengerti saat melihat saya sesenggukan. Saya minta Alan untuk mencari nenek itu di bawah, saya yakin nenek itu membutuhkan pertolongan. Bersama Om Tong, Alan turun untuk mencari nenek itu. Saat jalanan di sekitar hotel dilihat dan diputerin, nenek itu sudah tidak ada. Padahal, saat kami makan, nenek itu ada di lokasi itu hampir setengah jam. Nenek itu tetap di situ sampai kami selesai makan. Tapi, kemudian, dia langsung hilang dalam 5-10 menit. Jejaknya juga enggak ada.

Saat saya main besoknya, di luar prediksi saya bisa sampai ke final. Saya membuat banyak kejutan di tahun 1989 itu dengan mengalahkan para unggulan. Di babak pertama saya mengalahkan seeded-an dari Korea Selatan, Hye-young. Di babak final itu, saya kalah dari Liling Wei (China) meskipun sempat leading di set ketiga 8-3. Tapi kemudian, Liling Wei bisa membalikkan angka dan saya kalah 11-3, 6-11, dan 8-11. Saya akui saya kalah pengalaman saat itu. Saat saya menekan, dia bisa mengubah permainan dan berbalik menekan saya. Setelah saya menyelesaikan pertandingan, Om Tong bilang,”Coba kalau kamu beri 10 pound, bisa jadi saat ini kamu juara hehehe.” Sampai saat ini, nenek itu saya anggap memberi berkat.”

Di tahun berikutnya, Susy menjadi juara. Dia melanjutkannya di tahun berikutnya. Dia menambah koleksi juara lagi pada 1993 dan 1994. Di luar peristiwa itu, Susy menyebut jika All England memang memiliki kharisma tersendiri sebagai turnamen bulutangkis tertua sejagat.

“All England ini berbeda ketimbang turnamen yang lain. Apalagi, waktu saya masih merasakan pertandingan di Wembley, kesannya sangat berbeda dengan di Birmingham. Selain nilai kejuaraan yang berbeda, sebagai turnamen bulutangkis tertua, suasana dan situasinya tak sama. Wembley itu gedungnya saja bikin kita, sebagai pemain merasa angker. Saat kami masuk ke tengah lapangan, semua digelapin, dengan penonton yang begitu sopan, ada kesan mistisnya. Bisa menjadi juara itu kayak agung, sesuatu yang betul-betul membedakan, pengakuan dan penghormatannya itu afdol.

“Penontonnya itu sangat sopan bertolak belakang dengan penonton Indonesia. Waktu kami main, stadion rasanya sepi sekali, hanya ada bunyi kok. Pada saat ada permainan bagus, ada bola-bola menakjubkan itu kalau dibilang itu tepuk tangannya begitu sopan, tidak teriak. Mereka mengapresiasi seperti apa adanya saja. Saat masuk ke lapangan itu sudah beda, sorot lampu daru depan itu mengiringi kami. Lihat kiri kanan gelap, aduh, agung rasanya. Masuk lapangan sudah ngeri, ngeri sama suasana.”

Kini, Susy datang lagi ke All England. Dia tak lagi bermain, namun mendampingi 33 pebulutangkis Indonesia di Birmingham mulai 6-10 Maret. [detik]