News  

Populisme Ala Joko Widodo Itu Logika Sosialisme Yang Bangkrut

Populisme Ala Joko Widodo Itu Logika Sosialisme Yang Bangkrut Radar Aktual

Tulisan ilmiah popular ini tidak bermaksud menyerang pribadi Joko Widodo, apalagi terkait atau dikaitkan dengan “berita misteri” tentang ideologi politik orang tuanya di masa lalu. Tulisan ini justru membuka cakrawala berfikir dan landasan berfikir kebijkakan populisme Joko Widodo dikaitkan dengan ideologi politik sosialisme. Karena itu berharap ada diskursus.

Jokowi panik! Mungkin itulah kalimat yang tepat disematkan kepada Joko Widodo, Calon Presiden Nomor Urut 01. Rasa kepanikan terlihat dari adanya berbagai janji-janji yang bersifat populis dengan tujuan untuk meningkatkan elektoral. Meskipun pada akhirnya hanyalah janji utopia.

Salah satu janji baru Presiden RI Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi adalah kartu prakerja untuk masyarakat yang sedang mencari pekerjaan. Sangat kontroversialnya pada janji Jokowi bahwa pemegang kartu tersebut akan menerima gaji selama belum mendapat pekerjaan sebagaimana diucapkan Joko Widodo pekan lalu saat ngopi bareng milenial di Kopi Haji Anto 2 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (1/3/2019).

“Kalau belum dapat pekerjaan, kartu itu juga akan memberikan kayak honor, kayak gaji. Tapi jumlahnya berapa masih kita rahasiakan. Nanti,” kata Jokowi yang juga merupakan calon Presiden2019.

Kebijakan populis dengan orientasi memulung elektabilitas bukan hal baru. Presiden beraliran sosialis Hugo Chaves dan dilanjutkan oleh Nikolaus Moduro di Venezuela juga melakukan kebijakan-kebjikan populis menjelang pemilihan presiden.

Kebijakan pemerintah Chavez yang mematok harga kebutuhan pokok, tepung, minyak goreng, sampai keperluan mandi, demi meringankan beban penduduk miskin. Pembangunan infrastruktur dengan menghabiskan sebagian besar anggaran negara.

Dampaknya negara Venezuela terjungkal bebas dalam jurang krisis, reseki ekonomi dan krisis politik. Karena itu tawaran-tawaran program populis lebih cenderung disebabkan karena pemimpin cenderung ambisius dan kehilangan kepercayaan publik.

Akibatnya hampir 2 juta jiwa mengungsi mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain seperti Kolombia, Ekuador dan Peru. Mata uang Bolivar tidak lagi berharga setelah US$ 1 setara dengan 248 ribu bolivar. Kejatuhannya telah memicu inflasi yang dapat menyentuh sejuta persen pada akhir 2018. Harga 1 kg daging setara dengan 9,5 juta bolivar dan sebungkus tisu toilet harus dibayar 2,6 juta bolivar. Venezuela terancam negara gagal.

Itulah akibat praktik sistem politik sosialisme yang salah oleh Hugo Chaves dan Nikolaus Moduro, telah mengakibatkan anggaran negara dalam keadaan tidak sehat karena pendapatan nasional hanya mengandalkan dari sumber utama minyak. Tahun 2014 Venezuela sudah terancam bangkrut karena tidak mampu memenuhi semua kebutuhan ketika harga minyak jatuh di pasaran.

Apa yang dipertontonkan oleh Joko Widodo adalah cenderung mengambil kebijakan tanpa konsepsi akademik dan melihat landasan konstitusi khususnya pasal 33 UUD 1945. Jokowi sebagai petahana seharusnya yakinkan rakyat Indonesia terkait implementasi janji-janji yang pernah diucapkan 2014, tidak semestinya mengambil kebijakan inkonsitusional, ketika melihat arus migrasi suara dari Joko Widodo ke Prabowo secara masif.

Barangkali Joko Widodo tidak boleh hanya mendengarkan masukan dari para anggota Kabinet tanpa nalar. Pembantu Joko Widodo lebih cendrung bekerja mengikuti logika ketersediaan anggaran (planning flow money), tetapi logika konstitusi (policy flow contitution) meraka abaikan. Harus diukur, apakah kebijakan populis sejalan dengan konstitusi dan sistem politik yang dianut oleh negara Indonesia.

Dengan demikian, wajar jika saya katakan meskipun Indonesia bukan negara sosialis tetapi kenyataannya pemerintah ini lebih cenderung mempraktekan sistem sosialisme melalui kebijakan dan program.

Dalam konteks ini ada benarnya ketika kebijkan populisme Joko Widodo rakyat terbawah dalam alam pikir dan nafsu materialistis diukur dengan nilai uang, barang dan fisik, bahkan berwicara juga tentang materi, uang dan barang serta berlogika linier tentang materi, uang dan barang sehingga wajar jika kebijakan ini dapat diteropong melalui teori Hegel tentang materialisme, dialektika dan logika.

Joko Widodo jangan keliru bahwa apa yang ditegaskan dalam pasal 33 UUD 1945 menyatakan Negara Menguasai artinya negara menguasai dalam konteks “otoritas regulasi dan kebijakan”.

Bukan membuat program populisme yaitu negara mengambil sumber daya dan dibagikan kepada rakyat sebagaimana dipraktekan dalam berbagai kartu: Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Prakerja dengan bagi-bagi uang kepada para penganggur, Kartu Belanja, dll.

Filosofi pasal 33 UUD 1945 adalah Otoritas Negara untuk mengatur pola hubungan hukum antara Manusia dan Air, Manusia dan Udara serta Manusia dan Tanah. Itulah inti dari jiwa pasal 33, bukan sebagaimana membagi-bagi sumber daya Negara untuk meninabobokan rakyat ibarat “ bayi dalam buain”.

Rakyat Indonesia akan terbuai dalam ketidakmpuan sehingga wajar jika kompentensi sumber daya manusia Indonesia akan makin terpuruk di level dunia. Setiap orang akan berpendidikan asal-asalan menyebabkan kompetensi pengetahuan (knowledge), kompetesi ketrampailan (skills) dan kompetensi mental dan moral (attitude) akan terdegradasi ke titik terendah. Kita akan menyaksikan ketika indeks persaingan global (global competiveness index) terendah di antara negara-negara lain.

Para punggawa kuasa tentu harus menyadari bahwa tidak ada praktek sosialisme yang sukses di dunia ini tanpa fundamental ekonomi kuat termasuk memperkuat basis perekomian melalui produktifitas domestik baik sektor migas dan nonmigras, sektor jasa, industri dan agrikultur.

Kesalahan fatal Venezuela adalah 95 persen pendapatan negara hanya mengandalkan ekspor minyak, sedangkan sumber lain diabaikan. Indonesia juga sedang mengalami nasib yang sama seperti Venezuela ketika Joko widodo tidak mampu meningkatkan eksport non migas. Berbagai kegagalan Joko Widodo terkait janji menghentikan import menunjukkan ketidakmampuannya membawa Indonesia yang berdikari, mandiri dan berdaulat.

Kebijakan populisme bernafas sosialisme tidak mampu menghadapi arus kapitalisme dan liberalisme dibawah payung punggawa ekonomi dan politik dunia (WTO, IMF, WB bahkan PBB). Praktek sosialisme Ujama di Tanzania baik Tanganyika dan Zanzibar dibawah kepemimpinan Julius Nyerere seorang profesor pertaniaan dengan menggerakan nasionalisme petani di desa (ujama) dan pernah dikuti oleh pemerintah Suharto melalui transmigrasi dan PIR juga gagal, serta China dibawah pimpinan Mao Zedong akirnya juga menyebabkan rakyat Tiongkok menderita, mencari hidup dan makan di negara tetangga di tahun 1960-an.

Itulah kegagalan praktek sosialisme yang sudah tidak kompetitif dan terkubur di abad ke 20. Sistem sosialisme telah membuat orang menjadi bodoh dan pemalas, apalagi ditengah arus liberilasi, globalisasi dan kompetisi dalam dunia tanpa batas (borderless nations) jika menyitir Kenichi Ohmae.

Pertanyaannya adalah mengapa Joko Widodo begitu gampang mengumbar janji meskipun menyadari bahwa janji itu hanya sebuah cita-cita utopia perubahan?

Sebagaimana 66 Janji Joko Widodo Presiden RI 2014-2019 yang pernah dengan mudah diucapkan, enak didengar, namun sulit diwujudkan. Seharusnya dalam masa kampanye ini Joko Widodo mesti meyakinkan kepada rakyat Indonesia seberapa jauh implementasi kinerja dan prestasi atas 66 janji tersebut.

Joko Widodo malah menawarkan janji-janji baru yang bersifat populis bernafas sosialis yang utopis dan membawa Indonesia diambang kebangkrutan.

Natalius Pigai, Kritikus dan Aktivis Kemanusiaan