News  

Gubernur BI, DK OJK dan DK LPS Tak Boleh Berasal Dari Partai Politik

DPR telah mengesahkan undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023.

Pengesahan tersebut dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, usai bertanya kepada peserta rapat dari seluruh fraksi.

Dengan disahkannya UU PPSK ini maka, telah disepakati untuk melarang orang partai politik (parpol) yang boleh menjadi Gubernur Bank Indonesia atau Gubernur BI.

Adapun ketentuan Gubernur BI dilarang berasal dari anggota partai politik. Anggota terpilih menjabat 5 tahun, paling lama dua periode.

“Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang: menjadi pengurus dan/atau anggota partai politik,” tulis beleid tersebut, dikutip Kamis (15/12).

Tak hanya itu, Anggota Dewan Gubernur BI juga dilarang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung pada perusahaan mana pun. Anggota juga dilarang merangkap jabatan pada lembaga lain.

“Dalam hal anggota Dewan Gubernur melakukan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Dewan Gubernur tersebut wajib mengundurkan diri dari jabatannya,” tulis dokumen itu.

Sebelumnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani menegaskan, pelaksanaan fungsi tugas dan wewenang lembaga dilakukan tetap menjaga independensi dari masing-masing otoritas dan kelembagaan.

“Dalam rangka meningkatkan fungsi check and balance, sebagai bagian dari menjaga independen dari lembaga-lembaga tersebut calon anggota Gubernur Bank Indonesia, Anggota Dewan Komisioner OJK dan Anggota Dewan Komisioner LPS dipersyaratkan untuk tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik saat pencalonannya,” jelas Sri Mulyani dalam Rapat Komisi XI di Gedung DPR RI, Kamis (8/12).

Direktur Segara Institut Piter Abdullah juga sempat menegaskan, Bank Indonesia memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam perekonomian.

Oleh karena itu, kesalahan dalam pengelolaan BI bisa menyebabkan kerusakan perekonomian yang masif.

“Indonesia punya sejarah di mana BI digunakan oleh kekuasaan untuk mencetak uang membiayai kepentingan pemerintah (politik). Sejarah itu jangan sampai terulang!” kata Piter kepada kumparan, Minggu (9/10).

Oleh sebab itu, kata Piter, sejak tahun 1999 BI mulai dipisahkan dari kepentingan politik, yakni dengan mengeluarkan BI dari pemerintah.

Hal tersebut bertujuan untuk membersihkan BI dari kepentingan politik.

“Pemerintah adalah politik. Mereka yang boleh menjadi anggota dewan gubernur BI adalah orang-orang yang bersih dari politik. Hal ini harus dipertahankan,” jelas dia.

Piter melanjutkan, risiko yang muncul akan besar, bila orang-orang dengan kepentingan politik masuk ke dalam bagian dari bank sentral. Kebijakan BI bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Itu artinya, tidak ada lagi independensi BI.

“Walaupun orang politik tersebut sudah keluar dari partai, tetapi sebagai orang politik dengan cara berpikir dan attitude politik. Kalau yang bersangkutan menjadi pengambil kebijakan di BI maka kebijakan BI akan sulit untuk independen. Risikonya seluruh rakyat Indonesia yang menanggung,” bebernya.(Sumber)