Tekno  

Lika-Liku Menjemput Jodoh Impian Lewat Aplikasi Ta’aruf Online

Deuis R. Fatimah tak menyangka usahanya mencari jodoh lewat taaruf berlabuh pada Dede Berry, pria yang kala itu berdomisili di Tangerang. Lebih dari sekitar seratus kilometer dari Cianjur, tempatnya tinggal. Prosesnya pun diawali lewat aplikasi taaruf online, tanpa kenal satu sama lain.

Buat Deuis, niatan menikah sudah ada sejak usia 22 tahun. Perempuan kelahiran 1995 ini memang mantap mencari jodoh dengan cara taaruf. Dalam bahasa Arab, taaruf berarti berkenalan. Berbeda dengan pacaran, taaruf yang syar’i sesuai syariat Islam melibatkan perantara seperti wali atau ustaz.

Deuis pertama kali mencoba taaruf sekitar tahun 2018 dengan cara konvensional lewat perantara guru. Dia juga sempat coba taaruf online di tiga aplikasi, namun gagal. Terakhir, ikhtiarnya yang ke-4 di aplikasi Ta’aruf Online Indonesia pada tahun 2021 saat pandemi. Kala itu ada seorang ustaz yang rekomendasikan platform taaruf online.

“Setelah dikepoin itu benar-benar, ‘Oh, ini mah ternyata memang bukan yang sembarangan tanpa pendampingan, ternyata didampingi (ustaz) terus-terusan’. Akhirnya alhamdulillah daftar,” kata Deuis kepada kumparan, Kamis (12/1/2023).

Saling Match dari CV
Taaruf online yang dijalankan Deuis dimulai dari tahap isi CV yang sudah disediakan template-nya di aplikasi. Isinya biodata pribadi seperti status (single/janda/duda), suku, riwayat pendidikan, kekurangan-kelebihan diri, kriteria pasangan, frekuensi ibadah yang dijalankan, tiga pertanyaan awal bagi calon, hingga visi misi pernikahan.

Pada tahap ini, ikhwan atau akhwat juga melampirkan foto diri dan KTP. Namun, nama asli, nomor ponsel, dan foto tidak diperlihatkan. Setelah submit dan lolos screening admin, CV akan beredar dan kita bisa memilih mana yang sesuai dengan kriteria.

Kata Kisa Adentia, General Manager dan Co-Founder Ta’aruf Online Indonesia, fase taaruf baru diajukan jika kedua belah pihak sepakat saling menjawab tiga pertanyaan awal. Nah, baru setelah itu foto masing-masing bisa terbuka. Kalau cocok, maka lanjut ke tahap tanya jawab via admin di WhatsApp. Mereka tidak diperkenankan bertanya lewat nomor pribadi. Barulah pada tahap taaruf ini dikenai biaya Rp 249 ribu.

“Rp 249 ribu ini berlaku sampai kita ketemu sama calon (Nadzor). Jadi, akun premium itu tidak terikat oleh berapa lama waktu dia berada di (aplikasi) itu. Kalau misalnya sudah sampai Nazor atau ketemu langsung dengan calon, itu hangus.

Kalau belum sampai ke situ, misalnya masih tanya jawab tapi merasa nggak, bukan deh, nggak cocok, itu belum belum hangus,” jelas Kisa saat dihubungi terpisah, Kamis (12/1) lalu.

Aplikasi yang sudah eksis sejak 2019 lalu itu tersedia di seluruh Indonesia. Konsepnya, menjembatani taaruf online ke taaruf offline. Jadi, setelah saling bertanya jawab lewat admin, jika cocok, maka bisa lanjut ke tahap nadzor atau pertemuan.

Pertemuan ini bisa lewat online terlebih dahulu, lalu ke offline. Namun, saat ini fasilitas nadzor offline baru tersedia di 17 kota saja. Pada tahap ini, akhwat dan ikhwan yang sedang bertaaruf akan bertemu, didampingi ustaz. Biaya pendampingan ini, biaya maintenance aplikasi sudah termasuk dalam Rp 249 ribu tadi.

Kembali ke cerita Deuis, menurutnya tak ada perbedaan antara taaruf online dan offline. Bagi Deuis keduanya tetap nyaman, asal dilakukan dengan pendampingan ustaz. Sebab, menurut pengalamannya, ada aplikasi atau situs taaruf online yang memperbolehkan ikhwan dan akhwat berkomunikasi tanpa perantara.

Proses taaruf ini, kata Deuis, bukan berarti pasti menikah. Artinya, kedua pihak bisa membatalkan di fase tertentu jika dirasa tidak cocok. Hal ini juga yang terjadi pada Deuis di kegagalan taaruf sebelumnya.

“Beberapa kali ada yang visi misi beda, jadi kan kalau visi misi beda itu saya sudah langsung baru lihat cv-nya, tanya jawab, dan lain-lain. Ketika ada pertanyaan atau pandangan yang ‘Oh, dia ternyata beda gitu ya, beda pemikiran’, saya langsung cut.

Nah itu berarti gagal,” kata dia.
Selain itu, taaruf bisa gagal karena target nikah yang tak sesuai hingga ketidakcocokan fisik. Kisa Adentia menuturkan, salah satu tahap yang paling banyak gugur adalah tahap lihat foto masing-masing.

“Di poin ini yang sering banyak gugurnya, setelah foto itu terbuka. Tapi kalau misalnya ‘Oh lihat fotonya cocok’, maka kita lanjut bertanya jawab via admin kita mau ke WhatsApp. Sementara kita masih pakai WhatsApp,” ujarnya.

Disegerakan, Bukan Terburu-buru
Seluruh tahap, mulai dari kirim CV, tanya jawab, nadzor, khitbah (lamaran), hingga nikah, dijalani Deuis-Berry selama kurang lebih delapan bulan. Ini termasuk lama jika dibandingkan pasangan taaruf lain di aplikasi tersebut yang rata-rata menikah dalam waktu 3-6 bulan.

“Sebenarnya waktu itu kalau dari kami gitu ya kalau dari pihak akhwat–saya–dan ikhwannya, pengennya cuman 1 bulan dari khitbah ke nikah itu, tapi orang tua yang bisanya di bulan ke-4 setelah khitbah,” kata Deuis.

Sejatinya tidak ada pakem ‘deadline’ ataupun waktu ideal dalam taaruf. Namun, admin tetap akan mengingatkan dua belah pihak jika sudah lewati waktu tertentu, misal seminggu atau dua minggu berlalu.

Fase jelang menikah itu, kata Deuis, tetap tidak diisi dengan komunikasi langsung yang tidak perlu. Dia pun mantapkan diri, berdoa lewat salat istikharah.

“Saya ya cuman istikharah dan mencari tahu ya, mencari tahu data pribadi si ikhwan ini. Untuk memantapkan lagi saya tanya-tanya ke temennya gitu. Alhamdulillah dapat kontak temannya dan saya terus tanya-tanya ke temennya, alhamdulillah semakin memantapkan sih dari waktu yang panjang itu semakin yakin ternyata dia orang baik,” terangnya.

Dia pun mengaku belum ada rasa pada suami saat menikah. Menurutnya penting untuk tetap netral sebelum akad supaya tak timbul ekspektasi, kecewa, atau perasaan suka yang berlebihan.

Proses taaruf memang tak berhenti setelah menikah. Deuis menyadari bahwa proses taaruf atau mengenal seseorang itu bisa jadi dilakukan seumur hidup. Ada banyak momen kaget yang dia hadapi saat baru bersama suami, termasuk mengenal kebiasaan baru dan cara marah, namun menurutnya terasa menyenangkan.

“Misalkan salah satunya dia lagi capek, misalkan, terus salatnya nggak berjamaah nggak di masjid misalnya, ya di bercandain tadi ingetinnya kayak gitu. ‘Eh waktu itu kan (tulis) salat berjamaah di CV,’ ‘Oh ya ya.’ Cuman gitu-gitu aja, sih, saling mengingatkannya,” kata Deuis.

Fase perkenalan yang dinilai singkat seringkali membuat istilah taaruf dikaitkan dengan ‘membeli kucing dalam karung’. Baik Deuis maupun Kisa merasa ungkapan itu tidak tepat.

Soalnya, baik calon mempelai wanita atau pria, sama-sama punya hak untuk memilih pasangan yang sesuai dengan kriteria. Ini sekaligus mematahkan anggapan kalau wanita hanya bisa menunggu saja.

“Dalam taaruf pun kita bisa tanya jawab sedetil-detilnya, bahkan sampai masalah yang sepele, misalkan kebiasaan atau cara dia makan atau lain-lain. Boleh kita tanyakan selama itu proses mengumpulkan informasi buat kita,” ujar Deuis.

“Jadi juga tidak terburu-buru. Kalau misalkan ‘Oh kamu taaruf sama ini satu bulan ya harus jadi’ misalkan, nggak seperti itu juga. Bahkan kita bisa memutuskan waktunya dari taaruf ke nikah itu misalkan waktu yang idealnya buat kita seberapa lama,” imbuhnya.(Sumber)