News  

Dari Huru-Hara Malari Hingga Malapetaka Morowali

Kerusuhan antara tenaga kerja asing alias TKA dari China dengan pekerja pribumi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/1) mengingatkan publik akan kerusuhan besar 15 Januari 1974.

Huru-hara di era Orde Baru itu lebih dikenal dengan Malari, akronim dari Malapetaka 15 Januari. Memang skala kerusuhan Morowali masih jauh dibanding dengan Malari.

Malari kemudian menjadi huru-hara politik yang melibatkan para elite di lingkar kekuasaan. Adapun kerusuhan Morowali hanya bersifat lokal yang bisa dipadamkan dalam waktu singkat. Kendati begitu, ada banyak unsur kemiripan antara Malari dengan kerusuhan Morowali.

Kerusuhan Morowali merupakan puncak dari gunung es kasus gelombang tenaga kerja asing (TKA) yang selama beberapa waktu terakhir menjadi isu kontroversial.

Banyak kalangan mengkritisi para TKA China yang ternyata pekerja kelas kasar tanpa keterampilan khusus.

Investasi asing juga seyogianya diikuti dengan transfer of technology dan transfer of knowledge dari negara investor ke Indonesia. Yang terjadi di Morowali tidak demikian. Tenaga kerja kasar dari China sangat banyak mengambil porsi tenaga kerja lokal.

Mahasiswa berdalih mereka pada saat itu berdemonstrasi di sekitar Jalan MH Thamrin, sedangkan kerusuhan terjadi di sekitar Pasar Senen.

Kerusuhan tidak bisa dihindarkan lagi. Massa yang brutal merusak dan membakar pertokoan Pasar Senen dan Glodok. Massa menjarah barang-barang di tempat perbelanjaan itu. Perusuh juga membakar mobil dan motor buatan Jepang.

Tentara bergerak melakukan penembakan terhadap perusuh. Kerusuhan itu menyebabkan 11 orang tewas, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128 korban mengalami luka berat dan ringan.

Proyek Pasar Senen yang ketika itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis. ??Peristiwa Malari dipicu oleh kondisi perekonomian yang memburuk bagi sebagian rakyat.

Program pembangunan yang dilakukan Soeharto hanya memberikan laporan peningkatan secara statistik tanpa bisa dinikmati rakyat.

Soemitro sering mengadakan pertemuan dengan menteri-menteri di kantornya. Hal itu dianggap sebagai upaya membangun pengaruh untuk menyingkirkan Soeharto.

Ali Moertopo adalah jenderal yang berada di lingkaran paling dekat Soeharto dan dan menjadi penasihat utamanya. Ali Moertopo merasa gerah oleh manuver Soemitro yang makin terbuka.

Soemitro mendatangi kampus-kampus dan mendorong mahasiswa lebih kritis terhadap pemerintah. Langkah itu mendapat tentangan keras dari Ali Moertopo yang melaporkannya kepada Soeharto.

Pada awal 1974, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berencana berkunjung ke Indonesia. Kesempatan itu dipakai oleh mahasiswa untuk melakukan unjuk rasa besar-besaran.

Demonstrasi itu berawal dari apel ribuan mahasiswa dan pelajar yang berlangsung dari kampus UI di Jalan Salemba. Massa pedemo kemudian bergerak menuju kampus Universitas Trisakti di Grogol pada tengah hari 15 Januari 1974.

Para mahasiswa memaklumatkan Apel Tritura 1974. Mereka meminta pemerintah menurunkan harga, membubarkan asisten presiden, dan menggantung koruptor.

Para mahasiswa membakar patung Kakuei Tanaka. Selanjutnya bergerak ke Istana Kepresidenan tempat pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Kakuei Tanaka.

Peluru ditembakkan ke arah demonstran yang mulai melakukan kekerasan dengan menyerang mobil buatan Jepang. Mahasiswa membantah telah melakukan kekerasan.

Hasil pertanian dilaporkan meningkat, tetapi kondisi petani buruk, harga beras mahal, dan sering kali terjadi kesalahan distribusi. Sebagain besar hasil panen itu diyakini menjadi sasaran korupsi oleh militer.??

Soeharto memecat Jenderal Soemitro dan membubarkan tim Asisten Pribadi Presiden yang berisi jenderal-jenderal terdekatnya, seperti Ali Moertopo dan Sudjono Humardani.

Soemitro benar-benar tersingkir, sementara Ali Murtopo masih tetap menjadi orang kepercayaan Soeharto.

Sampai sekarang dalang sesungguhnya yang mengotaki Malari belum terungkap. Hal yang sama terjadi pada gerakan mahasiswa 1998 yang akhirnya menjatuhkan rezim Soeharto. Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR RI

Namun, jauh dari gedung DPR, ribuan orang menjarah dan membakar pertokoan maupun pusat perbelanjaan. Perempuan-perempuan Tionghoa menjadi sasaran pemerkosaan.

Relasi rasial yang rapuh antara etnis Tionghoa dengan pribumi masih menjadi persoalan laten yang setiap saat bisa pecah. Dalam dua kasus kerusuhan besar itu, etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa karena dianggap sebagai simbol ketimpangan ekonomi hasil dari pembangunan yang tidak merata.

Kasus kerusuhan Morowali menjadi alarm bagi Presiden Jokowi untuk melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan ekonominya. Jokowi melakukan pendekatan pembangunanisme yang mirip dengan Orde Baru.

Jokowi sangat berambisi mengejar pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing, terutama dari China. Jokowi membanggakan ekonomi Indonesia yang tetap tumbuh dalam kondisi internasional yang terperangkap resesi.

Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi itu tidak disertai dengan pemerataan. Kemunculan TKA dalam jumlah besar menumbuhkan kecemburuan sosial yang setiap saat bisa pecah.

Persaingan elite politik di lingkar kekuasaan Jokowi belum terendus oleh publik. Namun, menjelang akhir-akhir masa kepemimpinan Jokowi, sangat mungkin persaingan itu terjadi dan pada akhirnya pecah ke permukaan.

Malapetaka Morowali 2023 mungkin hanya insiden lokal. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan akan pecah di tempat lain dalam skala yang lebih besar. Siapa tahu.(Sumber)