News  

Cagar Budaya Rumah Singgah Sukarno Dirobohkan, Pemkot Padang Kecolongan?

Salah satu bangunan cagar budaya di Kota Padang, Sumatera Barat, dirobohkan oleh pemiliknya. Peristiwa itu menimbulkan polemik karena merupakan rumah yang memiliki sejarah.

Bangunan tersebut adalah rumah singgah Presiden Sukarno saat berada di Kota Padang pada tahun 1942. Namun, kini rumah itu telah rata dengan tanah dan tersisa hanya puing-puing.

Pantauan kumparan di lokasi, sekeliling area bekas bangunan ini telah dipagari dengan seng dan tidak ada aktivitas pekerja. Informasinya bangunan telah dirobohkan beberapa minggu belakangan.

Rumah tersebut berlokasi di Jalan Ahmad Yani Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat. Lokasinya bahkan tak jauh dari rumah dinas Wali Kota Padang Hendri Septa, tepatnya di seberang jalan.

Sejarawan Universitas Andalas, Gusti Anan, sangat menyayangkan dirobohkan bangunan cagar budaya bersejarah tersebut. Apalagi, lokasinya berada persis di dekat rumah dinas wali kota.

“Disayangkan sekali, di depan hidungnya dibongkar rumah ini malah tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Dia mungkin memang tidak tahu, tapi anggotanya, badan atau dinas terkait?” kata Gusti Anan saat dihubungi kumparan, Sabtu (18/2).

Ia menilai pemerintah kota maupun provinsi atau lembaga terkait sangat kurang pemantauan terhadap benda atau bangunan cagar budaya.

“Itu yang saya sesalkan sekali. Mestinya wali kota sebagai penguasa daerah harusnya bisa berkoordinasi dengan bawahnya, dengan dinas atau kantor berwenang yang mengurus benda-benda cagar budaya di daerah ini,” ungkapnya.

“Saya pribadi sangat menyayangkan perobohan atau penghancuran bangunan cagar budaya. Padahal ini bangunan bersejarah bahwa bukti Bung Karno pernah tinggal cukup lama di sini (Padang),” sambung Gusti Anan.

Sepengetahuan Gusti Anan, Sukarno berada di rumah tersebut kurang lebih selama 3-4 bulan. Saat itu, Presiden Sukarno ditawan Belanda di Bengkulu.

“Ketika itu Bung Karno ditawan di Bengkulu. Jepang masuk, Belanda mau menyelamatkan. Saat itu yang relatif aman dibawa ke sini. Namun tidak tahunya Jepang masuk melalui timur,” ujarnya.

Gusti Anan mengungkap meski bisa dibangun kembali usai dirobohkan, namun sejarah rumah singgah Presiden Sukarno akan berkurang.

“Tidak sama maknanya dibangun kembali dengan bangunan aslinya,” jelasnya.

Pemkot Padang Bantah Kecolongan
Pemerintah Kota Padang membantah kecolongan dengan dirobohkannya bangunan cagar budaya rumah singgah Presiden Sukarno. Aktivitas pembongkaran disebut tidak diketahui.

“Kalau pembongkaran dengan alat berat (memakan waktu) sebentar, kita tidak tahu. Pemilik juga tidak tahu bahwa bangunan itu cagar budaya,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang Yopi Krislopa.

Yopi menyebutkan, kepemilikan bangunan cagar budaya ini telah beberapa orang berganti. Plang terkait pemberitahuan bahwa bangunan cagar budaya juga tidak terpasang pasca gempa 2009.

“Terkait bangunan cagar budaya di Jalan A Yani kepemilikan sudah berganti-ganti, ini dia (pemilik) alpa. Kita dulu ada plang merek, pasca gempa tidak ada,” tuturnya.

Ia menjelaskan setelah polemik pembongkaran ini, Dirjen Perlindungan Cagar Budaya telah mendatangi lokasi dan bertemu wali kota. Mediasi juga dilakukan bersama pemilik bangunan.

“Pemiliknya sudah dimediasi dan akan membangun replika seperti itu. Dan alhamdulillah pemilik menyanggupi itu. Dibangun ulang, hampir sama bentuknya, tapi kita akan ada sejarahnya bahwa Bung Karno pernah tinggal di situ,” kata dia.

“Ketika izin disampaikan ke PU, tim akan membahas bagaimana bentuknya. Tapi stori tetap bahwa Bung Karno pernah tinggal selama tiga bulan sebelum zaman kemerdekaan 1942,” tambah Yopi.

Menurut Yopi, bangunan rumah awalnya dimiliki dokter hewan, Woworuntu. Kemudian terjadi tiga orang peralihan kepemilikan. Penetapan cagar budaya telah ditetapkan tahun 1998.

“Tapi pasca-gempa 2009, dari 74 bangunan cagar budaya di Kota Padang, saat ini kondisi baik hanya 50 unit,” bebernya.

Antisipasi kejadian berulang, Pemerintah Kota Padang akan mendata kembali bangunan cagar budaya dengan berkoordinasi bersama balai besar pelestarian kebudayaan.

“Yang mana bangunan cagar budaya diberikan plang. Atau kami sosialisasi bahwa itu bangunan cagar budaya. Kebanyakan bangunan cagar budaya berada di kota tua,” pungkasnya.(Sumber)