Fadli Zon Kecam FIFA Coret RI Tuan Rumah Piala Dunia U20: Standar Ganda, Jelas Berpolitik!

Anggota Komisi I DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon mengecam keputusan FIFA mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun ini. Olahraga yang semula akan diadakan di Indonesia itu batal imbas penolakan sejumlah pihak terhadap Timnas Israel selaku peserta Piala Dunia U-20.

Menurut Fadli, FIFA punya standar ganda. Sebab FIFA pernah memberikan sanksi kepada Rusia pasca negara itu menginvasi Ukraina.
“Sayangnya, selama ini FIFA memang telah menerapkan standar ganda dalam politik sepak bola.

FIFA tak konsisten. Ketika FIFA dan UEFA menjatuhkan sanksi pelarangan terhadap tim nasional serta klub Rusia untuk berpartisipasi dalam semua kompetisi di bawah FIFA dan UEFA, serta melarang klub dan timnas Belarusia untuk bertanding di kandang sendiri sebagai sanksi atas dukungan mereka terhadap Rusia dalam perang Ukraina, apa itu bukan pelarangan bersifat politik?” kata Fadli dalam keterangannya, Kamis (30/3).

“FIFA teriak nyaring atas serangan Rusia terhadap Ukraina, namun menutup mata terhadap penjajahan serta politik apartheid yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina, apakah pilihan sikap itu tidak bersifat politis? Jadi, sejak kapan sepak bola bisa dipisahkan dari politik? FIFA jelas berpolitik, politik tebang pilih FIFA sangat nyata,” imbuh dia.

Sebagai organisasi sepak bola sejagat, lanjut Fadli, FIFA mestinya bisa mengakomodasi kepentingan semua negara. Termasuk memahami bagi sejumlah negara terutama Muslim, Israel bukan hanya sekadar isu olahraga, melainkan merupakan isu politik dan kemanusiaan yang serius.

“Tak seharusnya FIFA memaksakan aturannya pada posisi lebih tinggi daripada aturan hukum, bahkan konstitusi sebuah negara. Membela kepentingan Israel, sembari mengabaikan aspirasi negara-negara lain yang punya garis politik tegas terhadap Israel, membuat FIFA punya standar ganda dalam politik sepak bola,” ujar dia.

“Suka atau tidak suka, sepak bola sebenarnya tak pernah bisa dipisahkan dari soal politik. Olahraga yang bisa menghimpun jutaan massa dan miliaran penonton memang bisa jadi panggung politik strategis. Aturan yang menuntut agar kita tidak mencampuradukkan urusan olahraga dengan politik tidak masuk akal. FIFA sendiri terbukti tak menaatinya,” tambah dia.

Fadli menyoroti, FIFA menuntut semua negara agar berlaku adil terhadap atlet Israel, padahal menurutnya, Israel tak pernah berlaku fair terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina.

Fadli meyakini meski tidak banyak diekspos media ‘mainstream’ internasional, bukan rahasia bahwa militer Israel turut menjadikan bidang olahraga dan atlet Palestina sebagai target serangan.

“Pada November 2006, misalnya, militer Israel pernah mencegah semua atlet sepakbola Palestina untuk berpartisipasi dalam pertandingan final babak penyisihan grup kualifikasi AFC (Asian Football Confederation). Aksi yang tak mudah untuk dilupakan adalah ketika Israel tidak mengizinkan para pemain dan ofisial tim Palestina berpartisipasi dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Singapura,” papar dia.

“Aksi jahat Israel tahun 2007 itu telah mengganjal kesempatan timnas Palestina di ajang Piala Dunia. Celakanya, alih-alih membela atlet Palestina dan mengutuk Israel, FIFA malah memutuskan untuk memberikan kemenangan otomatis kepada Singapura 3-0. Padahal, kita tahu, dalam pertemuan terakhir kualifikasi Piala Dunia 2022 lalu, timnas Palestina bisa menekuk Singapura dengan keunggulan telak 4-0,” tambah dia.

Fadli menambahkan, Stadion Palestina sering dibom selama perang brutal Israel di Gaza. Sehingga selama bertahun-tahun timnas Palestina hanya bisa menggelar pertandingan kandang di Yordania atau Qatar.

“Pada Januari 2009, misalnya, tiga pesepakbola Palestina, Ayman Alkurd, Shadi Sbakhe, serta Wajeh Moshtaha, tewas oleh serangan Israel di Jalur Gaza. Dua bulan kemudian, Saji Darwish, pemain muda berusia 18 tahun, dibunuh oleh penembak jitu Israel di dekat Ramallah,” cerita Fadli.

“Juli, masih di tahun 2009, Mahmoud Sarsak, pemain timnas Palestina, telah ditangkap dan disiksa oleh militer Israel selama tiga tahun. Meskipun pada akhirnya dia dibebaskan, namun masalah kesehatan permanen akibat penyiksaan yang dideritanya selama dalam tahanan Israel telah mematikan karier olahraganya,” ungkap dia.

Fadli menerangkan, penangkapan, penyiksaan, serta pembunuhan terhadap pemain bola Palestina telah menjadi berita rutin di Palestina.
“Pada 2019, militer Israel menyerang Stadion Al Khader di Betlehem dengan gas air mata, yang mirip dengan Tragedi Kanjuruhan, Malang, tahun lalu. Dan terbaru, pada 22 Desember 2022 lalu, tentara Israel telah menembak mati Ahmad Atef Daraghma, pemain bola dari klub Thaqafi, serta melukai 24 orang lainnya, dalam sebuah serangan dan aksi brutal di kota Nablus, Tepi Barat,” jelas dia.

“Jadi, sangat tak relevan kalau FIFA membela atlet Israel dengan dalih “fair play”. Seharusnya para atlet Israel itu ditagih pertanggungjawaban moralnya atas aksi brutal dan tidak fair yang dilakukan oleh pemerintah mereka terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina,” tegasnya.

Meski Piala Dunia U-20 di RI Batal, Fadli Nilai Indonesia Tak Kehilangan Muka
Fadli menyadari, pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 memang merugikan sepak bola Tanah Air. Namun, menurutnya Indonesia harus bangga karena setia pada amanat konstitusi yang menolak penjajahan.

“Dengan pencoretan ini kita sebagai bangsa sebenarnya tidak kehilangan muka. Jika kita tetap harus menerima kedatangan para atlet Israel, kita sebenarnya merendahkan konstitusi serta garis politik luar negeri di bawah aturan FIFA. Sepanjang sejarah republik ini, kita pernah jadi tuan rumah berbagai ajang olahraga internasional, tapi tak pernah membuat kita sampai kehilangan prinsip dan merendahkan moral yang selama ini dijunjung,” ujar dia.

“Jangan lupa, Indonesia negara pertama di dunia yang pernah memboikot keikutsertaan Israel dalam ajang olahraga. Sebagai tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, kita pernah menolak kedatangan delegasi Israel. Meski akibat keputusan itu kita harus menerima skorsing dari IOC (International Olympic Committee), belakangan preseden itu mendapat dukungan resmi dari AGF (Asian Games Federation).

AGF bahkan mengeluarkan Israel dari OCA (Olympic Council of Asia). Lalu, pada 1983, giliran IAAF (International Amateur Athletic Federation) mendukung dikeluarkannya Israel dari Asian Games,” papar dia.

Fadli menegaskan, Israel telah menjadikan olahraga, termasuk sepak bola, sebagai alat diplomatik untuk memutihkan praktik diskriminasi, pelanggaran HAM, serta kejahatan perang yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina.

Fadli mengingatkan pada tahun 2022, Amnesty International menyampaikan bahwa pihak berwenang Israel harus bertanggung jawab karena melakukan kejahatan apartheid terhadap warga Palestina. Penyelidikan Amnesty International juga merinci bagaimana Israel memberlakukan penindasan terhadap rakyat Palestina.

“Sehingga, jika sampai atlet Israel diterima masuk ke Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia, ini akan jadi kemenangan diplomatik buat mereka sekaligus kerugian besar buat kita. Bagi Indonesia soal izin masuk bagi para pemain bola Israel itu memang bukan hanya semata persoalan olahraga, tapi soal prinsip,” -Fadli.

“Tidak adanya solusi lain yang bisa diterima oleh FIFA, sehingga membuat Indonesia akhirnya kehilangan posisi sebagai tuan rumah, menunjukkan jika organisasi sepak bola itu masih belum lepas dari standar ganda. FIFA hanya membela kepentingan Israel, tapi mengabaikan posisi dan pendapat negar.(Sumber)