News  

Bebas 10 April 2023, Ini Rekam Jejak Kasus Korupsi Anas Urbaningrum

Kata-kata itu diucapkan Anas Urbaningrum pada tahun 2012. Kala itu Anas kesal karena terus ditanya soal keterlibatannya dalam korupsi proyek Hambalang.

Pernyataan Anas itu dilontarkan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Dia mengaku bersedia digantung di Monas bila memang terbukti melakukan korupsi.

Pernyataan Anas itu mentah, karena kenyataan berkata lain. Pada 22 Februari 2013, KPK menetapkan pria kelahiran Blitar 15 Juli 1969 itu sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi dalam proyek Hambalang.

Pada 23 Februari 2013, Anas menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam sebuah pidato yang disampaikan di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta.

Karier Anas yang saat itu tengah berada di puncak harus berakhir. Mantan anggota DPR RI periode pemilu 2009 dari Dapil Jawa Timur VI itu harus menghadapi masalah hukum yang membelitnya.

Dia disidik KPK dalam kasus dugaan korupsi yang ia bantah. Anas menjadi tersangka pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan, dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang serta tindak pidana pencucian uang.

Usai penyidikan KPK rampung, Anas urbaningrum disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Jaksa KPK saat itu meyakini Anas melakukan korupsi dan pencucian uang.

Anas dijerat dengan Pasal 12 a juncto Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

Anas dinilai terbukti oleh jaksa menerima suap hingga pencucian uang. Mulai dari Toyota Harrier, Vellfire, pelayanan survei gratis, serta Rp 116,525 miliar, dan USD 5,261 juta dari proyek-proyek pemerintah yang dibiayai APBN.
Tiga Jeratan Dakwaan

Dalam membuktikan sejumlah penerimaan tersebut, jaksa KPK mendakwa Anas dengan tiga dakwaan. Pertama, Anas selaku Anggota DPR RI menerima Toyota Harrier senilai Rp 670 juta; Toyota Vellfire senilai Rp 735 jua; Survei Pemenangan senilai Rp 478 juta; uang Rp 116,525 dan USD 5,261,070.

Pemberian tersebut untuk mengupayakan Pengurusan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), proyek-proyek di perguruan tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan proyek-proyek lain yang dibiayai APBN yang didapatkan Permai Group.

Saat peristiwa terjadi, Anas juga merupakan Ketua DPP Bidang Politik Demokrat. Dengan posisi tersebut, ia diduga punya pengaruh besar mengatur proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari APBN. Belum lagi dia terpilih sebagai anggota DPR 2009-2014 dan ditunjuk sebagai ketua Fraksi Demokrat.

Anas ‘bergerak’ bersama sosok politikus Demokrat lainnya Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin sendiri bergabung dalam Anugerah Group yang belakangan berubah menjadi Permai Group.

Perusahaan tersebut punya sejumlah anak perusahaan seperti PT Anak Negeri, PT Anugerah Nusantara, dan PT Panahatan. Anas masuk ke PT Panahatan sebagai komisaris. Sementara istrinya Anas, Athiyah Laila dan Machfud Suroso bergabung di PT Dutasari Citra Laras.

Kemudian Anas membentuk kantong dana yang bersumber dari proyek pemerintah dan BUMN di antaranya dikelola oleh Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang yakni proyek Kemendiknas dan Kemenpora, Munadi Herlambang dalam proyek pemerintah bidang konstruksi dan BUMN, serta Machfud Suroso proyek di Universitas, Gedung Pajak dan Hambalang.

“Dalam pengurusan proyek yang dilakukan oleh terdakwa melalui Permai Group, terdakwa menerima fee antara 7 persen sampai 22 persen yang disimpan di brankas Permai Group,” bunyi dakwaan KPK dikutip dari salinan putusan PN Jakarta Pusat, tertanggal 18 September 2014.

Setelah terpilih menjadi anggota DPR dan ketua Fraksi Demokrat, Anas keluar dari Permai Group. Namun pengaruhnya dinilai masih besar.

Uang yang diterima Anas itu disebut digunakan untuk menopangnya dalam pemilihan Ketum Demokrat. Dia juga disebut menerima uang dari Nazaruddin.

Uang yang diterima itu kemudian dibagi-bagi kepada sejumlah DPC-DPC baik saat putaran pertama pemilihan Ketum maupun putaran kedua.

Berikut sejumlah penerimaan Anas:
Rp 2,010 miliar dari PT Adhi Karya untuk pemenangan proyek P3SON Hambalang. Uang itu untuk membantu pencalonan dia sebagai Ketua Umum Demokrat dalam Kongres Partai 2010.

Rp 84,515 miliar dari Muhammad Nazaruddin (Permai Group) dan USD 36,070 untuk keperluan persiapan pencalonan Ketua Umum Demokrat.

Rp 30 miliar dan USD 5,225 juta dari Nazaruddin untuk keperluan pemilihan Ketum Demokrat.
1 unit Toyota Harrier sebagai tanda jadi proyek Hambalang yang dikerjakan PT Adhi Karya.

Survei dari Lingkaran Survei Indonesia senilai Rp 478 juta. Jasa itu tak perlu dibayar, sebab jika Anas jadi Ketum Demokrat, dijanjikan mendapatkan survei untuk pemilihan Bupati/Wali Kota untuk calon Partai Demokrat.
1 unit Toyota Vellfire dari PT Atrindo Internasional.

Sementara dakwaan kedua, Anas disebut melakukan pencucian uang Rp 20,880 miliar hasil korupsi untuk membeli tanah di Jakarta Timur hingga Yogyakarta.

Kemudian dakwaan ketiga, Anas juga disebut melakukan pencucian uang sebesar Rp 3 miliar yang bersumber dari Permai Group untuk pengurusan izin usaha pertambangan atas nama PT Arina KOta Jaya seluas 5.000 sampai 10.000 hektare di Kutai Timur.

Anas kemudian dituntut 15 tahun penjara atas perbuatannya tersebut. Dia juga dituntut membayar denda Rp 500 juta subsider 4 bulan penjara, serta mengembalikan uang korupsi Rp 94,180 miliar dan USD 5,261 juta. Jika tak sanggup, maka diganti kurungan 5 tahun.

Pada tanggal 24 September 2014, majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonis Anas 8 tahun penjara dan denda 300 juta karena terbukti bersalah melakukan korupsi sebagaimana dakwaan pertama subsider dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua.

Kemudian Anas juga dihukum membayar uang pengganti Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070 dengan ketentuan apabila tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan ini memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya akan disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika tak cukup diganti pidana 2 tahun penjara.

Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan karena dakwaan ketiga terkait pencucian uang Anas Urbaningrum dinilai tidak terbukti.
Tak terima dengan vonis pengadilan tingkat pertama, Anas mengajukan banding. Pada putusan banding ini, hukuman Anas dikurangi. Namun ia tetap dinyatakan bersalah melakukan korupsi, sebagaimana dakwaan kesatu subsider dan pencucian uang dalam dakwaan kedua.
“Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa Anas Urbaningrum tersebut dengan pidana penjara selama 7 tahun, ditambah dengan pidana denda sebanyak Rp 300.000.000 (subsider 3 bulan bui),” demikian putusan hakim pada 4 Februari 2015.

Anas juga masih dijatuhi hukuman membayar uang pengganti Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070 dengan ketentuan yang sama.
Diperberat Artidjo Alkostar

Masih tak terima, Anas kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di tingkat ini, hukuman Anas justru diperberat. Tak lain, si pengadil yakni almarhum Artidjo Alkostar.

Vonis berat kepada Anas ini dijatuhkan Artidjo bersama MS Lumme, dan Krisna Harahap pada 2015 lalu. Dia dihukum 14 tahun penjara.

Dalam pertimbangan putusan kasasi, Artidjo dkk menyatakan majelis hakim Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah salah menerapkan hukuman terhadap Anas.

“Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu kedudukan Terdakwa dalam hal ini selaku anggota DPR-RI pada Komisi X dan selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI, sehingga Terdakwa merupakan penyelenggara negara,” bunyi pertimbangan putusan kasasi nomor 1261 K/PID.SUS/2015.

Selain itu, Artidjo dkk menganggap putusan tingkat pertama dan banding bersifat kontradiktif. Sebab menyatakan Anas terbukti melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan proyek pemerintah sebagaimana dakwaan suap. Namun hanya menerapkan Pasal 11 UU Tipikor, sebagaimana dakwaan subsider.
Padahal dengan fakta tersebut, Artidjo menilai Anas terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor yang ancaman hukumannya lebih tinggi.

Sementara mengenai dakwaan pencucian uang, majelis hakim kasasi menyatakan Anas tidak bisa membuktikan kekayaannya. Sehingga majelis menganggap kekayaan Anas bersumber dari pencucian uang hasil korupsi. Sehingga ia tetap dijatuhi hukuman pembayaran uang pengganti yang sama.

Dalam vonis kasasi itu, Anas juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Namun, tidak ditulis berapa lama pencabutan hak untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik itu berlaku.

PK Dikabulkan, Hukuman Dipotong 6 Tahun
Anas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasusnya. Hasilnya, hukuman Anas dipotong selama 6 tahun. Sehingga dia hanya dihukum 8 tahun penjara saja.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menilai ada kekhilafan hakim dalam putusan kasasi terhadap Anas Urbaningrum. Termasuk soal pertimbangan putusan serta penerapan pasal.

“Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali Pemohon PK atas dasar kekhilafan hakim dapat dibenarkan, oleh karena Judex Juris telah salah dalam menyimpulkan alat-alat bukti yang kemudian dijadikan sebagai fakta hukum tentang pidana yang terjadi telah dilakukan oleh Pemohon PK,” bunyi pertimbangan hakim atas vonis yang dibacakan Rabu (30/9/2020).

Dalam dakwaan disebutkan bahwa uang yang diterima Anas berasal dari PT Adhi Karya maupun Permai Grup bersumber dari dana hasil keuntungan proyek serta fee dari perusahaan lain.

Namun, Majelis Hakim PK menilai tak ada keterangan saksi yang menyebutkan perusahaan-perusahaan tersebut melobi Anas untuk dapatkan proyek. Kesaksian hanya disampaikan oleh Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin saja.
Putusan PK ini juga mengoreksi perihal pencabutan hak politik. Hukuman tambahan itu diperjelas bahwa hak politik Anas Urbaningrum dicabut selama 5 tahun setelah menjalani pidana penjara.
Anas Segera Bebas

Anas Urbaningrum segera bebas dari Lapas Sukamiskin. Terpidana kasus pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan, dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang serta tindak pidana pencucian uang pada 2013 itu akan keluar dari lapas pada April 2023.

“AU (Anas Urbaningrum) bebasnya bulan April,” kata Kalapas Sukamiskin, Kunrat Kasmiri, saat dikonfirmasi pada Selasa (28/3).

Terkait dengan tanggal pasti bebasnya Anas, Kunrat mengaku belum mengetahui secara pasti. Sebab pihaknya masih menunggu SK Cuti Menjelang Bebas (CMB) yang dikeluarkan oleh Dirjen Pas. Anas belum bebas murni.

Terpisah, kuasa hukum Anas, Rio Rambaskara, menyampaikan hal yang serupa.
“Betul. Perkiraan di Minggu Pertama Bulan April, insyaallah,” kata Rio saat dihubungi, Selasa (28/3).
Namun, diperkirakan Anas akan bebas dari Lapas Sukamiskin pada 10 April 2023.

“Rencananya Mas Anas itu akan bebas itu tanggal 10 April 2023 jam setengah 4 sore lah,” kata sahabat Anas, Ma’mun Murad Al Barbasy, Selasa (28/3).

Ma’mun mengatakan, saat hari pertama bebas dari penjara, Anas langsung akan menghadiri kegiatan buka puasa bersama di Bandung.(Sumber)