News  

Gurita Korupsi-Pungli di Negeri Yang Selalu Menggaungkan Adat dan Adab

Libur Idul Fitri tahun ini, saya bersemangat untuk pulang ke kampung halaman dalam rangka menuntaskan rindu kepada ibu dan sanak keluarga. Sisanya, saya berharap dapat menenangkan pikiran dan mengistirahatkan fisik dari hiruk-pikuk kehidupan dan perjuangan pembebasan masyarakat dari belenggu pembodohan.

Tapi kenyataan justru berkata lain. Mata, telinga, pikiran, bahkan perasaan kian tersiksa ketika menyaksikan masyarakat begitu sangsi akan kehidupan. Setiap kali berada di kedai kopi—berbeda setiap malamnya selama tiga minggu—dan sesekali ke tempat-tempat wisata, saya senantiasa mendapati keluhan dari masyarakat golongan tua maupun golongan muda.

Perihal perekonomian, perpecahan masyarakat desa, pencabulan, korupsi, pertikaian warisan, putus sekolah, pengangguran, nikah dini dan lain sebagainya. Sialnya, semua itu diduga terjadi secara terstruktur di daerah saya, Kabupaten Padang Lawas Utara, daerah yang senantiasa menggaungkan adat dan adab.

Tetapi merekalah—sebagian besar manusia bejat di struktur pemerintahan—yang telah menggugurkan nilai-nilai adat dan keadaban dari kehidupan masyarakat. Apabila dikerucutkan, saya menyebut tanah air kita, negeri tempat terlahir, tumbuh dan berkembang dewasa ini tengah dihimpit dua jenis manusia: masyarakat yang miskin sungguhan dan pejabat bermental miskin.

Masyarakat dengan kondisi dominannya adalah kelas bawah, semakin dicabik-cabik oleh para pengisi struktur pemerintahan—mungkin hanya satu dua pejabat yang tidak ikut terlibat. Para pejabat tersebut layaklah dikatakan gerombolan pengkhianat rakyat, dengan mental miskinnya—yang senantiasa merasa kekurangan—selalu bertindak korup.

Sebagai contoh termutakhir, bertepatan di musim politik, seiring perampungan penyelenggara pemilu 2024 dari ibu kota hingga tingkat desa. Tindakan-tindakan korup yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) diduga terjadi di Kabupaten Padang Lawas Utara.

Hal itu diduga terjadi dalam proses penentuan orang-orang sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih).

Orang-orang yang mendaftarkan dirinya sebagai bagian dari Badan Adhoc tersebut dimintai sejumlah bayaran. Mulanya saya mengira fenomena demikian hanya terjadi pada beberapa desa atau satu kecamatan.

Namun setelah mendalami masalahnya, ternyata dugaan itu meluas terjadi secara serentak di 12 Kecamatan Kabupaten Padang Lawas Utara. Lebih jauh, oknum-oknum di pemerintahan tingkat kabupaten hingga tingkat desa bergotong-royong melakukannya.

Pada bagian PPS dan KPPS, para pendaftar dimintai pembayaran dari Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, di PPK pembayarannya lebih tinggi dari rentang Rp 10 juta, bahkan ada yang sampai Rp 40 juta. Begitu juga di Pantarlih.

Angka pemungutan liar (pungli) ini saya peroleh dari masyarakat yang tidak jadi mendaftar, yang tidak lolos dan yang telah berada di Badan Adhoc tersebut. Berdasarkan pengakuan mereka (tiga golongan masyarakat objek pemungutan liar), pembayaran dilakukan dengan tiga cara: berutang, menjual tanah dan potong gaji bulanan.

Tetapi masyarakat memilih bungkam meskipun sudah saya tawarkan pendampingan gratis dalam memperoleh hak mereka yang dirampas oleh tangan-tangan oknum.

Alasannya, kalaupun berhasil, mereka takut diintimidasi dan dipersulit berbagai urusannya di kemudian hari selepas kepergian penulis ke tanah rantau. Oleh sebabnya, para penegak hukum harus menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.

Hal yang paling memilukan adalah masyarakat tersebut hanyalah masyarakat miskin dan secara logika paling sederhana. Bukankah mereka mendaftar untuk mendapatkan uang atas perekonomian yang susah, demi penghidupan keluarganya? Lantas dapatkah kita membayangkan manusia bengis jenis apakah para pengkhianat rakyat dan negara tersebut?

Saya juga memang tidak dapat menafikan bahwa masyarakat di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara, selain daripada persoalan ekonomi yang susah, tetapi masyarakat mayoritas juga memiliki tingkat pendidikan dan kesadaran rendah—cenderung mudah dibodohi dan dipermainkan.

Persoalan kemiskinan dan kebodohan adalah tujuan dari dibentuknya negara serta struktur pemerintahannya untuk memerdekakan dan memberdayakan masyarakat sehingga memiliki kualitas tinggi. Bukan malah untuk diperdayakan demi birahi oknum bangsat!

Maka daripada itu, secara kolektif-kolegial, kita haruslah berani mempertanyakan pada diri sendiri, apa yang lebih menyedihkan tentang sebuah kehidupan bagi manusia selain daripada matinya akal budi dan hati nurani?

Darinya muncul pembodohan, penindasan, dan pertikaian satu sama lain. Kemudian memuara pada penderitaan dan kegersangan yang berkelanjutan. Hal demikian tengah melanda kehidupan masyarakat Padang Lawas Utara.

Sehingga kita harus melakukan gerakan pembebasan serta memerdekakan masyarakat dari belenggu penindasan, pembodohan, dan penyengsaraan ulah tangan oknum bangsat.

Pembebasan Masyarakat

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana kualitas pemilu serentak 2024 dan nasib demokrasi, terkhusus pilkada di Kabupaten Padang Lawas Utara dengan kondisi penyelenggara yang di awal saja kemungkinan besar telah bermasalah.

Pembenaran-pembelaan tentunya akan bermunculan. Bahkan mungkin tidak akan sungkan untuk memutarbalikkan fakta dan/atau melakukan upaya kriminalisasi tukar kepala.

Mengingat para oknum di atas adalah manusia bengis yang melampaui kebejatan Fir’aun. Tetapi bagaimana pun itu, seluruh konsekuensi haruslah ditanggung demi tegaknya solusi tanpa korupsi, tanpa kolusi dan tanpa birahi—mari melakukan refleksi. Dan, saya akan terus memimpin perlawanan!

Ada sebuah aforisme pembangunan adat Mandailing-Batak berbunyi “salumpat saindege, marsitappar marsipagodangan” yang artinya, langkah beriringan untuk berbuat kebaikan dan membangun kesejahteraan bersama meskipun berbeda peran, tegur dengan keras dan tegas jika salah satu di antara kita melakukan kesalahan; demi mewujudkan tatanan masyarakat harmonis.

Apabila diartikulasikan dalam kehidupan bernegara, maka rakyat secara dominan di luar pemerintahan dengan senang hati memberikan perannya seperti membayar pajak dan melakukan hal lainnya secara maksimal bahkan termasuk memberikan gaji para pengisi pemerintahan, tapi dengan syarat bahwa para stakeholder tidak mengkhianati masyarakat.

Salah satu falsafah indigenious republik kita di atas haruslah dapat berfungsi, setidaknya sebagai pengingat bahwa nation state—termasuklah di dalamnya pemerintahan daerah—yang kita adopsi hari ini memiliki prasyarat utama wilayah dan rakyat. Sehingga, siapapun pengisi pemerintahan, tidak boleh melakukan pengingkaran terhadap rakyat.

Pemahaman ini harus kembali pada rakyat, agar tidak ada lagi tangan-tangan oknum bangsat yang berani mengangkangi masyarakat. Kita harus keluar dari lingkaran setan memuakkan ini secara kolektif.

Pemilu mendatang sangat menentukan kondisi tahun-tahun ke depannya. Merefleksikan bahwa daulat rakyat adalah kehendak tertinggi merupakan solusi untuk memberantas birahi mematikan dari para oknum politisi. Bangkit dan melawanlah!(Sumber)