News  

Penyakit Kulit Jokowi Picu Spekulasi: Ujian, Teguran, atau Pertanda?

Joko Widodo atau Jokowi (IST)

Munculnya kondisi kulit mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tampak mengalami perubahan cukup mencolok di bagian wajah dan leher belakangan ini menuai beragam tanggapan dari publik. Sebagian pihak menyebutnya sebagai gangguan dermatologis biasa. Namun, tidak sedikit pula yang mulai mengaitkan kondisi tersebut dengan penyakit serius bernama Steven Johnson Syndrome (SJS).

Menurut informasi yang beredar di media sosial dan beberapa kanal masyarakat, munculnya flek-flek hitam pada dahi dan pipi Presiden Jokowi disebut mirip dengan gejala awal SJS—sebuah penyakit langka namun serius yang menyerang kulit dan membran mukosa. Gejalanya mirip flu, lalu berkembang menjadi ruam merah, lepuh, dan pengelupasan kulit.

“Kalau memang benar SJS, maka penyakit ini tidak bisa dianggap remeh. Ini bukan sekadar alergi atau stres biasa. Biasanya muncul akibat reaksi obat atau infeksi berat,” ujar dr. Zulkifli dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga saat diwawancara oleh media lokal.

Di tengah kondisi tersebut, berbagai spekulasi pun mencuat. Sejumlah kalangan yang selama ini kritis terhadap pemerintahan Jokowi mulai mengaitkan penyakit itu dengan kemungkinan “peringatan dari langit” atas apa yang mereka nilai sebagai bentuk kezaliman politik yang dilakukan selama memimpin.

“Penyakit itu bisa menjadi tiga hal: ujian, teguran, atau adzab,” ungkap Sholihin MS, seorang pemerhati sosial-politik kepada Radar Aktual, Sabtu (7/6/2025). “Jika itu ujian, maka biasanya menimpa orang-orang saleh. Jika teguran, menimpa yang lalai. Namun, bila penyakit itu sebagai adzab, maka biasanya menimpa mereka yang berlaku dzalim kepada rakyat dan agama.”

Ia lalu merinci beberapa kebijakan dan peristiwa selama masa pemerintahan Jokowi yang dianggap kontroversial dan menimbulkan penderitaan di masyarakat, mulai dari dugaan kecurangan pemilu, tragedi KM50, wafatnya petugas KPPS, hingga berbagai tekanan terhadap tokoh oposisi.

Meski semua itu belum terbukti secara hukum, narasi-narasi tersebut berkembang liar di tengah publik yang haus keadilan dan kecewa terhadap kondisi demokrasi.

Para pendukung Presiden Jokowi menilai narasi tersebut sangat berlebihan dan tidak manusiawi. Mereka menyebutnya sebagai bentuk politisasi penyakit dan pencemaran nama baik.

Namun bagi sebagian kelompok yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi, munculnya penyakit kulit yang aneh dianggap bukan sekadar gejala medis semata. “Kita pernah dengar kisah sejarah Musthafa Kemal Ataturk. Apakah kita sedang melihat pola sejarah yang berulang?” ujar salah seorang tokoh muda Islam yang enggan disebutkan namanya.

Fenomena ini sekali lagi membuktikan bahwa politik dan persepsi publik tak bisa dipisahkan. Satu sisi bisa menjadi simpati, di sisi lain bisa menjelma menjadi simbol kritik keras terhadap kepemimpinan yang dinilai tak berpihak pada keadilan dan moral.