Politisi Kubu JK Dihabisi, Kenapa?

Penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terhadap Dirut PLN Sofyan Basir menambah daftar panjang kader Partai Golkar kubu Jusuf Kalla (JK) yang terlibat dalam kasus korupsi. Sebelum Sofyan Basir, banyak elit Golkar lain sudah terlebih dahulu ditangkap oleh komisi antirasuah. Di antaranya kini telah mendekam di penjara seperti Idrus Marham. Mantan Menteri Sosial di Kabinet Kerja Presiden Jokowi ini resmi ditetapkan sebagai tersangka pada 23 Agustus lalu. Idrus telah menempati rumah tahanan KPK Kavling 4, per 31 Agustus 2018.

Selain Idrus Marham ada Eni Maulani Saragih dimana mantan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat itu diduga menerima duit dari Johannes Kotjo sebesar Rp 4 miliar pada November-Desember 2017 dan Rp 2,25 miliar pada Maret-Juni 2018. Bersama Idrus, KPK menduga Eni menerima janji dari Johanes berupa uang US$ 1,5 juta.

Selain Idrus dan Eni Saragih, ada Fayakhun Andriadi. Fayakhun merupakan mantan anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi Golkar yang terjerat kasus suap proyek pengadaan satelit komunikasi dan drone di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Saat ini, ia sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor.

Orang dekat JK di Golkar yang juga terancam jadi tersangka adalah Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi yang saat ini menjadi saksi dalam kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (29/4) dengan terdakwa Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy. Selain itu Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera memangil Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk diperiksa terkait dugaan suap pengisian jabatan di Kementerian Agama, dia juga terancam jadi tersangka.

Tokoh lain yang dekat dengan JK dan kemungkinan juga dibidik sebagai tersangka adalah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Bahkan KPK kabarnya telah menggeledah ruang kerjanya. Penggeledahan ini terkait dengan proses penyidikan dugaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan tersangka Anggota DPR RI Bowo Sidik Pangarso.

Serangkaian peristiwa hukum yang menimpa kader kader partai Golkar kubu JK ini tak pelak menimbulkan serangkaian tanda tanya: ada apa kiranya?. Apakah hal ini ada kaitannya dengan Pilpres yang baru saja usai digelar?. Atau karena JK dianggap sudah tidak lagi dihitung sebagai politisi yang menguntungkan kubu Jokowi ?

JK Main Dua Kaki ?

Dijadikannya tersangka orang-orang JK yang ada di Golkar, bisa jadi karena imbas sikap JK yang terkesan main dua kaki selama pilpres yang baru saja usai. Sebagaimana diketahui, pada pilpres lalu orang orang JK tidak sedikit yang merapat ke kubu 02. Diantara mereka adalah politisi Muda Partai Golkar Erwin Aksa menyatakan dukungan terbuka kepada Cawapres yang diusung koalisi Adil Makmur, Sandiaga Salahuddin Uno. Erwin beralasan dukungannya kepada Sandi dilakukan secara sadar karena ia tidak ingin menghianati persahabatan yang sudah terjalin diantara keduanya sejak lama.

Erwin Aksa sendiri merupakan kerabat Jusuf Kalla. Erwin Aksa adalah ponakan Jusuf Kalla yang dari dulu sudah satu rumpun atau keluarga. Tentu saja sikap Erwin Aksa yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi menimbulkan sikap tidak enak pada diri seorang Jusuf Kalla yang secara resmi menjadi bagian dari pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Tapi ada juga yang menduga-duga bahwa bergabungnya Erwin Aksa ke kubu 02 menjadi bagian dari sikap politik JK yang ingin main dua kaki selama pilpres kali ini.

Selain Erwin Aksa, tokoh tokoh penting di Sulawesi Selatan juga banyak yang menyatakan diri mendukung Prabowo-Sandi. Pada hal tahun 2014 yang lalu, Sulsel merupakan kandang Jokowi-JK dalam meraup suara. Dukungan orang orang Sulawesi Selatan kepada Prabowo setidak tidaknya bisa dibaca pada saat kampanye akbar Prabowo-Sandi di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (24/2).

Banyak kejutan saat Prabowo kampanye di kampung Pak JK ini yang dianggap sinyal kemenangan Prabowo dari Timur. Pertama, Prabowo didampingi pengusaha mantan Ketua HIPMI yang merupakan politisi Partai Golkar Erwin Aksa, yang juga keponakan JK. Kedua, kampanye Prabowo juga disambut bendera Partai Golkar yang turut menghiasi keramaian kampanye akbar yang dipadati puluhan ribu massa. Nah yang ketiga, adalah kehadiran Fatimah Kalla, saudari bungsu Pak JK. Fatimah Kalla adalah Presiden Direktur Kalla Group 2004-2018.

Surat Kabar Tribun Timur yang terbit Senin (25/3/2019)menuliskan Headline “Fatimah Kalla Hadiri Kampanye Prabowo”. Tidak hanya itu, Tribun Timur juga memberitakan sub headline: “Amin Syam dan Prof Idrus Paturusi Merapat ke Prabowo. “Banyak Pendukung JK 2014 Pindah ke PAS 2019”. Di Pilpres 2019 ini Sulsel telah berubah menjadi lumbung suara Prabowo-Sandi mengingat dukungan tokoh-tokoh Sulsel dan kerabat dekat JK. Terlebih Wapres JK sudah bukan lagi cawapresnya Jokowi lagi pasca pilpres nanti.

Selain kerabat dan orang orang dekat JK, beberapa kader Partai Golkar juga sudah bersikap mbalelo dengan menyatakan tidak mendukung keputusan DPP Partai Golkar yang mengusung pasangan Jokowi – Ma`ruf Amin. Mereka mendeklarasikan dukungan dan mengaku aksi mereka didukung sebagian besar kader partai beringin di daerah. Sebagai contoh Ketua DPD II Partai Golkar Wonosobo Triana Widodo bersama sejumlah kader telah menyatakan mendukung pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Deklarasi dukungan itu dilakukan Triana dan kawan-kawan di Hotel Tentrem Yogyakarta, Minggu (7/4/2019). Mereka ikut membubuhkan tanda tangan bermaterai sebagai pernyataan sikap. Triana mengatakan, dukungan yang diberikannya itu adalah bentuk ekspresi aspirasi dari arus bawah.

Jokowi-JK Pecah Kongsi?

Adanya kerabat dan orang-orang JK yang merapat ke kubu Prabowo juga bisa dibaca sebagai indikasi bahwa Jokowi dan JK sudah mulai pecah kongsi di ujung perjalanan pemerintahannya. Indikasi ini sebenarnya sudah bisa dibaca dari sikap JK yang begitu kritis pada saat jelang pilpres beberapa waktu yang lalu. Memang selama lima bulan terakhir ini JK sangat getol melontarkan kritik kepada Jokowi. Di antaranya JK mengkritik proyek infrastruktur yang menjadi kebanggaan Jokowi. JK beberapa kali menyampaikan kritik terhadap beberapa proyek infrastruktur yang tengah gencar dibangun pada era pemerintahan Presiden Jokowi.

Diantaranya terkait pembangunan kereta api Trans Sulawesi. Menurut JK proyek tersebut tidak efisien, karena tidak ada yang menaiki transportasi tersebut.”Sama kereta api Sulawesi-Manado, siapa yang mau naik ke Makassar? Barang apa yang mau diangkut dari selatan ke utara, utara ke selatan? Hanya perpendek jarak saja di Sulawesi untuk kebutuhan memperbaiki industri. Kalau barang tidak akan efisien,” kata JK.

Jika juga mengkritik LRT Palembang yang dikatakannya sebagai ajang coba-coba belaka. JK juga menyinggung kondisi LRT Palembang yang kini hanya menjadi ajang coba-coba para turis lokal yang datang ke sana. “LRT Palembang jadikan coba-coba turis lokal saja. Karena itu, dia mengingatkan agar pembangunan infrastruktur tidak hanya memperhatikan aspek secara teknis, tapi juga dampak terhadap perekonomian. “Ini suatu tanggung jawab kita semua untuk melihat itu sebagai bagian daripada evaluasi kita meningkatkan infrastruktur tapi juga manfaatnya bagaimana,” kata JK

Tak hanya soal LRT di Palembang, beberapa waktu lalu Wapres JK juga mengkritik pembangunan LRT Jabodetabek yang menelan biaya sampai Rp 500 miliar per kilometernya (km). Menurutnya, pembangunan LRT dengan skema elevated (layang) dinilai kurang efektif.”Saya kasih contoh, membangun LRT ke arah Bogor dengan elevated (jalur layang). Buat apa elevated kalau hanya berada di samping jalan tol?” ucap JK.

Menurut dia, di sejumlah negara, pembangunan LRT tidak dibangun bersebelahan dengan jalan tol. Pembangunan jalur layang justru akan membuat biaya semakin membengkak. “Biasanya light train itu tidak dibangun bersebelahan dengan jalan tol, harus terpisah. Tapi bangunnya gitu. Siapa konsultan yang memimpin ini, sehingga biayanya Rp 500 miliar per kilometer,” kata JK.

Tentu saja kritik JK tersebut terasa aneh . Pertama beliau sebagai Wapres adalah bagian dari pemerintahan ini. Berarti adalah juga punya peran untuk mengambil kebijakan. Kedua, seandainya pun memang ada yang perlu diperbaiki, dia bisa langsung berbicara dengan Presiden, dan bukannya ke media.

Sementara itu pada pernyataan yang lain, JK justru seolah olah memberikan peluru pada pihak Prabowo. Saat Jokowi mengkritisi Prabowo karena memiliki lahan luas sementara dalam programnya menuduh Presiden saat ini tidak punya perhatian pada mereka yang tidak punya lahan garapan, JK justru memberikan statement, ` apa salahnya punya lahan luas` yang ditambah pengakuan, “sayalah yang memberikan lahan itu pada Prabowo”. Fakta – fakta ini pastilah membuat orang curiga. Setelah JK tidak mungkin lagi menjadi Wapres nampaknya dia sudah mulai pecah kongsi.

Rebutan Tulang

Duet Jokowi dan JK yang terindikasi retak diakhir-akhir ini bisa jadi karena keduanya sama-sama berlatar belakang pengusaha yang masuk kekuasaan politik. Karena itu keduanya melakukan pendekatan politik pragmatis dan tidak ideologis. Ditambah juga keretakan keduanya karena banyaknya aliran dan faksi politik. Pecahnya kongsi antara Jokowi-JK juga bisa disebabkan karena JK ingin mencari peluang pasca Pilpres 2019. Apalagi JK sesepuh dari partai besar yakni Golkar sehingga wajar kalau berusaha mencari panggung untuk keamanan dan kelancaran bisnisnya pada masa mendatang setelah tidak lagi ada di pemerintahan.

Banyak orang yang sudah paham bahwa JK adalah Penguasa yang merangkap Pengusaha. JK selalu punya visi ganda, Kekuasaan adalah Fasilitas terbesar dari Pengusaha. Bukan JK saja tentunya yang punya orientasi seperti itu. ARB, Hasyim DJoyohadikusumo, Hari Tanoe dan lain-lainnya juga sama. Sekali lagi, bila mereka berhasil menjadi Penguasa itu artinya memiliki Jembatan Emas menuju kebesaran kerajaan bisnisnya.Dan kemudian kita lihat selanjutnya seperti umumnya Politisi merangkap Pengusaha, sepak terjang JK selanjutnya selalu bermotifkan kepentingan dirinya. Baik kepentingan posisi politisnya ataupun kepentingan bisnisnya.

Saat ini persepsi publik memang mengakui hubungan Jokowi-JK retak pasca JK yang mengkritisi sejumlah pembangunan infrastruktur dan kebijakan kebijakan pemerintah lainnya. Dalam hal ini sekurangnya ada dua hal terkait retaknya hubungan Jokowi-JK. Pertama, mungkin JK menemukan momentum yang pas untuk mengkritisi pembangunan infrastruktur yang demikian masif di akhir-akhir masa pemerintahan. Sebagai bagian dari pemerintahan, boleh jadi JK merasa kurang pas jika mengkritisi kebijakan Jokowi pada waktu-waktu sebelumnya. Kedua, kritikan JK terhadap pembangunan infrastruktur tersebut seolah membuka kenyataan bahwa selama ini Wapres kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan infrastruktur.

Walaupun mencari panggung, namun JK bukan politisi yang ambisius. Karena JK adalah politisi sejati. Pengalaman JK di panggung politik nasional sangat mumpuni dan tidak diragukan lagi. Karena hingga saat ini JK bisa survive pasca rezim SBY. Oleh karenanya yang dilakukan JK adalah sebuah pesan yang tersirat kepada Jokowi. Jadi kalau sekarang JK melontarkan pernyataan-pernyataan bernada mengkritisi kebijakan pemerintah maka arahnya bisa dibaca sebagai peran politisi tersebut.

Sungguhpun demikian, dengan posisi dan peran beliau yang adalah seyogyanya sebagai negarawan, sebaiknya JK meniru langkah mantan pejabat seperti BJ Habibie yang walaupun tidak duduk lagi sebagai pejabat, tetap mendukung dengan masukan dan pencerahan demi kejayaan bangsa ini.

Langkah Pembersihan?

Dengan latar belakang yang sama sama sebagai pengusaha antara Jokowi dan JK nampaknya mempunyai pandangan yang hampir sama dalam berpolitik. Keduanya tidak ingin melepaskan dirinya dari kepentingan bisnis kelompok atau orang orang dekatnya.

Dengan pemahaman seperti ini maka dijadikannya orang orang dekat JK sebagai tersangka oleh KPK bisa jadi merupakan upaya untuk mengurangi jumlah orang orang yang akan menyusu ke birokrasi nantinya kelak jika Jokowi Ma’ruf Amin memenangi pilpres. Salah satunya tentu saja mengirim mereka ke penjara agar mengurangi jatah di pemerintahan maupun lahan bisnis yang akan digarapnya.

Kemungkinan lain ditetapkannya orang orang dekat JK sebagai tersangka juga sebagai ajang “balas dendam” kubu petahana terhadap kubu JK yang telah bermain dua kaki dalam pilpres yang baru selesai digelar. Ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang”, kira kira begitulah kondisi yang terjadi saat ini dimana mereka yang sudah dianggap tidak menguntungkan lagi saatnya untuk di singkirkan dari pusaran kekuasaan.

Salah satu instrument untuk menyingkirkan mereka diduga adalah dengan menggunakan instrument hukum terkait dengan kasus kasus pelanggaran hukum yang menjeratnya terutama dibidang korupsi. Hal ini cukup beralasan sekali sehingga tidak heran kalau dalam Pilpres banyak pejabat yang merapat ke kubu Jokowi dengan alasan cari selamat dari kasus yang menyanderanya.

Apakah dengan demikian lembaga penegak hukum seperti KPK berada dibawah kendali pemerintahan yang sekarang berkuasa? Secara formal keberadaan KPK adalah independent dan tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Tetapi faktualnya tentu orang sah sah saja untuk menduga duga ketidaknetralan yang ada. Apalagi ditengah musim penegakan hukum sekarang dimana hukum dinilai tajam ke lawan tumpul ke kawan. Alhasil kalau ada orang menduga KPK saat ini telah dijadikan sebagai “alat” untuk “menghabisi” orang orang JK yang ada di Golkar tentunya adalah sah sah saja. Karena kecenderungan ke arah sana memang ada. [law-justice.co]