News  

Kendaraan Listrik ‘Solusi Palsu’ Untuk Perbaiki Kualitas Udara di Indonesia

Penggunaan kendaraan listrik terus didengungkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai salah satu cara untuk mengurangi polusi udara yang semakin memburuk. Namun, pengamat menilai cara itu “tidak akan menyelesaikan masalah” dan elektrifikasi disebut sebagai “solusi palsu”.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia; Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono; dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sama-sama menyebut kendaraan listrik ketika membahas solusi mengurangi polusi udara di hadapan publik.

Bahkan Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi, akan mewajibkan pejabat eselon IV ke atas menggunakan kendaraan listrik-yang katanya masih dalam pembahasan.

Belakangan, Heru mengatakan keputusannya itu diambil berdasarkan “arahan” dari Luhut Pandjaitan yang harus diterapkan “sesegera mungkin”.

Selain mewajibkan pejabat DKI, Heru juga mengimbau masyarakat “yang mampu” beralih ke kendaraan listrik.
Pengamat menilai itu sebagai “solusi palsu” karena sumber energi yang digunakan untuk kendaraan listrik masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, yang juga menjadi salah satu penyumbang polusi udara.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, mengatakan sektor transportasi menjadi sumber pencemar udara utama di Indonesia yang mencapai 44%, disusul industri 31%, manufaktur 10%, perumahan 14%, serta komersial 1%.
Mengapa Kendaraan Listrik Disebut Solusi Palsu?

Dorongan untuk bertransisi dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik dinilai juru kampanye polusi dan urban WALHI Nasional, Abdul Ghofar, sebagai hal yang “nyambung-nggak nyambung” dengan situasi polusi udara yang semakin memburuk.

Dia juga menyebut Pj Gubernur DKI Jakarta hanya “mengamplifikasi keinginan pemerintah pusat”, terutama Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi, yang dalam beberapa waktu belakangan tengah menggencarkan elektrifikasi kendaraan listrik dengan memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik.

“Elektrifikasi kendaraan memang harus kita akui di hilirnya, untuk moda transportasinya, memang rendah emisi. Tapi dari mana listrik yang digunakan untuk charging? Mayoritas ya dari PLTU yang di sekitar Jakarta, ada sekitar belasan PLTU di Jawa Barat sama Banten,” kata Ghofar kepada BBC News Indonesia, Minggu (20/08).

Berdasarkan catatan WALHI Nasional, 85% sumber energi di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil dan sekitar 60% lebih berbentuk PLTU batu bara dan sisanya berbentuk PLTU lain.

Senada, Juru Bicara bidang Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, juga mengatakan ajakan untuk beralih ke kendaraan listrik adalah “solusi palsu” jika dilakukan tanpa mengganti sumber energi yang digunakan untuk mengisi ulang daya kendaraan.

“Kalaupun mau kendaraan listrik harusnya ada transisi energi, harus diubah dulu menjadi energi bersih, baru itu [solusi kendaraan listrik] yang dikedepankan. Ini kan seolah kayak masih bertolak belakang,” tegas Bondan.
Kendaraan Listrik: Sedikit Tidak Berpengaruh, Banyak Menjadi Beban

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mewajibkan pejabat DKI dan mengimbau ASN pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan kendaraan listrik “tidak akan efektif“ karena jumlah ASN, apalagi pejabat, pun tidak banyak.

“Jumlah kendaraan listriknya juga belum banyak populasinya. Kalau kita bilang seluruh ASN Jakarta pakai kendaraan listrik, paling tidak itu motor listrik. Tapi jumlah ASN Jakarta berapa puluh ribu? Kalau semuanya pakai motor listrik apakah bisa? Mobil listrik pun saya ragu kalau bisa terjangkau,” kata Fabby, Minggu (20/08).

Namun demikian, Abdul Ghofar dari WALHI Nasional mengatakan, jika elektrifikasi mengarah kepada kendaraan pribadi untuk warga Jakarta—paling tidak—jumlah kendaraan listrik akan “masif sekali“.

Berdasarkan hitung-hitungannya, setidaknya akan ada 24 juta kendaraan listrik di Jakarta yang tentunya akan membuat “peningkatan konsumsi listrik“.

Dan itu akan menambahkan beban di industri nikel, yang dijadikan bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik.
“Sumber listriknya, tinggi emisi. Skema industrinya, hulu-hilirnya, tinggi emisi, tinggi korban, deforestasi, juga efek rumah kacanya tinggi. Jadi sepertinya perlu dihitung sejauh itu,“ jelas Ghofar.

Pulau Obi, Maluku Utara; Morowali, Sulawesi Tengah; dan Konawe, Sulawesi Tenggara, kondisinya saat ini sudah sudah “rusak“ karena industri nikel, tambah Ghofar.

Subsidi pembelian kendaraan listrik atau elektrifikasi kendaraan umum?
Alih-alih mendorong penggunaan kendaraan listrik untuk pribadi, Ghofar menyarankan pemerintah membenahi transportasi umum, yang dibarengi dengan elektrifikasi kendaraan.

“Dua-tiga tahun ke depan TransJakarta diperbanyak, armadanya pakai kendaraan listrik. Lalu wilayah Jabodetabek, yang transportasi publiknya belum oke digarap pakai kendaraan listrik,“ kata Ghofar.

Menurutnya, cara itu “lebih konkret“ dibandingkan memproduksi jutaan kendaraan baru untuk masyarakat Jabodetabek dan memberikan subsidi kendaraan listrik, yang nilainya Rp7 juta per unit, untuk 200.000 unit kendaraan roda dua dan 35.900 unit kendaraan roda empat.

“Subsidinya harusnya dialihkan saja untuk perbaikan transportasi terintegrasi ke permukiman-permukiman sampai ke wilayah pinggiran, sehingga orang mau beralih moda transportasi,” ujar Ghofar.

Mulai 20 Maret 2023, pemerintah memberikan bantuan subsidi untuk pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yakni motor listrik dan mobil listrik, dengan total anggaran mencapai Rp1,6 triliun untuk tahun 2023.

Pemberian subsidi itu bertujuan mempercepat industri KBLBB untuk “mendorong efisiensi dan ketahanan energi”, serta terwujudnya “kualitas udara bersih dan ramah lingkungan”, kata Menteri Luhut Pandjaitan.

Program ini akan berlangsung selama dua tahun, sampai 2024, dengan total anggaran mencapai Rp7 triliun untuk satu juta kendaraan listrik.
Selain elektrifikasi kendaraan, pemerintah juga mengimbau masyarakat beralih ke kendaraan umum.

Usai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada pekan lalu, Menteri Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah akan terus mendorong penggunaan transportasi publik dan meningkatkan transportasi publik di jam-jam sibuk.

Pemerintah juga akan melakukan kajian terkait pemberian insentif ke para pengguna transportasi umum agar termotivasi beralih dari kendaraan pribadi.

Apakah solusinya hanya kendaraan listrik?
Direktur IESR, yang juga merupakan ahli strategi transisi energi, Fabby Tumiwa, mengatakan penggunaan kendaraan listrik saja “tidak akan menyelesaikan masalah”, apalagi penggunanya sedikit.

“Ada jutaan kendaraan. Ada mobil dan motor yang setiap hari membakar ribuan atau ratusan ribu kilo liter BBM yang kualitasnya buruk, tidak terlalu tinggi. Harusnya memang Indonesia sejak lima tahun lalu sudah menjual BBM di atas Euro 4,” kata Fabby kepada BBC News Indonesia.

Bahan bakar dengan spesifikasi Euro 4 adalah bahan bakar yang memiliki RON minimal 91, bebas timbal, dengan kandungan sulfur maksimum 50 ppm. Bahan bakar ini memiliki emisi yang sangat rendah sehingga lebih ramah lingkungan.

Fabby bilang saat ini sebagian BBM yang digunakan di Indonesia, dan terutama Jabodetabek, adalah BBM dengan kualitas Euro 2. Emisi dari BBM ini dikatakan “cukup tinggi”.

Perbaikan kualitas bahan bakar ini, menurut dia, merupakan salah satu solusi yang menyentuh akar masalah polusi udara secara menyeluruh dibandingkan dengan kendaraan listrik yang dia bilang “tidak menyelesaikan masalah”.

Sebab, masalah kualitas udara yang buruk tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di kota-kota besar lainnya, semisal Bandung, yang belakangan juga melaporkan indeks kualitas udara dengan indikator warna merah.

Selain perbaikan kualitas bahan bakar, Fabby mengatakan pemerintah juga bisa mengendalikan standar mesin kendaraan yang beredar di Indonesia.

Kemudian melakukan uji emisi standar yang aturannya sudah ada dan seharusnya diterapkan di semua daerah, hingga mengendalikan baku mutu emisi dari pembangkit listrik yang menurut regulasi semestinya dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Pertanyaannya apakah pemantauannya dilakukan atau tidak? Jangan-jangan tidak pernah dipantau, alat pemantaunya rusak, tidak diurus, sehingga tidak ada datanya. Tiba-tiba kita berhadapan dengan kondisi kualitas udara yang akut seperti sekarang,” kata Fabby.

BBC News Indonesia sudah menghubungi Dirjen Pengendalian, Pencemaran, dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, pada Minggu (20/08). Namun, sampai berita ini diturunkan dia belum merespons.(Sumber)