News  

AS Hikam: Konflik Internal Elite PDIP dan Runtuhnya Marwah MK

Mengikuti dari luar sebagai warga dan pengamat politik Indonesia, bagaimana rentetan konflik internal elite PDIP terjadi di ujung pemerintahan Presiden Jokowi, saya hanya berharap mudah-mudahan segera usai dengan cara-cara damai. Jangan sampai menjadi warisan buruk bagi penguasa yang baru.

Apalagi jika malah berlanjut. Meski belum kelihatan nyata di atas permukaan, tetapi publik tak sulit mendeteksi adanya letupan politik akibat gesekan proksi mereka.

Yang terakhir, misalnya, drama yang digelar dengan lakon “cawapres bawah usia” yang melibatkan MK sebagai salah satu pemeran kunci. Ramifikasi (turunan) putusan lembaga negara yang (seharusnya) terhormat tidak bisa dianggap remeh: bukan saja akan menciptakan disilusi (kesan keliru) publik terhadap komitmen untuk bermain bersih dan tak kolusi dari Istana, tetapi juga bahkan memunculkan kemungkinan yang lebih jauh, yaitu sanksi partai terhadap kader yang terlibat dalam rencana menjadi bakal calon wakil presiden di luar koalisi PDIP.

Yang makin memprihatinkan adalah fakta bahwa drama lakon cawapres usia muda tersebut berlangsung di tengah kondisi demokrasi yang sedang mengalami defisit bahkan setback. Kendati demikian, bagi para elit penguasa, politisi, dan oligarki, indikator yang bisa dibaca oleh semua warganegara, semisal penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi terhadap RI, tak mampu mengusik kesadaran akan datangnya ancaman sistemik.

Walhasil bagi orang seperti saya, yang sudah termasuk dalam generasi kolonial, ada semacam perasaan déjà vu tentang akhir Orde Lama dan Orde Baru yang kesemuanya antara lain ditandai oleh gejala matirasa politik di kalangan elit. Hilangnya sense of crisis dan maraknya sikap “umpak-umpakan” serta pemujaan terhadap diri sendiri, sungguh sangat nyata.

Lalu apakah kita akan mengharap terjadinya Reformasi jilid II atau datangnya Sang Penyelamat untuk membebaskan bangsa dan negara?

Keduanya, saya rasa, masih berhenti pada retorika yang mungkin menarik dalam suasana menjelang Pemilu 2024. Kendati seruan-seruan mengajak kepada perubahan makin mendapat simpati dan minat dari warganegara, platform yang disajikan para kontestan toh masih tetap lebih banyak berisi pentingnya kesinambungan ketimbang perubahan. Akan halnya alternatif Sang Penyelamat akan datang, itu pun masih seperti menunggu datangnya Godot, sebagaimana kisah drama karya Samuel Beckett yang amat populer tersebut.

Alih-alih, tampaknya yang mesti dilakukan adalah menghadapi dinamika sosial politik yang mungkin muncul akibat konflik internal elit partai yang berkuasa tersebut secara proporsional, visi, dan efektif.

Proporsional berarti seimbang dan memilih skala prioritas yang lebih diperlukan bangsa. Efektif berarti langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak, bukan janji-janji palsu para politisi tidak bertanggungjawab.

Visi berarti orientasi kinerja adalah masa depan generasi Z, bukan nostalgia terhadap kejayaan masa lampau.

Jika tiga prinsip itu disepakati oleh para calon pemimpin yang akan berkontestasi dalam pemilu 2024, utamanya di cabang eksekutif baik pusat maupun daerah, maka rakyat harus mendukung dengan memilih siapa yang dirasa punya cukup bukti kapasitas, kualitas, dan integritas.

Kewajiban para calon, secara individu maupun melalui partai mereka, untuk menyebarluaskan visi dan misi mereka dalam forum-forum publik terbuka maupun terbatas di mana pun yang dipilih agar bisa tersosialisasikan. Kewajiban publik sebagai warga negara untuk mengevaluasi, mengritik, menerima atau menolak, dan sebagainya.

Cara ini saya rasa lebih solutif ketimbang diserahkan melalui “backroom meetings” para elit partai (PDIP dll) yang ujungnya hanya menghasilkan transaksi dan deal-deal politik yang kemudian dijadikan mekanisme politik yang valid dan akan diabadikan oleh kelembagaan politik kartelisme seperti sebelumnya.

Intinya pelaksanaan sistem demokrasi tetap dilakukan secara semena-mena dan, secara etik, tidak bertanggungjawab!
(Sumber)