News  

Anwar Usman Terbukti Langgar Etik, Disanksi Pemberhentian Sebagai Ketua MK

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan vonis pemberhentian terhadap Ketua MK Anwar Usman terkait pelanggaran etik dalam Putusan MK Nomor 90 yang kontroversial yang mengubah syarat capres-cawapres.

“Memutuskan. Satu. Hakim Terlapor (Anwar Usman) terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, saat membacakan putusan, Selasa (7/11).

“Dua. Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim terlapor,” lanjut Jimly.

“Tiga. Memerintahkan Wakil Ketua MK dalam waktu 2×24 jam sejak putusan ini untuk memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru,” ujar Jimly.

MKMK juga memberi sanksi kepada Anwar untuk tidak lagi menyidangkan perkara Pemilu yang berpotensi konflik kepentingan.

Kendati begitu, MKMK menyatakan tidak berwenang menilai putusan 90 tersebut.

Vonis Lengkap Anwar Usman

Vonis MKMK terhadap Anwar Usman. Dok: YouTube MK
Vonis MKMK terhadap Anwar Usman. Dok: YouTube MK
Vonis MKMK terhadap Anwar Usman. Dok: YouTube MK
Vonis MKMK terhadap Anwar Usman. Dok: YouTube MK
Vonis MKMK terhadap Anwar Usman. Dok: YouTube MK
Vonis MKMK terhadap Anwar Usman. Dok: YouTube MK
Putusan tersebut menjadi 1 dari 4 putusan yang dibacakan MKMK hari ini. Berikut vonis lainnya:

Vonis Saldi Isra

Saldi Isra tidak terbukti melanggar etik terkait dengan dissenting opinionnya dalam putusan nomor 90. Namun dia terbukti melanggar etik bersama delapan hakim MK lainnya soal pembiaran dan kebocoran informasi RPH. Saldi disanksi teguran lisan secara kolektif.

Vonis Arief Hidayat

Arief Hidayat dinilai tidak terbukti melanggar etik terkait dissenting opinionnya. Namun dia terbukti dalam melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang terkait dengan pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat Mahkamah Konstitusi. Pernyataan itu terkait ‘9 Hakim MK Harus Direshuffle’.

Dia juga terbukti melanggar etik bersama delapan hakim MK lainnya soal pembiaran dan kebocoran informasi RPH. Arief dijatuhi sanksi teguran tertulis dan teguran lisan secara kolektif.

Vonis Kolektif 9 Hakim MK Divonis Langgar Etik

Putusan itu merupakan 1 dari 4 putusan yang akan dibacakan MKMK. Sebelumnya sembilan hakim konstitusi divonis melanggar etik oleh MKMK.

“Para Hakim Terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, saat membacakan putusan, Selasa (7/11).

“Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor,” sambung Jimly.

Kesembilan hakim tersebut yakni: Anwar Usman, Saldi Isra, Arief Hidayat, Guntur Hamzah, Manahan M. P. Sitompul, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams.

Adapun laporan terhadap sembilan hakim konstitusi ini tertuang dalam nomor perkara 5/MKMK/L/10/2023. Pelapornya yakni PBHI, TAPHI, Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani, Advokat Alamsyah Hanafiah.

Ada dua poin yang dinilai terbukti dalam laporan tersebut yang terkait pelanggaran etik sembilan hakim konstitusi.

Pertama, yakni soal hakim konstitusi tidak mengingatkan sesama hakim yang berpotensi menjadi masalah. Contohnya, saat memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, ada hakim yang diduga konflik kepentingan, tetapi tidak diingatkan oleh hakim MK lainnya.

“Membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling ingat mengingatkan antar hakim, termasuk terhadap pimpinan karena budaya kerja yang ewuh pakewuh sehingga prinsip kesetaraan antara hakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi. Dengan demikian para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melanggar sapta karsa hutama, prinsip kepantasan dan kesopanan, penerapan angka 1,” kata hakim MKMK.

Kedua, adanya kebocoran informasi dalam rapat permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Informasi ini dinilai bocor ke publik. MK tidak bisa membuktikan adanya pembocoran informasi, tetapi tetap saja sembilan hakim MK dinilai wajib menjaga informasi, dan seharusnya itu tidak boleh bocor.

“Dengan begitu menurut majelis kehormatan sembilan hakim MK dianggap telah melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan khususnya butir penerapan ke 9,” kata hakim MKMK.

11 Temuan MKMK

Pelanggaran etik ini terkait dengan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat batas minimum usia capres-cawapres. Hakim MK dilaporkan oleh sejumlah pihak kepada MKMK.

Sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie merinci bahwa sembilan hakim MK dilaporkan terkait putusan nomor 90 tersebut. Ada setidaknya 11 dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan dilakukan oleh para hakim MK, termasuk oleh Anwar Usman.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota Wahiduddin Adams (kiri) dan Bintan R. Saragih (kanan) memimpin jalannya sidang di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota Wahiduddin Adams (kiri) dan Bintan R. Saragih (kanan) memimpin jalannya sidang di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto

Berikut 11 poinnya:

Pertama, hakim yang dinilai punya konflik kepentingan dengan tidak mundurnya Anwar Usman dalam perkara tersebut. Padahal, Anwar Usman yang notabene merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka tidak mengundurkan diri dalam memutuskan perkara Nomor 90.

Putusan tersebut lekat kaitannya dengan Gibran yang akan maju pilpres. Diketahui, usai putusan dibacakan, Gibran maju di Pilpres berdampingan dengan Prabowo Subianto.

Kedua, mengenai hakim membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa.

Ketiga, soal dissenting opinion yang disampaikan hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat. Keduanya dinilai menyampaikan perbedaan pendapat yang tak ada kaitannya dengan substansi perkara.

Dissenting opinion itu dinilai sebagai perbedaan pendapat tentang substansi. Sementara dalam pernyataan Saldi Isra dan Arief juga terdapat keluh kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan.

“Padahal itu adalah internal,” kata Jimly.

Keempat, publik tahu terlalu banyak soal masalah internal Mahkamah Konstitusi. Diduga ada pihak yang membuka masalah tersebut kepada eksternal.

Kelima, adanya dugaan pelanggaran prosedur, registrasi dan persidangan yang diduga atas perintah ketua hakim.

Keenam, mengenai lambatnya proses pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, padahal mekanismenya sudah tertuang di Undang-Undang.

Ketujuh, soal management dan mekanisme pengambilan keputusan dianggap cacat prosedur.

Kedelapan, MK dinilai sudah dijadikan alat politik. Memberi kesempatan kekuatan dari luar mengintervensi ke dalam dengan nada kesengajaan. “Itu ada juga yang mempersoalkan kaya gitu,” ucap Jimly.

Kesembilan, adanya pemberitaan di media yang sangat rinci. Terkait pemberitaan sebelum putusan dibacakan yang belakangan jadi dasar gugatan para pelapor.

Kesepuluh, dugaan ada hakim yang berbohong soal pengambilan keputusan. Dari hasil pendalaman, MKMK menemukan ada dua versi cerita hakim ketika menceritakan kronologis tidak hadirnya Anwar Usman dalam sidang putusan MK soal batas usia Capres-cawapres.

Tiga permohonan tersebut yakni yang tidak dihadiri oleh Anwar yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. RPH digelar pada 19 September 2023. Menurut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, saat itu Anwar mencoba menghindari konflik kepentingan terkait gugatan tersebut.

Namun Anwar Usman justru hadir dalam pemutusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berujung dikabulkan. Arief menanyakan ulang kepada Anwar Usman alasan tak hadir di tiga perkara sebelumnya. Ternyata alasannya bukan karena menghindari konflik kepentingan, tetapi alasan kesehatan.

Kesebelas, isu soal seolah ada pembiaran oleh delapan hakim lainnya saat Anwar Usman mengambil keputusan, padahal posisi Anwar Usman sarat akan conflict of interest

.(Sumber)