News  

Busyro Muqoddas: KPK Sudah Dilumpuhkan di Era Presiden Jokowi

Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menilai pemerintahan dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah melumpuhkan lembaga antirasuah itu lewat berbagai strategi.

“KPK sekarang ini statusnya sudah dilumpuhkan di era Presiden Jokowi. Bukan hanya dilemahkan,” kata Busyro melalui webinar dalam diskusi Senja Kala Penguatan KPK yang diselenggarakan Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Senin (4/12/2023).

Busyro membagikan pengalamannya ketika menjadi komisioner KPK pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia mengatakan, saat itu juga terjadi berbagai upaya melumpuhkan KPK melalui revisi undang-undang.

Akan tetapi, kata Busyro, upaya melumpuhkan KPK pada saat itu bisa dihadapi.

“Kita lawan dengan adab berbasis kepada kekuatan masyarakat sipil yang solid waktu itu, yang waktu itu bersatu dengan KPK,” ujar Busyro.

“Akhirnya SBY mundur. Dia mengatakan setop revisi Undang-Undang KPK dan dibuktikan dengan ketegasannya,” sambung Busyro.

Ketua Bidang Hukum Pengurus Pusat Muhammadiyah itu menilai KPK justru dilumpuhkan di era pemerintahan Presiden Jokowi melalui berbagai cara.

Upaya pertama, kata Busyro, KPK dilumpuhkan secara kelembagaan melalui revisi UU KPK. Alhasil UU Nomor 30 Tahun 2002 diganti melalui UU Nomor 19 Tahun 2019.

“Dengan undang-undang baru ini KPK secara kelembagaan saja sudah tidak independen lagi. Apa yang diharapkan,” ucap Busyro.

Langkah kedua, lanjut Busyro, adalah pemerintah memaksa dilakukan perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.

“Mana ada ASN yang dalam penegakan hukum di bidang korupsi bisa independen? Tentu ada, tapi berbeda kualitasnya,” kata Busyro.

Hal ketiga yang menurut Busyro memperkuat kesimpulan KPK dilumpuhkan adalah para komisionernya sepakat melakukan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Akibat TWK itu, sejumlah pegawai KPK yang tidak lulus akhirnya dipecat.

“Tes Wawasan Kebangsaan dilakukan tapi ujung-ujungnya adalah itu sebuah rekayasa atas nama kebangsaan untuk mengusir, memecat, dengan cara yang sesungguhnya cara yang licik. Akhirnya terjadilah pemberhentian secara prosedural, tetapi sesungguhnya secara moral itu bertentangan sekali dengan prinsip-prinsip transparansi,” papar Busyro.

 

Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini KPK tengah menjadi sorotan karena Firli Bahuri yang sebelumnya menjabat sebagai ketua diberhentikan sementara karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Selain itu, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo juga membuat pengakuan terkait proses penanganan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

Agus dalam program Rosi di Kompas TV pada pekan lalu mengatakan, Presiden Jokowi sempat memanggilnya ke Istana Kepresidenan usai KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP pada 17 Juli 2017. Saat itu, kata Agus, Jokowi murka serta memintanya untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto.

Pada saat itu Setya Novanto merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus politikus Partai Golkar yang merupakan partai koalisi pendukung pemerintah.

Akan tetapi, Agus saat itu mengatakan, KPK tidak bisa menghentikan penyidikan karena tidak mempunyai kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Agus mengatakan, setelah itu hubungan KPK dan Presiden Jokowi renggang dan tak mau bertemu. Dia menduga hal itu menjadi salah satu rangkaian dilakukannya revisi UU KPK.

Bahkan menurut dia, saat itu KPK juga kesulitan menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Hamonangan Laoly buat meminta rancangan revisi UU KPK.

Meski begitu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno membantah pernah terjadi pertemuan antara Jokowi dan Agus membahas persoalan Novanto.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana juga membantah Presiden Jokowi melakukan intervensi dalam kasus Novanto. Sebab kasus Novanto tetap berjalan dan divonis 15 tahun penjara terkait kasus korupsi e-KTP.(Sumber)