Beathor Menduga Pratikno Dalang Kemunculan Kasmudjo dan Rekayasa Ijazah Bodong Jokowi

Beathor Suryadi (IST)

Kontroversi seputar keabsahan ijazah dan rekam jejak akademik mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke permukaan. Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Kasmudjo, adalah korban dari ambisi politik Jokowi. Isu ini kian panas setelah Kasmudjo secara terbuka membantah dirinya pernah menjadi pembimbing skripsi maupun pembimbing akademik Jokowi. Ada kemungkinan Kasmudjo tidak pernah bertemu dengan Jokowi.

Demikian dikatakan politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Beathor Suryadi dalam pernyataan kepada Radar Aktual, Selasa (17/6/2025).

“Saya bukan pembimbing skripsi, bukan pembimbing akademik,” tegas Kasmudjo dalam wawancara yang viral di media sosial.

Pernyataan ini bertentangan langsung dengan klaim Jokowi dalam beberapa kesempatan sebelumnya. Dalam sebuah forum resmi beberapa tahun lalu, Jokowi menyebut Kasmudjo sebagai dosen pembimbingnya. Namun, dalam klarifikasi selanjutnya, ia menyatakan bahwa Kasmudjo hanya berperan sebagai pembimbing akademik — pernyataan yang kembali dibantah oleh Kasmudjo sendiri.

“Ini bukan sekadar persoalan ingatan, tapi bisa jadi bagian dari skenario panjang yang dirancang sejak Jokowi mulai menapaki karier politik nasional,” ujar Beathor.

Dalam pernyataannya, Beathor tidak hanya menyoroti ketidaksesuaian klaim akademik, tetapi juga menunjuk nama Prof. Dr. Pratikno, yang saat itu menjabat sebagai Rektor UGM dan kemudian menjadi Menteri Sekretaris Negara di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Menurut Beathor, Pratikno memiliki peran strategis dalam mengangkat citra Jokowi sebagai alumni UGM, baik secara formal maupun naratif. “Yang mendorong Jokowi sebagai simbol keberhasilan UGM bukan hanya tim kampanye atau media, tapi ada keterlibatan Pratikno sebagai rektor saat itu,” katanya.

Beathor menilai bahwa sejak awal, ada narasi sistematis yang dibangun untuk memberikan legitimasi akademik terhadap sosok Jokowi, terutama jelang Pilpres 2014. “UGM seperti didorong untuk mengakui Jokowi sebagai alumnus yang membanggakan, padahal rekam jejak akademiknya masih kabur,” tegasnya.

Salah satu sorotan utama dari kontroversi ini adalah keberadaan skripsi Jokowi. Skripsi berjudul “Studi Tentang Pola Konsumsi Kayu Lapuk di Industri Perkayuan di Surakarta” tersebut hingga kini belum pernah ditampilkan secara utuh kepada publik. Tak ditemukan pula dokumen tersebut dalam katalog digital perpustakaan UGM, yang lazimnya menyimpan salinan semua tugas akhir mahasiswa.

“Jika benar ada, kenapa tidak dibuka? Mana lembar pengesahan, siapa pembimbing utamanya, bagaimana hasil ujian akhir? Semua ini tidak transparan,” ungkap Beathor dengan nada kritis.

Dalam sistem akademik, keterbukaan dan dokumentasi adalah hal mendasar. Ketiadaan bukti yang lengkap menimbulkan pertanyaan serius, bukan hanya terhadap Jokowi, tapi juga terhadap integritas UGM sebagai institusi pendidikan ternama di Indonesia.

Tindakan UGM yang tidak terbuka maupun pengacara Jokowi yang tak mau menunjukkan ijazah asli, kata Beathor makin menguatkan dugaan dokumen kelulusan milik mantan Wali Kota Solo itu buatan Pasar Pramuka Salemba. “Pasar Pramuka Salemba diduga kuat tempat pembuatan ijazah palsu Jokowi,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak UGM belum memberikan keterangan resmi terkait pernyataan Kasmudjo maupun kontroversi seputar skripsi Jokowi. Di sisi lain, Kasmudjo yang merupakan dosen senior justru terpojokkan oleh situasi yang tidak ia buat sendiri.

“Beliau seharusnya mendapatkan perlindungan dari kampus, bukan dibungkam atau ditekan. Keberanian beliau menyatakan fakta adalah bentuk tanggung jawab moral seorang akademisi,” kata Beathor.

Menurut Beathor, jika kampus tetap diam, maka masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi penjaga moral dan kebenaran ilmiah.

Beathor bersama sejumlah tokoh pendidikan mendesak agar dilakukan audit akademik secara terbuka terhadap perjalanan studi Jokowi di UGM. Audit ini diharapkan melibatkan pihak independen dan menghadirkan bukti-bukti otentik yang dapat diverifikasi publik.

“Ini bukan soal menjatuhkan seseorang. Ini soal kejujuran akademik, soal etika bernegara. Jika semua benar, tidak perlu takut membuka data,” tegas Beathor.

Menurutnya, jika dugaan manipulasi ini terbukti, maka akan menjadi preseden buruk dalam sejarah kepemimpinan nasional Indonesia. “Jangan sampai masa depan generasi muda rusak karena menganggap bohong bisa dibenarkan asalkan berkuasa,” imbuhnya.

Dengan masa jabatan Jokowi yang telah berakhir, kontroversi ini menjadi ujian moral yang tertinggal dari dua periode kepemimpinannya. Jika tidak ditanggapi secara terbuka dan jujur, isu ini akan terus bergulir dan membayangi warisan politiknya di mata sejarah.