News  

Apakah Hak Angket Bisa Berujung Pemakzulan Presiden Jokowi?

Rencana penggunaan Hak Angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 masih bergulir. Sejumlah partai telah menyatakan akan mengambil langkah tersebut.

Lantas, apa ujung dari Hak Angket tersebut? Apakah bisa memakzulkan Presiden Jokowi?
“Bisa [berujung] pemakzulan di MPR,” kata pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari dalam talkshow Info A1, dikutip pada Sabtu (24/2).

Hak Angket adalah hak yang dimiliki DPR untuk menyelidiki terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai.

Menurut Feri, memang rencana Hak Angket ini terbilang terlambat. Namun, ia menilai masih cukup waktu bagi DPR untuk melakukan Hak Angket bila akan menyasar Presiden Jokowi. Merujuk masa jabatan Presiden Jokowi yang baru akan berakhir pada 20 Oktober 2024.

“Menurut saya meskipun ini bisa dikatakan terlambat karena suara soal kecurangan pemilu sudah disampaikan cukup lama, dan mereka juga pernah menyuarakan akan angket, dan pilihan angket itu sangat mudah untuk dilakukan. Kalau mereka lakukan hari ini ya walaupun terlambat, menurut saya, masih di term waktu yang masuk akal,” ujar Feri.

“Karena masa jabatan presiden kan lama, kalau jujur itu disasarkan ke Pak Presiden, karena [masa jabatan baru berakhir] 20 Oktober. Sehari pun diputus, [pada] 19 Oktober bahwa presiden cacat hukum itu tetap sah dan kredibilitas presiden yang memang akan diganggu,” sambungnya.

Feri menjelaskan, proses politik di DPR bisa dimulai dari Hak Angket yang kemudian berujung Hak Menyatakan Pendapat. Proses ini dinilai akan lancar bisa kubu oposisi saling mendukung. Terlebih PDIP sebagai partai pemegang kursi terbanyak di DPR mendukung rencana Hak Angket tersebut.

“Sekarang PDIP partai yang sangat kuat, kalau ini betul-betul diniatkan membongkar kecurangan dan cawe-cawe presiden dalam pemilu, ya ini sangat mudah untuk PDIP segera menyelesaikan,” ujar Feri.

“Kalau seluruh partai oposisi bergabung dengan PDIP sangat mudah dilakukan sampai ke MK,” imbuhnya.

Feri menambahkan, pemakzulan bisa dilakukan melalui proses di Mahkamah Konstitusi.
“Istilahnya impeachment, menggugat presiden telah melakukan pelanggaran. Forum khususnya di MK, setelah dinyatakan melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat menjadi presiden, nanti dibawa ke politik lagi. Politik itulah yang menentukan,” papar Feri.

“MK bisa menyatakan bahwa presiden terbukti melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat sebagaimana pendapat DPR, nanti baru dibawa ke MPR, walaupun singgah sebentar lagi ke DPR,” sambungnya.

Ia pun meyakini bahwa pemakzulan bisa dilakukan. Syarat untuk pemakzulan dinilai sudah terpenuhi.
“Saya meyakini itu terpenuhi dari lama, ketika presiden menyatakan cawe-cawe, dan menggunakan pin [presiden], lalu melibatkan anaknya dalam proses pemilu yang janggal. Kenapa janggal? UU bilang ada batasan, ada syarat. Tiba-tiba seminggu jelang pendaftaran berakhir, semua proses itu terbuka bagi anak presiden. Bagi saya itu ada indikasi yang harus dibuktikan dalam forum peradilan,” papar Feri.

“Kalau ini mau dibuktikan, saya harus jujur mengakui ini sangat mudah untuk membuktikannya, bahwa presiden tidak patut lagi jadi presiden, karena telah melakukan perbuatan tercela,” sambungnya.

Setelah proses hukum di MK tersebut, maka kemudian akan berproses kembali di ranah politik.

“MPR bergabung DPR dan DPD.Kalau masih konsisten dengan koalisi-koalisi yang ada saat ini plus DPD kalau DPD itu suaranya tidak untuk Pak Jokowi, selesai Pak Jokowi,” tegas Feri.

Meski demikian, ia mengakui hal tersebut tidak bisa untuk menganulir hasil pilpres. Meski bisa dijadikan bukti untuk sengketa di MK.

“Kalau menganulir pasangan tidak bisa. Tapi menjadikan itu alat bukti baru di MK terkait perselisihan hasil pemilu itu jadi alat bukti yang sangat kuat. Bagaimana mungkin hasil ini diakui kalau presiden sendiri telah terbukti melakukan perbuatan tercela, melakukan cawe-cawe dalam proses penyelenggaraan pemilu,” pungkasnya.

(Sumber)